bab 3 Dexton Alaric

Background color
Font
Font size
Line height

Di dalam taksi online, sistem masih bertanya-tanya dengan heran.

[Selina, kamu menghabiskan hampir 1 miliar hanya untuk membantu ibu muda itu?]

[Walaupun uangmu banyak, tapi kalau terus menghambur-hamburkannya seperti ini, cepat atau lambat bakal habis juga.]

Selina bersandar santai di kursi belakang, kakinya disilangkan. 'Bukan cuma buat nolongin saja. Kalau niatnya cuma menolong, buat apa aku beli dua rumah lainnya?'

[Eh? Lalu apa alasanmu? Jangan bilang cuma buat kasih pelajaran tetangga licik itu?]

Selina menggeleng pelan. 'Buat apa buang-buang waktu? Kalau mau memberi pelajaran, tinggal lapor polisi atas dasar pemerasan, beres.'

Sistem terdiam. [...Lalu?]

Selina menyeringai kecil. 'Ada alasan yang lebih menarik.'

Ia mecondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Seolah-olah membisikkan sesuatu ke telinga sistem.

'Kemarin aku beli gosip Ero cuma 10 poin. Tapi, gosip rumah itu harganya 100 poin. Kenapa begitu?'

Sistem langsung kaku. [...]

[Itu... Aku tidak tahu. Sudah diatur dari sananya.]

Selina mengangkat alis, sudut bibirnya tertarik ke atas. 'Itu karena gosipnya lebih berguna. Kamu belum menyadarinya?'

Di hadapannya, interface sistem tampak melayang, menampilkan peta digital yang hanya bisa diakses olehnya.

'Tempat ini akan terkena proyek pelebaran jalan tol.'

Sistem tertegun. [!!!]

Sistem berusaha mencerna informasi yang baru saja diungkapkan Selina.

[Jadi... Kamu membeli rumah-rumah itu karena...]

Selina menyeringai. 'Karena nilainya akan naik berkali-kali lipat.'

Ia mengetuk layar di hadapannya, memperbesar peta digital yang menampilkan rencana pembangunan tol baru di kota ini.

Garis proyek itu melewati area tempatnya tadi membeli rumah.

'Begitu proyek ini diumumkan secara resmi, 2-3 tahun kedepan, harga tanah di sekitar sini bakal melonjak drastis. Rumah yang tadinya hanya 150—200 juta bisa naik jadi miliaran.'

Sistem langsung menghitung cepat. [Jadi kamu bukan hanya sekadar menolong, tapi juga investasi?]

Selina menguap. 'Tentu saja. Aku memang baik hati, tapi bukan orang bodoh. Kenapa cuma bantu satu orang kalau bisa sekalian bantu diri sendiri?'

Ia bersandar lebih dalam ke kursi, merasa nyaman dengan kursi mobil yang ditumpanginya.

Sistem akhirnya mengerti maksudnya. [Kamu curang.]

Selina hanya tertawa pelan. 'Namanya juga bisnis.'

Taksi online yang ditumpanginya terus melaju, meninggalkan area pemukiman padat penduduk itu.

*****

Di depan gedung pencakar langit Imperium Corp., Selina melepas hoodie-nya dengan santai.

Kini, kemeja putih yang rapi dan rok span hitamnya terlihat lebih jelas. Rambutnya ia cepol malas, menciptakan tampilan sederhana tapi cukup profesional.

Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah map, sekadar properti agar terlihat meyakinkan.

Dengan percaya diri, ia melangkah masuk ke dalam lobi.

[Selina, kamu benar-benar ingin masuk begitu saja tanpa rencana?]

[Kamu bahkan tidak tahu dimana Dexton berada.]

'Aku memang tidak mencari Dexton,' ucap Selina malas. Wajahnya menoleh kesana-sini.

[Lalu...?]

'Diamlah.'

[...]

Setelah sedikit mengamati suasana, ia menemukan sekumpulan karyawati yang sedang duduk santai di kafe dalam gedung.

Ada yang menyeruput kopi, ada yang tertawa sambil melihat layar ponsel, dan—lebih menarik lagi—ada yang sedang bergosip dengan ekspresi penuh antusiasme.

Selina memasang wajah tak peduli, lalu berjalan santai ke arah barista. "Kopi hitam satu, tanpa gula."

Sambil menunggu pesanan, telinganya mulai menangkap percakapan yang menarik.

"Astaga, kalian lihat kan tadi pagi? Pak Dexton jalan bareng cewek baru lagi!"

"Iya, aku tahu cewek itu siapa, artis baru kan?"

"Tapi, kalau Pak Dexton, tidak aneh lagi. Bukannya sering dia ketahuan jalan dengan cewek yang berbeda."

"Katanya dia terkenal dingin? Kenapa banyak ceweknya?" Suara asing tiba tiba mengagetkan mereka.

"Eeh? Kamu...?" Para karyawati bingung melihat orang yang baru bergabung.

Selina tersenyum, membagikan kacang atom yang baru saja dibelinya kepada para karyawati.

"Aku karyawan baru, magang disini. Lanjutkan, lanjutkan."

"Kalau dingin, bukannya susah didekati?" lanjutnya lagi dengan wajah kepo.

Para karyawati masih saling pandang, ragu dengan kehadiran Selina yang tiba-tiba.

Namun, saat mereka melihat kacang yang ditawarkan, ekspresi curiga mereka sedikit mencair.

"Ah, kalau soal itu... Memang Pak Dexton terkenal dingin," kata salah satu karyawati, mengambil segenggam kacang.

"Tapi, justru itu yang bikin dia makin menarik. Cewek-cewek seperti merasa tertantang buat meluluhkan dia."

"Serius?" Selina memasang ekspresi tak percaya, padahal dalam hati ia sangat tertarik.

"Iya! Gimana ya, meskipun dia kelihatan cuek dan galak, tapi katanya kalau udah pacaran, dia bisa romantis banget!"

"Lagian dia tajir, ganteng, dan bos besar. Siapa sih yang nggak mau?" sahut karyawati lain, ikut mengambil kacang dari tangan Selina.

"Masalahnya, dia juga terkenal sering gonta-ganti pasangan," tambah yang lain, sambil cekikikan.

"Baru beberapa minggu sama yang ini, tahu-tahu besok udah ada yang baru lagi!"

"Serius?"

"Banget! Kamu bakal kaget kalau tahu jumlah mantannya."

Selina berpura-pura mengangguk paham, tapi dalam hati sudah mulai merasa malas.

Ia meraih kopinya, menyeruput sedikit, lalu beringsut mundur dari para karyawati itu, menuju arah keluar.

[Loh, misi belum selesai, kenapa sudah mau pulang?]

'Kamu tidak dengar tadi? Dexton itu pria brengsek yang suka gonta-ganti pasangan. Siapa yang tahu dia punya penyakit kelamin atau tidak?'

Selina bergidik membayangkan kemungkinan terburuk.

'99 kehidupan yang kujalani, paling malas berurusan dengan pria model begitu.'

'Walaupun cuma sebagai target misi, tetap saja. Aku punya standar kebersihan, baik fisik maupun moral.'

Ia menghela napas panjang, lalu berbalik menuju pintu keluar.

"Lebih baik pulang ke kosan, lalu rebahan."

Sistem mendadak panik. Tidak bisa! Tidak boleh dibiarkan!

Ding!

[Gosip eksklusif: "Rahasia kehidupan pribadi sang CEO ternama." Hanya 500 poin saja. Bisa dihutang!]

'Tidak tertarik.' Selina menguap malas.

[Diskon 50%! Hanya 250 poin saja!]

Selina tetap berjalan santai, tidak tertarik sama sekali.

[Baiklah, diskon spesial! Hanya 100 poin! Tidak kukenakan bunga!]

Selina menguap. 'Mau 10 poin juga aku nggak mau. Nggak tertarik dengan kehidupan cowok redflag kayak gitu.'

[...]

[Sistem menawarkan GRATIS! Ambil saja! GRATIS 100% TANPA POIN!]

Langkah Selina terhenti. Satu alisnya terangkat. 'Katakan.'

[Di balik skandal percintaannya yang bertebaran, ternyata Dexton masih virgin. Tidak pernah berciuman, bahkan tidak pernah bergandengan tangan dengan lawan jenisnya!]

Selina memiringkan kepala, ekspresinya penuh skeptisisme. 'Kamu bercanda, kan?'

[Tidak. 100% valid. Data terpercaya. Sumber terverifikasi.]

Selina terdiam sejenak. Ia melirik ke arah karyawati yang tadi masih asyik membahas 'skandal' Dexton dengan semangat.

Ia kembali fokus pada sistem dalam pikirannya. 'Jadi, semua gosip itu...?'

[Gosip itu memang sengaja dibuat oleh Dexton. Mau tahu lebih lengkapnya? Hanya 500 poin!]

"..."

Kenapa ujung-ujungnya harus bayar juga?! Sial.

Selina mendengus. 'Lupakan. Kalau begitu, kita langsung temui Dexton saja. Di mana dia sekarang?'

Ding!

[Dexton terdeteksi sedang berada di kafe langganannya. Menikmati sore sambil mengerjakan berkas laporannya.]

CEO besar, bukannya sibuk di kantor malah santai di kafe? Selina hanya bisa geleng-geleng kepala.

Tapi, itu justru lebih baik—lebih mudah untuknya.

Tanpa ragu, ia berbalik arah dan melangkah malas keluar gedung.

*****

Begitu Selina mendorong pintu kafe, lonceng kecil di atasnya berdenting pelan.

Suasana di dalam terasa tenang, hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk menikmati kopi mereka, sibuk dengan layar ponsel atau laptop masing-masing.

Namun, ada satu hal yang langsung menarik perhatiannya.

Di meja pojok, seorang pria tampan maksimal memakai kacamata duduk dengan tenang, jemarinya bergerak lincah di atas dokumen yang tertata rapi.

Kemeja hitamnya terlihat pas di tubuh, lengan tergulung hingga siku, memperlihatkan otot yang tersembunyi di baliknya.

Ekspresinya serius, sorot matanya tajam meski fokus pada pekerjaan di depannya.

Dexton Alaric P.

Di sampingnya, seorang pria berdiri tegak dengan postur formal, sesekali membisikkan sesuatu ke telinga bosnya—asistennya, mungkin.

Yang lebih mencolok adalah kehadiran para bodyguard yang tersebar di setiap sudut kafe.

Selina menarik kursi dan duduk tepat di sebelah meja Dexton. Ia menguap lebar di sela-sela kegiatannya.

Para bodyguard melihat tampilannya yang terlalu santai tidak mencurigai apapun.

Dexton masih fokus pada dokumen di tangannya, tidak menunjukkan tanda-tanda peduli dengan kehadiran Selina.

[Sekarang kamu sudah duduk di depan Dexton, apa rencanamu?]

'Belum tahu,' jawabnya malas di dalam pikiran. 'Ada ide tidak?'

Tanpa Selina sadari, gerakan tangan Dexton terhenti. Pena di jarinya membeku di atas kertas.

Ia mendengar sesuatu.

Tatapannya naik perlahan, matanya mengunci pada Selina. Ekspresi dinginnya tetap terjaga, tetapi ada kilatan ketertarikan yang samar di dalamnya.

Gadis ini...

Siapa yang sedang dia ajak bicara?

****

**janlupa vote!!**

Dexton Alaric P.

Usia 27tahun
CEO nomor satu di negara ini.


You are reading the story above: TeenFic.Net