9. News Maker: Adrashena

Background color
Font
Font size
Line height

News Maker

Orang-orang yang dijadikan objek berita, biasanya adalah sosok terkenal seperti artis, di mana opininya dikemas dalam bentuk berita

...

Namun, tak cukup di sana. Niera segera kembali, menginjak sepatu Adras hingga pemuda itu meringis kesakitan. "Akan aku buktikan juga bahwa bukan aku yang menulis artikel itu!"

Benar itulah yang dikatakan Niera, tetapi gadis itu juga sadar bahwa membalikkan kepercayaan seseorang tidaklah semudah itu. Mengemis kepedulian mereka untuk belas kasihan agar percaya padanya juga hanya akan memberi makan ego-ego mereka sang penikmat berita. Belum lagi mencari jejak misterius seseorang yang telah memerangkapnya. 

Tak ada nama yang tertinggal, bahkan inisial sedikitpun seperti di komik-komik detektif yang Niera baca. Hanya ada artikel yang mengekspos Bu Srina, serta tanpa langsung menjatuhkan pamor jurnalistik. 

Seseorang ini benar-benar datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun, bahkan gue ragu jika yang melakukan hal ini bukan hantu. Sangat titanosaurus! Benar-benar menyebalkan, ah, nama tiitanosaurus cocok untuk mendeskripsikan betapa menyebalkannya, batin Niera. 

Namun, yang mengganggu pikiran Niera ialah, apakah artikel tersebut menargetkan dirinya secara spesifik? Berdasarkan namanya yang tertulis di byline, atau dirinya hanyalah korban tak beruntung di antara anggota-anggota jurnalistik. Nyatanya kejadian ini diselimuti banyak ketidaktahuan, seperti bagaimana sosok Titanosaurus ini dapat menebak dirinya bertanggung jawab menulis artikel untuk demonstrasi. 

Bagaimana dampak yang diberikan Titanosaurus kepada jurnalistik juga tak hanya berlaku pada Niera. Di sinilah gadis itu berada, merasakan ketegangan merayap di ruang jurnalistik. Bukan hanya ketegangan yang ditujukan kepada Niera, tetapi juga bayangan akan dampak buruk ke depannya--minimnya anggota baru.

Niera melirik Firza, untuk pertama kalinya merasa ragu saat hendak berbicara. Pada saat ini yang dibutuhkan oleh jurnalistik adalah jawaban dan kata-kata penenang seperti 'semua baik-baik saja'. Namun, dengan keterpaksaan di mata Firza, pemuda itu tak mampu mengeluarkan kata-kata itu dari bibirnya.

"Bu Srina sudah bicara perihal demonstrasi kita, dan ... ini keputusannya soal kegiatan ekstrakurikuler kita ke depan." Firza meraih spidol, tangannya bergetar saat mulai menorehkan tinta tersebut, tetapi lama-kelamaan gerakannya stabil, seakan telah menerima kenyataan.

Ketika pengumuman ditulis, berbagai seruan penolakan disuarakan tiap anggota jurnalistik. Bahkan Sandy yang diam pun kini bersuara. Niera yang sudah tahu akan keputusan Bu Srina tetap menutup mulutnya rapat, karena ia tahu selanjutnya yang akan kena adalah ....

"Hanya karena satu orang yang membuat masalah, seluruh anggota yang tak tahu menahu mengenai artikel itu ikut terkena juga?" seruan dari ketua tim koresponden--Teh Aliyah segera mendapat tatapan tajam dari Firza. 

"Aliyah." Sontak ketua tim dokumentasi menyenggol perempuan tersebut. "Jangan merujuk ke satu anggota dahulu, ya? Lagipula Niera pasti tahu dampak kalau ia mengunggah artikel itu yang pasti akan kembali pada dirinya, jadi tidak mungkin."

"Hei, apa menurutmu keambisan gak akan mengubah sikap seseorang? Fakta bahwa artikel yang ia tulis jauh lebih banyak daripada anggota lain memang bagus, tetapi ada indikasi lain ang bisa kau ambil, kan?"

Niera meremas kepalan tangannya. Ucapan dari Teh Aliyah kembali membuat bayang-bayang saat dirinya ditatap ribuan mata terulang lagi, tetapi apa yang dirasakannya tak seburuk pertama kali, karena pembelaan dari ketua tim dokumentasi menyelamatkannya. 

Setidaknya aku tahu, melebihi kecurigaan mereka padaku, mereka masih mementingkan keutuhan ekstrakurikuler ini dan kekecewaan mereka atas keputusan Bu Srina, batin Niera meremas tangannya. 

"Ayo kita cari solusinya bersama-sama." Pernyataan Firza kembali menarik atensi tiap anggota. "Tanpa ada bukti jelas kita tidak bisa mengkambing hitamkan salah satu anggota kita."

Berbeda dengan saat tiap anggota jurnalistik mengeluarkan protesnya, kali ini ruangan dipenuhi hening, dan membiarkan tatap mata mereka saling berbicara dengan satu sama lain dengan tuduhan siapa pengkhianat di antara mereka. 

"Apa aku boleh berbicara?" Niera mengajukan diri, gadis itu segera mendapat tatap dari sleuruh anggota. Semenjak demonstrasi, ia tak pernah lagi suka dengan perhatian, tetapi saat ini ia harus mengendalikan dirinya dengan baik. 

"Aku masih menyimpan draft awal artikel di laptopku, artikel yang benar-benar aku tulis sendiri tanpa ada maksud apapun selain memberitakan ulang hari keempat MPLS dan memasukkan kode-kode. Aku tak akan mengubah filenya, sehingga kalian bisa melihat detail-detail filenya." Penuturan Niera dibalas oleh hening, tentu yang ia katakan tak cukup dijadikan bukti. 

"Kalau perlu aku akan membawa laptopku," lanjut Niera. Masih ada penjelasan selanjutnya, tetapi bibir gadis itu kelu lantaran menyadari kesalahannya akan terlampiaskan penuh pada dirinya jika mereka mengatahui jika, Niera masuk ke akun admin melalui komputer warnet. 

Memang seingat Niera ia telah mengeluarkan akun admin melalui komputer warnet, tetapi ... di mata anggota jurnalistik yang telah yakin bahwa kegagalan demonstrasi mereka dikarenakan Niera, justru tindakan Niera akan dicap kecerobohan dan kemungkinan besar orang asing nan jahil mampu mengakses akun tersebut melalui trik-trik. 

"Aku meminta maaf atas apa yang terjadi saat demonstrasi, tetapi maafku ini bukan berarti sebagai pengakuan bahwa akulah yang telah menulis artikel itu. Tidak, aku meminta maaf karena merasa namaku disalah gunakan Titano--maksudku, seseorang hingga merugikan kalian." Niera mengambil napas dalam-dalam, merasakan beratnya beban di ucapan selanjutnya. "Aku akan bertanggung jawab dalam menangkap pelakunya."

Pernyataan Niera kembali meninggalkan tiap anggota jurnalistik dengan bungkaman. Bahkan Firza sang ketua pun hanya mampu menekan kedua bibirnya, melempar tatap kepada sorot mata Niera yang penuh determinasi, alih-alih keputuasaan seperti yang pemuda berambut keriting itu kira. 

...

Sudah lima bungkus permen yang Niera habiskan selagi membunuh waktu menunggu angkutan umum di halte sekolah. Jalanan Kota Bogor yang dipenuhi dengan berbagai kendaraan serta angkutan umum berwarna hijau dan biru menjadi hiburan murah yang bisa dunia tawarkan pada Niera, termasuk gula yang menjadi tempat pelarian stress gadis itu. 

Namun, di antara angkutan umum yang melintas, tak ada nomor yang mengarah pada arah rumahnya, dan ini sama sekali tak membantu suasana hati Niera. Tidak sampai seseorang memberikannya tumpukan buku catatan dan kertas-kertas. 

Gadis dikuncir kuda berambut hitam itu duduk di sebelahnya, Niera mengernyit sebentar, berpikir mengapa orang ini mau duduk di sebelahnya. 

"Itu tugas-tugas di kelas yang terlewat," ucap gadis itu sembari memberi senyum.

"Ah, terima kasih Rani," balas Niera, ia kembali melempar tatap curiga. "lo ... sekarang buka jasa minjemin tugas?"

"Nggak seperti itu!" dengkus Rani kesal, "hanya saja ... takut tugas-tugas lo terlupakan. Kita memang sama-sama tim artikel, tetapi ... dibandingkan dengan gue, lo lebih berdedikasi bahkan lebih rela begadang ngerjain artikel dibandingkan tugas, hehe."

Niera menundukkan kepalanya, menatap buku tugas Rani di tangannya. Ini semua adalah tugas-tugasnya yang tertinggal kemarin, baik saat ia meliput berita, atau justru tertidur di kelas. 

"Kita sudah berteman sejak kelas sepuluh, bahkan gue ikut ekstrakurikuler ini karena lo. Niera, gue percaya sama lo bahkan setelah kejadian artikel di demonstrasi itu." Sebuah tangan mendarat di bahu Niera, sebuah perasaan asing seperti empati kini terasa asing bagi Niera. Pada awalnya gadis itu mengedikkan bahu, merasa tak nyaman, tetapi perlahan ketegangan itu berkurang. 

Rasanya tidak buruk. Meskipun tidak serta merta mengangkat seluruh bebannya yang terasa menyesakkan, serta tak menghindarinya dari tatap mata murid-murid ataupun guru-guru, tetapi setidaknya gadis berambut ikal itu tahu ada satu orang yang berdiri bersamanya. 

"Rani, terima kasih!"

Bagi Niera sendiri, kata-kata itu tak cukup mendeskripsikan kesanangannya, atau mengapa ia menjadi lebih bersemangat saat mendatangi gaming cafe tempatnya mengunggah artikel tersebut. Penyelidikannya dimulai, dan Niera akan bergerak dari akarnya. 

"Komputer nomor dua belas untuk satu jam."

"Bang, komputer nomor dua belas kayak biasa, ya."

Ucapan yang saling bertabrakan dengan suara familier itu sontak membuat keduanya menoleh. Wajah netral Niera tak bisa menggambarkan betapa terkejut serta kesalnya saat melihat sosok yang berani-beraninya menyewa komputer incarannya.

Begitu pun dengan sang pria yang segera menautkan alisnya. "Ngapain lo ada di sini," ketusnya dengan segera mengeluarkan uang. 

"Terserah gue pergi ke manapun, lagi pula ini tempat umum, kan!" Niera tak kalah ketusnya sembari mengeluarkan uang.

"Oh, ya udah, tapi komputer nomor dua belas gue yang pakai."

"Siapa lo membuat keputusan? Ini bukan sekolah di mana ketua OSIS bisa semena-menanya."

Adrash menggertakkan giginya dengan kesal. Namun kekesalannya tak bertahan lama saat dirinya justru mendapatkan komputer nomor dua belas, sedangkan gadis berambut ikal itu terdiam dengan raut wajah bertuliskan tidak adil. 

"Memang, mungkin ini karma buatmu karena sudah mencari masalah di sekolah, terutama dengan guru." 

Niera mengepalkan tangannya dan dengan terpaksa mengambil penanda untuk komputer nomor tiga belas, ya, tepat di sebelah spesies yang dipenuhi keburukan bernama Adrash. Jika saja Niera tak terkena masalah dengan artikel demonstrasi tersebut, maka Niera tak akan keberatan menambah masalah satu lagi dengan melempar kursi ke kepala Adras. 

Ren-San22 Notes

Ekhem, di sini udah mulai ada hint... bisakah kalain mulai menebak tersangkanya?


You are reading the story above: TeenFic.Net