Bersama dengan matahari yang mulai menunjukkan eksistensinya sedikit demi sedikit, hawa dingin turut serta menyertai, membuat siapapun enggan beranjak dari tempat tidurnya. Kicauan burung-burung kecil yang bertengger manis di atas dahan pohon terdengar mengalun ke dalam telinga orang-orang. Memaksa mereka untuk segera terbangun dan kembali beraktivitas seperti biasa.
Suara dari alat penggorengan menjadi alunan yang berpadu dengan kicauan burung juga wangi masakan menjadi pelengkap suasana pagi di sebuah rumah mewah yang di design dengan tampilan sederhana itu. Langkah kaki yang terdengar mendekat mengambil alih fokus wanita dengan apron ditubuhnya. Dengan tangan yang memegang setangkup roti selai strawberry, sang pemilik langkah berhenti di samping wanita yang sempat menolehkan kepalanya. Kemudian memberi satu ciuman pada pipi sang wanita.
“Pagi, Ma.” Ujar orang yang berdiri di samping wanita tersebut.
“Pagi juga sayang.” Balas wanita itu dengan senyum simpul yang melekat pada wajah cantiknya. Masih dengan roti selai strawberry yang kini sudah tergigit olehnya, pemuda dengan seragam sekolah itu mengalihkan pandangan terhadap hasil masakan wanita yang terpaut umur cukup jauh darinya. Terlihat menggugah selera hanya dengan wangi masakan yang tercium indra penciumannya.
“Dari pada cuma diliatin aja, mending kamu bantuin Mama bawa makanan ini ke meja.” Pemuda itu menoleh kemudian tersenyum lebar pada wanita yang merupakan ibunya itu saat mendengar kalimat tersebut. Setelahnya dengan cepat ia membawa piring yang telah berisi nasi goreng itu di kedua tangannya menuju meja yang dimaksud.
“Yeonjun.” Panggilan itu membuat si pemilik nama menoleh terhadap wanita yang saat ini sedang melepas apron yang melekat ditubuhnya. “Panggil ayah sama adik kamu gih, suruh mereka turun buat sarapan.” Perintah itu muncul setelah sang ibu selesai melepas dan melipat apronnya. Choi Yeonjun, pemuda yang mendapatkan perintah segera beranjak setelah sebelumnya sempat mengangguk kepada wanita yang masih terlihat muda pada usianya itu.
Yeonjun melangkah menuju kamar sang ayah terlebih dahulu karena ia tahu ayahnya itu cukup sulit untuk dibangunkan ketika mendapat waktu libur di hari kerja seperti saat ini. Tanpa mengetuk pintu, Yeonjun masuk ke dalam kamar orang tuanya. Netranya menangkap seorang pria yang masih terbaring nyaman di atas tempat tidur. Yeonjun berjalan mendekat lalu menepuk bahu orang tersebut guna membangunkannya.
“Yah, bangun Yah.” Ucap Yeonjun. Sang ayah tak merespon apapun. Membuatnya mendengus kesal.
“Ayah bangun ih, di suruh Mama buat sarapan.” Tepukkan pada bahu pria itu berubah menjadi guncangan yang tak terlalu keras. Sekilas, Yeonjun dapat melihat sang ayah tersenyum kecil. Dengan kesal, ia terus mengguncang tubuh ayahnya dengan keras. “Ayah!”
Sang ayah, Choi Hyungwon akhirnya bangun setelah merasakan guncangan itu semakin keras dan berakhir dengan tertariknya selimut yang membungkus tubuhnya, ia kemudian bangkit dan melihat wajah Yeonjun yang kesal karena perbuatannya. Sebab Yeonjun tau bahwa sang ayah sudah bangun bahkan sebelum ia masuk kedalam kamar orang tuanya itu. Hyungwon sengaja ingin menjahili anaknya ini.
Hyungwon memposisikan dirinya duduk dipinggir tempat tidur, sedangkan Yeonjun hanya memandang ayahnya itu datar.
“Kamu turun dulu aja, nanti Ayah nyusul. Ayah mau ke kamar mandi dulu.” Hyungwon berucap setelah sebelumnya tersenyum sekilas melihat tingkah sang anak.
“Ya udah, kalo gitu aku mau ke kamar Soobin. Mau bangunin dia.”
Hyungwon hanya mengangguk sebagai balasan dari pernyataan Yeonjun tersebut. Setelah mengatakan itu, Yeonjun berbalik. Berjalan keluar untuk menuju kamar adik lelaki satu-satunya.
Sama seperti sebelumnya, Yeonjun masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ketika sudah membuka pintu, Yeonjun mendapati sang adik sedang melipat selimut berwarna biru mudanya di samping tempat tidur dan sudah terlihat rapih mengenakan pakaian seragamnya. Ia tersenyum kala melihat itu. Yeonjun kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti di ambang pintu. Sebelum menghampiri sang adik, ia mengambil sesuatu dari atas nakas terlebih dahulu. Saat setelah berada di samping pemuda tinggi itu, Yeonjun menyisipkan benda yang diambilnya dari nakas tersebut pada telinga milik adiknya secara lembut bermaksud agar tidak membuat adiknya terkejut. Pemuda itu sempat tersentak kala dengungan menyapa pendengarannya, setelahnya sunyi yang menguasai dirinya berganti menjadi suara bising kendaraan yang samar terdengar olehnya. Seketika ia menoleh pada orang yang memasangkan benda tersebut, kemudian kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman yang memperlihatkan dua lesung pipi dalam miliknya.
Yeonjun kembali mengukir senyuman. “Selamat pagi, Soobin.” Ucapannya hanya dibalas dengan senyum yang semakin mengembang di wajah adiknya. Ia kemudian membantu membereskan tempat tidur tersebut. Setelah menyelesaikan hal tersebut, keduanya beranjak keluar untuk turun menuju meja sarapan. Sebelum benar-benar keluar dari kamarnya, Choi Soobin berjalan menuju meja belajarnya untuk mengambil tas juga ponsel pintarnya.
Saat sudah sampai di area dapur, mereka menemukan seorang wanita yang sedang menuangkan air minum pada gelas yang ada di meja dan satu orang pria yang tengah duduk sembari melahap roti dengan selai strawberry. Merasa ada yang memperhatikan, Choi Yoona, wanita tersebut, menoleh dan mendapati kedua anak laki-lakinya berjalan menghampirinya. Ia tersenyum begitu juga kedua pemuda tersebut. Salah satu dari mereka mendekat dan mencium pipi Yoona yang kemudian ikut mendudukkan diri di kursi samping sang kakak. Pria yang tadi sedang melahap roti kini tengah melempar senyum menenangkannya pada pemuda dengan lesung pipi itu saat sedang melihat kearahnya.
Keluarga kecil itu memulai sarapannya dengan tenang tanpa banyak kalimat yang diucapkan. Tak berapa lama, sang kepala keluarga memecah keheningan dimeja itu.
“Yeonjun, Soobin, gimana sama sekolah kalian?” Hyungwon bertanya dengan pandangan yang mengarah pada kedua anaknya.
“Baik-baik aja Yah, gak ada masalah apapun.” Yeonjun yang pertama menjawab dengan senyum merekahnya, isyarat bahwa memang tak ada yang perlu dikhawatirkan akan sekolahnya. Berbeda dengan Soobin, ia sedari tadi mencoba sebisa mungkin untuk tidak bertatap mata langsung dengan sang ayah yang kini menoleh memandangnya. Yoona yang melihat bungsunya tidak menjawab dan memilih untuk menghindari tatapan mata sang suami, menggerakkan tangan kanannya untuk menyentuh bahu Soobin. Sentuhannya itu berhasil membuat Soobin menoleh padanya.
“Soobin, ditanya itu sama Ayah. Gimana sama sekolah kamu? Gak ada masalahkan?” Yoona mencoba mengulangi pertanyaan yang Hyungwon lontarkan tadi pada Soobin secara perlahan. Soobin memandang dengan tatapan yang sedikit berbeda. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ia ragu. Akhirnya, setelah bergulat dengan pikiran yang entah apa itu, Soobin tersenyum kemudian meraih ponselnya yang berada di atas meja. Terlihat mengetik sesuatu, lalu ia berikan pada Hyungwon.
Hyungwon yang sedari tadi memperhatikan apa yang istri dan bungsunya lakukan pun memilih untuk mengambil ponsel tersebut dan membaca apa yang diketik oleh Soobin. Senyumnya mengembang setelah tau apa yang ingin disampaikan sang anak padanya bersamaan dengan ia yang memberikan kembali ponsel hitam milik Soobin.
Soobin ini adalah anak yang cacat sejak lahir, ia dinyatakan tidak bisa mendengar atau berbicara setelah beberapa minggu ia terlahir ke dunia. Berawal dari sang ayah yang menyadari keanehan dalam diri anak bungsunya dan berakhir dengan kenyataan yang menampar pasangan muda itu. Faktanya menyatakan bahwa kecacatan itu terjadi akibat dari adanya masalah medis saat Soobin masih dalam kandungan. Meski begitu, keluarganya tetap menyayangi Soobin bersama dengan keistimewaan dalam dirinya itu.
“Bagus kalau begitu. Ayah senang kalian baik-baik saja selama disekolah.” Mereka mulai kembali memakan sarapannya kala kalimat itu selsai terucap dan dibalas dengan senyuman yang berbeda dari kedua anaknya.
“Yah, Mah, Yeounjun sama Soobin berangkat sekolah dulu ya.” Yeonjun dan juga Soobin berpamitan pada kedua orangtuanya setelah menghabiskan sarapannya. Tidak, hanya Yeonjun yang benar-benar memakan habis sarapannya, sedangkan Soobin hanya memakan sebagian dari porsi nasi goreng itu. Saat ditanyapun ia hanya menjawab sedang tidak nafsu makan. Keduanya berangkat menggunakan motor milik Yeonjun dengan sang pemilik yang mengendarai.
***
Soobin dan Yeonjun berjalan beriringan melewati lorong yang terlihat cukup sepi di lantai dua sekolah mereka. Keduanya berhenti tepat didepan ruang kelas yang masih kosong, hanya terdapat tiga orang siswa dan dua orang siswi yang terlihat asik dengan dunianya sendiri.
“Oke, kakak ke kelas dulu, jam istirahat nanti kakak bakal datang ke kelas mu. Kakak lupa kalau ada tugas yang harus dikumpilin hari ini dan kakak belum ngerjain. Kakak pergi dulu.” Dengan senyum merekahnya, Yeonjun beranjak setelah mengatakan beberapa kalimat pada Soobin. Sedangkan Soobin memilih melangkah memasuki kelas. Berjalan menghampiri mejanya. Dan mengeluarkan beberapa buku lalu membacanya.
Waktu berlalu, kelas yang semula terlihat lenggang kini sudah penuh dengan siswa-siswa yang terus berdatangan. Bersamaan dengan itu, beberapa siswa terlihat berjalan menghampiri bangku yang diduduki oleh Soobin saat ini dan berhenti tepat dihadapannya. Soobin mendongak melihat siapa orang-orang yang datang menghampirinya. Seketika tatapannya berubah, ia seperti sedang ketakutan.
“Hei, bukankah sudah ku peringatan untuk tak usah datang lagi ke sekolah ini.”
Dengan senyum miring yang tercipta di wajahnya, satu diantara tiga siswa yang menghampiri Soobin bersuara.
“Anak seperti mu tidak seharusnya bersekolah disini, harusnya kau pergi ke sekolahan khusus.” Ujar siswa lainnya menimpali. Soobin hanya mendengar tanpa berniat memberi respon apapun.
BRAKK
Hingga satu dari ketiganya yang berucap mengebrak meja Soobin saat tak mendapat respon darinya, hingga menarik perhatian semua siswa yang ada dikelas, tapi tak satupun dari mereka yang mendekat, sekedar untuk bertanya saja tidak.
Hening menguasai sesaat. Begitu seorang guru wanita memasuki ruang kelas bersama seorang pemuda berseragam sama dengan mereka, para siswa yang awalnya terdiam kini berhamburan menuju bangkunya masing-masing. Termasuk tiga siswa yang membuat keributan itu.
Guru yang saat ini berdiri di depan kelas mengatakan bahwa mereka mendapatkan teman baru. Setelah memperkenalkan dirinya dan duduk di salah satu bangsu yang kosong, kegiatan belajar mengajar pun akhirnya dimulai.
Saat jam istirahat, Jaemin, Jeno dan Haechan, tiga orang siswa yang sempat membuat keributan di saat pagi tadi, kembali menghampiri bangku Soobin.
“Soobin, kau sudah tugas mata pelajaran ketiga nanti?” Haechan berkata dengan suara yang dibuat selembut mungkin.
“Hei, aku bertanya, kenapa kau tak menjawabnya?” Haechan kembali bertanya saat ia tak mendapat jawaban bahkan respon apapun. “Oh.. kau mulai berani ternyata..”
Haechan mengambil buku yang tadi dibaca oleh Soobin, menggulungnya dan memukulkan buku itu pada pemiliknya dengan cukup keras. Soobin merasakan pusing datang menghampiri dan bukan hanya itu rasa sakit terasa pada pipi kirinya. Ia rasa akan ada memar di pipi kirinya itu.
Ada siswa lainnya yang menyaksikan kejadian tersebut dari sudut kelas dan sepertinya mereka berempat tidak menyadari keberadaannya. Ia lantas mendekat begitu melihat satu dari ketiga siswa itu akan kembali memukul Soobin.
“Hei bro, kurasa kau tak perlu memukulnya seperti itu hanya karena ia tak mau berbagi tugas pada mu.” Ia dengan sedikit kesal berucap dan menahan lengan yang ingin mengayunkan pukulan.
“Sepertinya kau ingin menjadi seorang pahlawan, ya?” Haechan berbalik memandang siswa yang berani menghentikan aksinya. “Tidak usah ikut campur, pergi kau sana, sebelum kau yang menjadi sasaran ku selanjutnya.” Lanjutnya.
“Sepertinya yang harusnya pergi itu kau, jika kau tak ingin pergi juga, aku bisa saja melaporkan mu pada wali kelas.” Siswa ini tak ingin menyerah begitu saja, ia mengancam Haechan, Jeno dan Jaemin dengan tangan yang memperlihatkan sebuah video dimana didalamnya terdapat ia yang sedang memukul Soobin.
Mendapat ancaman beserta video sebagai bukti, ketiganya tentu merasa tidak bisa berbuat banyak. Mereka dengan segera pergi begitu saja meninggalkan dua orang tersebut didalam kelas. Beongyu, siswa pemberani tersebut mendekat dan mencoba memeriksa kondisi Soobin. “Kau baik-baik saja?”
Perkataannya seakan tak terdengar oleh sang lawan bicara. Soobin terlihat sedang mencari sesuatu, Beomgyu kemudian menyentuhnya dan bertanya, “kau sedang mencari apa?”
Soobin sedikit mengerti apa yang diucapkan oleh Beomgyu, dan ia bingung harus menjelaskan bagaimana pada siswa baru tersebut. Pada akhirnya, ia hanya menunjuk pada telinganya. Beomgyu yang kurang mengerti maksud yang ingin diucapkan sosok siswa dihadapannya, hanya menurut dan ikut mencari sesuatu yang terlihat aneh olehnya.
Beomgyu menemukan benda yang terlihat asing dalam pandangannya cukup jauh dari bangku Soobin berada. Ia dengan segera mengambil dan menyerahkan pada Soobin. Soobin kemudian memasang benda tersebut setelah menerimanya dari Beomgyu.
‘Maaf, aku ini tidak bisa berbicara atau pun mendengarkan, hanya dengan bantuan benda ini, aku bisa mendengar meski sedikit samar.’ Soobin memperlihatkan ponsel yang ia ambil dari dalam tasnya kepada Beomgyu setelah sebelumnya mengetik beberapa kata. Beomgyu hanya mengangguk tanda mengerti.
Seakan teringat, Beomgyu merentangkan tangannya pada Soobin. “Beomgyu, Choi Beomgyu.”
Soobin tersenyum, kemudian membalas uluran tangan Beomgyu. Lalu mengetik sesuatu pada ponselnya setelah tautan tangan keduanya terlepas. ‘Aku Soobin, Choi Soobin.’
Tak berapa lama, ada seorang siswa yang masuk kedalam kelas, ia adalah Yeonjun. Yeonjun menghampiri Soobin dengan senyum yang merakah. Namun senyum itu harus luntur kala melihat sebuah memar pada pipi adiknya. “Hei, pipi mu kenapa? Kenapa bisa sampe memar seperti ini?”
Beomgyu yang awalnya ingin menjawab pertanyaan tersebut harus menelan kembali kata-kata yang siap ia lontarkan, ketika tangannya dipegang oleh Soobin. Dan Soobin terlihat selesai mengetik pada ponsel yang kini ia serahkan pada sang kakak.
‘Aku tidak apa-apa, tadi sempat jatuh dan pipiku mengenai pinggir meja cukup keras.’
Yeonjun menghela nafas lega, ia kira terjadi sesuatu pada adiknya hingga mendapatkan memar di pipi. Dan Soobin hanya tersenyum kepada Beomgyu kala ia mengalihkan pandangan pada pemuda yang tadi menolongnya. Beomgyu hanya menatapnya dengan pandangan yang berbeda.
***
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah aksi beraninya waktu itu, Soobin dan Beomgyu terlihat semakin akrab dari hari ke hari. Mereka menjalin tali persahabatan dengan cepat. Beomgyu tak segan untuk melawan Jeno dan kawan-kawannya ketika akan kembali membuli Soobin. Dan Beomgyu juga tak akan ragu untuk memberi tumpangan kala kakak dari Soobin tak bisa pulang lebih cepat. Seperti halnya siang ini, setelah bel tanda waktu pembelajaran telah habis berbunyi, selang beberapa menit Yeonjun mengirim beberapa pesan pada Soobin bahwa ia akan ada kelas tambahan bagi semua siswa tingkat akhir. Beomgyu dengan senang hati menawarinya untuk pulang bersama. Soobin yang sudah tak secanggung saat pertama kali berteman itupun mengangguk menerima tawaran Beomgyu.
Setelah membereskan barang masing-masing, keduanya berjalan menuruni anak tangga untuk menuju area parkir milik sekolah.
“Kau tunggu disini, oke.” Segera setelah mengatakan tersebut, Beomgyu berjalan menghampiri motornya.
Saat akan menyalakan mesin motor, dering panggilan telepon terdengar dari ponsel miliknya. Beomgyu merogoh ponsel itu dari saku jaket. Tertera nama sang ibu sebagai orang yang menelepon. Beomgyu mengangkat panggilan tersebut.
“Halo Bun?” Terdengar samar suara balasan dari sang ibu pada ponselnya.
“Disekolah, emangnya kenapa Bun?” Balasnya kala mendengar kalimat tanya dari Bundanya. Beomgyu melirik sekilas pada jam yang melingkar pada tangan kirinya.
“Harus sekarang banget ya, Bun?” Beomgyu terdiam. Ia terlihat berfikir sebentar ketika sang ibu melontarkan beberapa kalimat. Setelah bergelut dengan pikirannya beberapa saat, Beomgyu kemudian menjawab.
“Ya udah, Beomgyu kesana sekarang. Bunda tunggu bentar.” Selesai dengan panggilan telepon dan ponselnya, Beomgyu menyalakan mesin motor dan melajukan kendaraannya kearah teman sekelasnya berdiri.
“Soobin, kayanya sekarang kita gak bisa pulang bareng dulu. Bunda menyuruhku untuk segera pulang, ia minta ditemani untuk menjemput kakakku di bandara.” Ujar Beomgyu ketika sudah berhenti dihadapan Soobin. “Aku bakal nganterin pulang dulu kamu.”
Beomgyu tidak mungkin meninggalkan Soobin sendiri disini dan harus menunggu Yeonjun selesai dengan kelas tambahannya, maka dari itu ia memilih untuk mengantarkannya terlebih dahulu baru setelah itu ia pulang. Lagipula Bundanya pasti mengerti mengapa ia pulang sedikit terlambat dari apa yang diucapkannya tadi.
Soobin segera mengetik sesuatu di ponsel yang sedari tadi ia genggam, kemudian memperlihatkan ponselnya pada Beomgyu.
‘Tak apa, kau pulanglah lebih dulu. Aku bakalan nunggu kak Yeonjun sampai ia keluar kelas.’
Beomgyu menoleh kembali pada Soobin. Ia merasa sedikit tak yakin untuk meninggalkan Soobin sendiri sembari menunggu kakaknya. Tapi senyum dan anggukan kepala dari Soobin, memaksa Beomgyu untuk yakin bahwa tak akan terjadi sesuatu kalau ia pergi meninggalkannya sendiri. “Ya udah, kalau begitu aku pulang duluan ya.”
Setelah motor yang dikendarai oleh Beomgyu keluar dari area sekolah ini, Soobin kemudian berbalik dan berjalan masuk ke sekolah. Pada langkah kesepuluh ketika ia berniat mengirim pesan pada kakaknya, seseorang mengambil ponsel tersebut. Belum sempat ia melihat orang tersebut, ia lebih dulu ditarik dan dibawa menuju suatu tempat.
Tubuhnya didorong masuk kedalam ruangan yang penuh dengan barang-barang tak terpakai. Dorongan yang cukup kuat itu membuatnya jatuh terduduk dilantai yang kotor penuh debu. Belum sempat ia bangun dari posisinya, sebuah tendangan ia dapatkan tepat pada perutnya.
“Apa maksudmu mengadu pada wali kelas? Hah?” Jaemin bertanya dengan suara yang lantang setelah memberi tendangan cukup keras pada Soobin. Memang beberapa hari setelah ia mendapat pukulan pada wajah dengan buku kala itu, dengan bantuan Beomgyu ia melapor pada pihak sekolah, bukan hanya pada wali kelas. Yang membuatnya mendapat pemanggilan juga hukuman.
“Tak ingin menjawab.”
Sayangnya, Soobin sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan oleh mereka sebab alat bantunya terlempar kala ia mendapat tendangan.
“Kau mendengar ucapan ku atau tidak?” ujar Jaemin dengan suara yang semakin lantang terdengar. Tapi tetap, berapa keras suara yang ia keluarkan tak terdengar sedikitpun oleh Soobin.
Tersulut emosinya sendiri, Jaemin merangsek maju demi melayangkan pukulan pada Soobin. Jeno dan Haechan yang berada di samping Soobin juga ikut memukul tubuh itu. Tidak sampai disitu, setelah berhasil membuat anak itu meringis kesakitan, Haechan memegang kedua tangan Soobin dan menahannya dibelakang tubuh. Sementara yang lain ia biarkan memukul bahkan menendang.
Seakan belum puas, Jeno dengan balok kayu yang entah didapatnya darimana, memukul kembali tubuh Soobin yang sudah penuh luka itu. Soobin sama sekali tidak melawan terhadap apa yang mereka