CHAPTER 28 : Konfrontasi

Background color
Font
Font size
Line height

POV 3

Di siang hari yang terik, Aran dan Urara mencapai lokasi pertarungan antara kelompok Leonard dan Naga Dolagos. Mereka keheranan melihat tumpukan abu kremasi yang begitu melimpah. Keduanya merasa penasaran dan ingin mencari tahu asal-usul abu tersebut.

Dengan penuh perhatian, Aran mengulurkan tangannya untuk meraba tekstur abu yang ada, sambil memperhatikannya dengan seksama. "Ini berbeda dari abu sebelumnya," ucap Aran dengan nada tenang.

Namun, Urara merespons dengan sikap skeptis, "Apa yang membedakannya? Bagiku, sama saja."

Dengan penuh keyakinan, Aran menjawab, "Meski tampak sama, namun ada perbedaan. Abu ini jelas berasal dari pembakaran bangkai monster."

"Yaah~ aku memang tak bisa meragukanmu lagi. Kamu memang ahli dalam urusan abu-abuan. Jika memang itu dari bangkai monster, pasti mereka baru saja terlibat pertarungan dengan monster ini," ujar Urara dengan nada sinisnya, mencoba menebak apa yang sedang terjadi.

Urara pun tersenyum licik dan tertawa kecil dengan suara yang menggoda. "Huhik.. Itu pasti juga akan menguntungkan rencana kita, karena mungkin mereka terluka dan kelelahan."

Tak jauh dari lokasi mereka saat ini terdapat tiga makam yang baru saja dibuat. Aran menatap ke arah ketiga makam itu dan berjalan ke sana.

"Asumsimu tepat sekali. Makam-makam itu membuktikan keganasan monster ini," ujar Aran yang menunjukkan ketiga makam tersebut kepada Urara.

"Sekarang mereka pasti tengah mengalami luka parah. Ini menjadi kesempatan kita untuk membunuh bangsawan itu," kata Aran yang menatap tajam dibalik topengnya.

Ketika Aran berjalan menuju makam, langkahnya terhenti ketika melihat longsongan logam kuningan. Tak lain, serpihan itu adalah longsongan peluru kosong, berfungsi sebagai bekas tembakan peluru senjata yang Yudha gunakan saat melawan monster sebelumnya.

Ia pun mengambil salah satu selongsongan peluru kosong tersebut dan kembali memperhatikannya dengan seksama. "Apa ini?" gumam Aran mempertanyakan benda tersebut. "Sepertinya ini adalah bagian dari senjata orang barbar itu. Mungkinkah ini adalah senjata pamungkas yang orang itu sebutkan?" Aran berasumsi dibenaknya.

Urara, yang bingung dengan tingkah laku Aran, bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan?"

"Aku menemukan sesuatu yang menarik!" jawab Aran.

Urara yang penasaran pun bertanya, "Apa yang menarik?"

"Perhatikan ini," ungkap Aran seraya menunjukkan selongsongan peluru tersebut.

"Terlihat seperti kuningan tembaga biasa. Apa yang menarik darinya?" tanya Urara.

"Kau ingat ketika babi itu mengatakan bahwa orang barbar itu memiliki senjata yang mematikan?" Aran mencoba mengingatkan Urara.

Urara pun terdiam sejenak, berusaha mengingat kembali apa yang dikatakan oleh Aran.

"Iya, aku ingat. Apa hubungannya dengan serpihan kuningan ini?" tanya Urara.

"Aku menduga bahwa ini mungkin salah satu bagian dari senjata itu. Kita harus berhati-hati, benda ini sepertinya cukup kuat untuk melumpuhkan monster itu," jelas Aran.

"Huh? Aku rasa kau terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin benda sekecil ini dapat melumpuhkan monster itu? Lagipula, benda sekecil itu tidak akan bisa melukai kita," ujar Urara dengan nada meremehkan.

"Terserah bagaimana pandanganmu, aku hanya ingin kita tetap berhati-hati. Jika terjadi sesuatu, jangan salahkan aku," balas Aran dengan nada dingin.

"Kau terlalu meremehkan ku, Aran. Sudahlah, kita harus bergegas sebelum mereka pergi lebih jauh," ujar Urara sambil beranjak pergi dengan cepat.

Aran merasa heran dengan perubahan sikap Urara. Biasanya, Urara cenderung memperlambat misi mereka. Namun kini, sikapnya tampak begitu berbeda. Tanpa banyak berpikir, Aran segera menyusul Urara dari belakang, memastikan untuk tetap berada di sampingnya.

***

Sementara itu, waktu terus berlalu. Chinua memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah dahan pohon besar, sebelum melanjutkan perjalanannya untuk membalas dendam terhadap para pemberontak yang telah melakukan kejahatan terhadap Syira.

Matahari hampir berada di puncak langit ketika Chinua melanjutkan langkahnya, melaju dengan cepat dan melompati dahan-dahan pohon dengan keahlian seperti seorang ninja yang mahir. Ilmu yang dikuasainya dikenal sebagai ilmu meringankan tubuh, kemampuan khusus yang membuat tubuh para pendekar menjadi seringan kapas, sehingga memungkinkan mereka bergerak lebih cepat daripada angin.

Chinua bergerak dengan lincah dan melintasi jalannya melalui pepohonan tanpa mengalami hambatan yang berarti. Akan tetapi, kepekaan yang dimiliki Chinua mengirimkan sinyal bahwa ada beberapa sosok yang mendekatinya dari arah depan.

"Ini!? Ya, aku yakin bahwa mereka yang berada di depan sana adalah orang-orang suruhan dari pimpinan pemberontak itu. Aku tidak akan melepaskan kesempatan ini jika bertemu dengan mereka. Sebaiknya aku bersembunyi dan menyamarkan Aura Pembunuhku. Aku akan menyerang mereka dengan serangan kejutan," gumam Chinua dengan penuh siasat.

Chinua menyadari bahwa dia tidak ingin memancing perhatian mereka, maka ia mencoba untuk menarik kembali Aura Pembunuh yang sebelumnya telah dia keluarkan beberapa waktu lalu. Dia bersembunyi di balik pepohonan yang lebat sambil mengendalikan napasnya agar tetap tenang.

Chinua berusaha menyamarkan kehadirannya, menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dia fokus mengatur energi dan aura yang ada dalam tubuhnya, memadamkan kekuatan aura pembunuh yang sebelumnya terpancar. Dalam ketenangan, ia menemukan keseimbangan dan kembali berada dalam keadaan yang tenang.

***

Sementara itu, Aran, sebagai demihuman macan dengan kepekaan yang luar biasa, juga menangkap kehadiran seseorang tak jauh dari mereka. Urara, dengan kemampuan khususnya, juga mengendus aroma keringat yang mengindikasikan keberadaan lawan di depan mereka.

"Sepertinya ada seseorang di depan sana yang akan menghalangi kita, Aran. Apa yang akan kita lakukan padanya?" tanya Urara.

"Jangan langsung menyerang. Kita perlu memahami situasinya terlebih dahulu. Dia bisa jadi hanya seorang petualang yang tersesat," jawab Aran.

"Mana mungkin ada petualang yang berani menjelajahi hutan angker ini. Aku yakin orang di depan kita adalah salah satu anggota kelompok bangsawan," sangkal Urara.

"Tetap waspada. Jika benar itu salah satu anggota kelompok bangsawan itu, kemungkinan dia orang barbar yang dimaksud itu," tebak Aran.

"Aku tidak sabar menguji kemampuan pria itu. Sepertinya belati-belati tajam ini menginginkan darah segarnya," kata Urara sambil tersenyum licik.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, tetap waspada terhadap kehadiran sosok misterius tersebut. Mereka sadar bahwa pertemuan dengan orang tersebut bisa menjadi penentu nasib mereka di hutan ini.

***

Saat mereka semakin mendekat, Chinua tiba-tiba merasakan adanya kehadiran kedua sosok itu di balik pohon. Ketegangan menyelimuti udara, memompa adrenalinnya yang terus meningkat. Namun sebelum ia berani muncul dari persembunyian, sebuah kejadian tak terduga pun terjadi. Chinua pun terkejut mendapati seorang wanita yang menggelantung tepat di depan wajahnya.

"Ketemu, hihi!" terdengar suara wanita itu, diiringi dengan gelak tawa licik.

Dalam keadaan panik, ia bertindak dengan insting dan melompat ke bawah pohon. Tubuhnya meluncur dengan kecepatan tinggi, memberikan tarian yang anggun di udara, seolah-olah waktu berhenti sejenak untuk memperhatikan gerakan yang begitu indah.

Ketika Chinua mendarat dengan tegap di tanah, ia tersadar bahwa sosok wanita tersebut adalah Urara, yang dengan lihai menemukan keberadaannya.

Dengan sikap yang angkuh, Urara membalikkan posisinya, mengangkat punggungnya dan menatap Chinua dengan tatapan yang penuh penghinaan. Sementara itu, Aran berdiri kokoh di atas puncak pohon cemara, dengan kedua tangannya yang dilipat, sementara wajahnya menampilkan ekspresi dingin yang tidak tergoyahkan.

"Ternyata dia seorang wanita!" Ucapan Urara terdengar sinis, menciptakan ketidakpuasan dalam nadanya. "Aku pikir dia pria barbar itu, huh membosankan."

"Aku juga tidak menyangka," kata Aran, suaranya terasa dingin dan meningkatkan ketegangan di udara.

"Siapa kalian!? Apakah kalian memiliki hubungan dengan para pemberontak itu!?" suara Chinua bergema dalam kebisingan, menggambarkan kekesalan dan ketidakpercayaannya.

Senyum licik terulur di wajah Urara, jawabannya tidak terhindarkan. "Mengapa begitu penasaran, Nona?"

Chinua pun melengking tajam. "Oh, jadi begitu, kalian tidak mau menjawab ya. Baiklah maka aku anggap seperti itu!"

Dengan keberaniannya, ia kembali memancarkan aura pembunuhnya yang mengerikan. Sensasinya mampu menggetarkan saraf dan menakutkan siapa pun yang merasakannya.

Sorot mata Urara meluap keheranannya saat merasakan kehadiran aura pembunuh yang kuat ini. Getaran kecil bergentayangan di hatinya, mencerminkan ketakutan yang muncul. Namun, itu tidak cukup untuk menggoyahkan keteguhannya. Sambil Aran dengan santai menyaksikannya, hati dan pikirannya tetap tidak bergeming.

"Rupanya kau juga memiliki aura pembunuh sekuat itu, ya? Sepertinya aku telah menemukan lawan sepadan," kata Urara dengan nada sombong.

Merasa dirinya tertantang, Urara tanpa ragu mengeluarkan kekuatan aura pembunuh yang dimilikinya. Energi gelap nan pekat dari aura tersebut hampir tak dapat dibedakan dengan milik Chinua. Tiba-tiba, Chinua merasakan getaran yang mengguncang batinnya. Ini adalah pertama kalinya ia mendapati seseorang yang mampu mengimbangi keganasan aura pembunuhnya.

Sejatinya, aura pembunuh merupakan indikator yang muncul setelah nyawa-nyawa banyak dirampas. Semakin pekat aura itu, semakin banyak pula nyawa yang telah terenggut. Adapun beberapa orang yang menjadikan kekuatan itu sebagai senjata mematikan untuk mengintimidasi musuh-musuhnya.

"Nona, melihat penampilanmu, aku yakin kau berasal dari Timur, bukan?" tebak Urara.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dalam sekejap, Chinua bergerak dengan kecepatan yang tidak terlukiskan, mengarahkan pedangnya dengan presisi yang memukau. Pohon yang menjadi pijakan Aran dan Urara terputus dengan kekuatan dahsyat.

'SRING....CRAK'

"Hei, apa yang kau-"

Pohon mulai roboh, sementara Aran dan Urara terkejut melihat pohon yang jadi pijakan mereka menjadi roboh dengan liar. Namun, mereka segera bereaksi dan berpindah tempat dengan cepat, melompat ke pohon lain untuk menyelamatkan diri.

Sebelum mereka bisa bernapas lega, Chinua telah meluncurkan serangan mematikannya.

"Tebasan Pengoyak Bumi!!" kata Chinua meneriakkan nama jurusanya.

Dengan kecepatan kilat, ia menyerang Urara dengan gerakan yang mematikan. Derasnya serangan vertikal itu menghancurkan udara, meninggalkan jejak ketegangan. Tapi, Aran tidak tinggal diam.

'WOSH...TRANG!!'

Dengan keahliannya, ia membelah serangan Chinua dengan pedangnya, mematahkannya tanpa kesulitan. Dengan pandangan yang jernih, Urara kembali waspada. Dia menyadari betapa meremehkan lawan bisa berakibat fatal. Aran dengan lihainya mampu melawan dan mematahkan serangan vertikal yang mematikan itu. Tatapan Chinua terangkat sedikit, terkesan oleh kemampuan Aran yang jarang ditemui di dunia persilatan.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Aran segera menanggapi dengan serangan balik. Pedangnya bertemu dengan pedang perak milik Chinua menimbulkan dentingan keras yang mengemuka di udara.

'TRANG!!'

Tapi Aran tidak berhenti sampai di situ. Dia melanjutkan serangannya dengan dorongan tambahan, memaksa pedangnya bergesekan kuat dengan pedang lawannya. Hasilnya, Chinua terpental ke tanah dengan kasar. Tapi begitu terjatuh, Chinua dengan gerakan reflek nan gemulai anggun melompat kembali, siap menyerang Aran.

Sementara itu, Urara tidak tinggal diam. Sebagai seorang pendekar wanita berpengalaman, dia memegang erat belati di kedua tangannya. Penampilannya yang mengenakan jubah hitam misterius memancarkan aura pembunuh yang menakutkan. Matanya yang tajam dipenuhi keberanian dan niat jahat saat dia bersiap menghadapi Chinua, musuhnya.

"Aran, minggir!" seru Urara dengan nada tinggi. "Dia adalah lawanku, lebih baik kau duluan mengejar rombongannya!"

Aran, sedang dikerumuni oleh serangan Chinua, menjawab, "Kau serius? Mungkin dia lebih kuat dari yang kita kira. Jika tidak disingkirkan, dia akan menjadi bumerang nantinya," ucapnya dengan dingin.

"Ini urusan antara wanita, pria jangan ikut campur. Sekarang pergilah!" teriak Urara.

"Jangan harap aku akan membiarkan kalian berdua pergi!" Chinua dengan tegas mengatakan.

"Baiklah, ingatlah selalu bertelepati untuk berkomunikasi. Jangan gegabah!" tanpa mempedulikan perkataan Chinua, Aran memberikan serangan terakhirnya ke arah Chinua.

Chinua dengan gesit berhasil menangkis serangan tersebut, tetapi terpental beberapa meter ke belakang. Hal ini memberikan waktu yang cukup bagi Aran untuk melarikan diri dari tempat tersebut tanpa terlihat pengecut.

"Cih, tak akan ku biarkan kau pergi seenaknya!!" saat Chinua hendak mengejar Aran, tiba-tiba Urara menghadang langkahnya.

"Hai Nona, jangan lupakan aku di sini!" ucap Urara dengan sinis.

Dengan terpaksa, Chinua membiarkan Aran lolos begitu saja. Ia menaruh harapan besar kepada adiknya Chengiz dan Yudha, agar mampu menghadapi kekuatan orang tersebut.


You are reading the story above: TeenFic.Net