CHAPTER 10 : Dipercayai Bangsawan

Background color
Font
Font size
Line height

Chinua menatap dengan penuh ketertarikan pada gadis harimau putih itu. Hatinya berdebar, merasa terpesona dan seakan ingin mengadopsinya. Meskipun ada perbedaan ras di antara mereka, Chinua memilih untuk tidak mempermasalahkannya.

"Anggap saja aku ini mamamu!" kata Chinua sambil tersenyum lebar.

"Anda aneh. Kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin aku bisa memanggilmu Mama? Lagipula, Anda terlihat sangat muda. Apa kata orang kalau tahu kamu punya anak?" Syira menjawab dengan jujur, dan tanpa sadar kata-katanya menyentuh hati Chinua, membuatnya merasa sedikit tersakiti.

Meskipun usianya sudah 43 tahun, Chinua masih terlihat awet muda, segar, dan bugar. Ia telah mencapai tingkat tinggi sebagai seorang pendekar, ditambah kebiasaan mengonsumsi rempah-rempah dan ramuan herbal seperti ginseng, yang menjaga penampilannya tetap cantik dan tanpa keriput.

"Hiks, kamu jahat sekali, Nak! Baiklah, panggil saja aku Chinua. Tapi bolehkah aku tahu siapa namamu?" Chinua mencoba bercanda, menepuk-nepuk pipi Syira dengan guyonan yang menyakitkan hatinya.

"Syira... Namaku Syira," jawab Syira dengan senyuman manis, memperkenalkan dirinya.

"Waah, nama yang sangat cantik, seindah dirimu, sayang," puji Chinua dengan mata berbinar. "Ngomong-ngomong, Syira, apakah pria itu melakukan hal yang aneh padamu?" lanjutnya, mencoba mengalihkan topik.

"Emm, tidak juga, Kak Chinua..." Syira menjawab, namun Chinua langsung memotongnya.

"Ah, aku dipanggil kakak lagi? Padahal usiaku 43 tahun, loh. Haha, tak masalah, penampilan memang bisa menipu," kata Chinua sambil memegang pipinya dengan kedua tangan dan tertawa manja.

Di dalam hati, Syira berpikir, "Hah? Bagaimana bisa dia terlihat lebih muda dari usianya? Wanita yang aneh. Sepertinya aku perlu menjaga jarak."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Syira, kelihatan bingung.

"Bercanda, Nak... Panggil aku dengan nama apapun, terserahmu. Jadi, bisa lanjutkan ceritanya?" kata Chinua dengan santai.

"Baiklah, Bibi Chinua. Sebenarnya, Tuan yang bersamaku tidak melakukan hal yang aneh. Dia baik hati, ramah, dan sangat pengertian. Bahkan, dia merawatku ketika aku sakit. Aku bisa meyakinkanmu bahwa dia tidak berbahaya," jelas Syira dengan tenang.

"Kenapa kamu tidak takut dengan aura pembunuh yang terpancar darinya?" tanya Chinua, heran.

"Itu... emm, sebenarnya pada awalnya aku merasa ragu. Aku bahkan tidak yakin dia akan menyelamatkanku. Namun, setelah aku mencium aromanya, aku merasa dia adalah orang yang bersahabat, meski ada aura yang kuat menyelimutinya. Sejak saat itu, aku yakin dia orang yang baik," jawab Syira.

"Aroma? Aroma seperti apa?" tanya Chinua, semakin penasaran.

"Oh, itu... Aku tidak bisa menjelaskannya dengan tepat. Tapi, aku punya kebiasaan mencium aroma tubuh seseorang untuk mengenali karakter mereka. Ibu di panti dulu pernah mengatakan itu adalah salah satu kemampuan khususku," kata Syira.

Syira mengingat kembali saat-saat di tenda beberapa waktu lalu, ketika dia mencoba mengendus aroma keringat Yudha untuk menilai karakter pria itu. Saat itu, dia menyimpulkan bahwa Yudha adalah sosok yang baik.

Sebagai ras demihuman harimau putih, Syira memiliki indra penciuman yang sangat tajam, sekitar 14 kali lebih sensitif daripada manusia. Ia sering menggunakan kemampuan ini untuk mendeteksi bahaya, memastikan kehadiran orang, atau mencari tanda-tanda aktivitas di sekitarnya.

"Jadi, itu salah satu kemampuan ras harimau, ya? Menarik sekali. Mama pernah dengar bahwa ras harimau punya kebiasaan mencium bau. Jadi, dari situ kamu bisa menyimpulkan bahwa dia orang baik?" tanya Chinua, terkesan.

"Iya, Bibi! Aku yakin dia bukan orang jahat," jawab Syira dengan penuh keyakinan.

"Jika kamu yakin, Nak, Mama juga ikut yakin dia orang baik. Semoga saja benar. Lalu, bagaimana kalian bertemu?" tanya Chinua, ingin tahu lebih lanjut.

Syira pun menceritakan kronologi pertemuannya dengan Yudha. "Jadi begitu... Kamu melarikan diri dari pemberontak dan tak sengaja bertemu dengannya di hutan. Bagaimana dengan orang-orang yang mengejarmu?"

"Aku tidak tahu, yang aku ingat hanyalah saat dia menemui aku. Selebihnya, aku tidak sadar," jawab Syira, merendah.

"Selama kalian bersama, apakah kamu mengerti apa yang dia katakan?" tanya Chinua lagi.

"Selama kami bersama, kami tidak benar-benar berkomunikasi dengan kata-kata. Tapi entah mengapa, kami bisa saling memahami tanpa kata-kata," jawab Syira dengan senyum misterius.

"Apa maksudmu, saling memahami tanpa kata-kata?" tanya Chinua, bingung.

"Hmm, mungkin lewat ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau bahkan dengan keintiman hati. Aku tidak bisa menjelaskannya dengan pasti, tapi kami bisa saling mengerti," jawab Syira, tetap tersenyum.

"Ah, Syira, kau memang manis sekali," kata Chinua sambil tertawa geli.

Sekitar lima belas menit setelah Yudha turun dari bukit, dia akhirnya sampai di tempat rombongan, yang telah kembali dengan membawa perlengkapan mereka.

***

POV Yudha

Aku sudah cukup lama menuruni bukit, dan akhirnya aku sampai di tempat rombongan. Memang sedikit melelahkan membawa beban sebanyak ini, tetapi aku tidak bisa meninggalkan satu pun barang. Semua itu penting.

"Saya kembali sesuai janji!" kataku. Begitu mendengar suaraku, mereka langsung menoleh. Gadis harimau putih yang sebelumnya melihatku, tampak senang.

"Banyak sekali bawaanmu! Apakah kau tidak merasa kesulitan dengan tas sebesar itu?" tanya Tuan Leonard.

"Seperti yang Anda lihat, memang saya kesulitan. Saya bahkan sulit bergerak bebas. Tapi tak apa, saya sudah terbiasa," jawabku sambil meletakkan tas dan barang-barangku di tanah.

"Aku menghargai semangatmu, Anak muda. Kau begitu tangguh membawa beban itu dari atas sana. Belum tentu mereka-mereka ini sanggup," kata Tuan Leonard sambil menyindir anak buahnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya.

"Mana benda yang kau sebutkan sebelumnya?" Tuan Leonard bertanya, terlihat penasaran.

"Saya membunuh mereka dengan ini," jawabku sambil menunjukkan senapan sniper milikku. Mereka memandangnya dengan alis terangkat, jelas terlihat bahwa desain senjata itu sangat asing bagi mereka.

"Senjata macam apa itu? Aku baru pertama kali melihatnya," ujar Tuan Leonard, takjub.

"Ini adalah senapan," jelasku perlahan. "Cara kerjanya hampir mirip dengan busur panah, di mana kita harus membidik sebelum menembak. Namun, perbedaannya sangat mencolok. Jika busur panah melepaskan anak panah, senjata ini melepaskan proyektil kecil yang didorong dengan kecepatan tinggi oleh gas hasil pembakaran bubuk mesiu. Akurasinya lebih tinggi daripada busur panah, dan dengan begitu, lebih efektif dalam membunuh."

Tuan Leonard tampak terkesan, namun kebingungannya masih terlihat jelas. "Senjata ini luar biasa. Dari mana kau mendapatkannya?" tanyanya dengan rasa ingin tahu yang besar. Aku berusaha menghindari kecurigaan mereka.

"Mungkin kalian akan sulit mempercayainya, tapi ini adalah kenyataannya. Negeri saya memang jauh lebih maju dalam hal peradaban daripada yang kalian miliki. Kami memilih untuk tetap terisolasi, menjaga keamanan negara dari segala ancaman. Dan senjata ini adalah salah satu karya dari negeri kami," jawabku, menyusun kebohongan dengan hati-hati.

Tuan Leonard terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kataku. "Jadi, negeri seperti yang ada dalam dongeng-dongeng ternyata memang benar-benar ada. Aku tidak menyangka," ujarnya, suara penuh kekaguman, mengangkat alisnya.

Para anggotanya pun menampilkan ekspresi serupa, tak mampu menyembunyikan keterkejutan mereka. Aku mengangguk perlahan, memberi mereka tatapan penuh keyakinan. "Ya, seperti yang kalian lihat... Sulit dipercaya, bukan?"

Dari ekspresi wajah mereka yang terkejut, jelas bahwa mereka tak pernah membayangkan senjata seperti ini bisa digunakan untuk memberondong musuh dengan begitu efisien. Senapan sniper memang dirancang untuk membunuh secara diam-diam, mengaburkan kehadirannya, dan sangat efektif dalam situasi pertempuran yang sebelumnya terjadi.

"Aku tak menyangka bahwa senjata dari negaramu bisa seefektif ini. Kalau kamu berkenan, apakah kau mau menjualnya kepada kami? Kami siap membayar dengan harga yang sangat tinggi," kata Tuan Leonard, sikap santainya menyembunyikan rasa ingin tahu yang mendalam.

Aku tahu mereka hanya ingin mempelajari teknologi ini, menyalinnya, dan memproduksinya secara massal. Tidak, aku tidak bisa membiarkan senjata ini jatuh ke tangan siapa pun.

"Dengan segala hormat, saya tidak akan menyerahkannya, meskipun kerajaan Anda siap membayar harga berapa pun," jawabku dengan tegas.

"Ah, sudah kuduga kau pasti akan menolaknya. Melihat gerakanmu, kau tampaknya seperti seorang prajurit yang taat pada aturan negaramu. Tentunya, kau ingin menjaga rahasia senjata ini agar tidak jatuh ke tangan yang salah," ujar Tuan Leonard dengan senyum penuh arti, seperti mengetahui apa yang aku rasakan.

Ada kebenaran dalam apa yang dia katakan, tetapi itu bukan alasan utamanya. "Ya, memang begitu," jawabku, menyembunyikan senyum palsu.

"Jadi, apakah kita akan membawa pria asing ini, Tuan Leonard?" kata Chinua, menggunakan bahasa asing.

"Iya, itu rencananya. Kita akan membawanya ke ibu kota dan melaporkan kejadian ini kepada raja. Dia akan mendapatkan penghargaan dari Yang Mulia karena telah menyelamatkan kita semua," jawab Tuan Leonard.

"Cih, pekerjaan kami bertambah lagi. Sekarang kita harus mengawasi pria ini," keluh Chinua, meskipun bahasanya tidak aku mengerti, tatapannya yang sinis membuatnya jelas-jelas mengungkapkan ketidaksenangannya.

"Seperti yang kau dengar, Anak muda. Apakah kamu mau ikut dengan kami ke ibu kota?" Tuan Leonard melirik ke arahku.

Aku merenungkan kata-katanya. Secara tidak langsung, mereka menawarkan bantuan untuk keluar dari hutan terlarang ini. Aku sama sekali tidak menyangka bisa terjebak di hutan ini. Tidak seperti kisah Isekai yang biasa kutonton, di mana tokoh utama biasanya dipanggil dengan sihir atau terjatuh ke dunia lain. Aku justru jatuh dari ketinggian, dan beruntung masih selamat karena menggunakan parasut. Kalau tidak, mungkin aku sudah mati dua kali.

"Kayaknya kebanyakan cerita Isekai nggak begini, deh. Biasanya, tokoh utamanya muncul di tempat yang ditentukan atau dipanggil pakai sihir pemanggilan pahlawan. Tapi aku malah jatuh dari ketinggian, untungnya ada parasut, kalau nggak... Mungkin aku udah mati dua kali. Tuhan, apa sih rencanamu sebenarnya?" gumamku dalam hati.

"Ya, tentu saja!" jawabku tanpa ragu.

"Baiklah, sudah diputuskan!" Tuan Leonard mengangguk, puas dengan jawabanku.

Mengingat pertanyaannya, aku menerima tawaran itu dengan senang hati. Meski penghargaan bukan yang aku harapkan, setidaknya aku bisa keluar dari hutan ini. Kini aku hanya ingin menjalani kehidupan baruku di dunia ini. Tuhan memberiku kesempatan kedua, dan aku harus menerimanya dengan rasa syukur.

"Tapi sebelum itu, ini aku berikan kalung ini kepadamu sebagai rasa terima kasihku. Aku melihat kau kesulitan memahami bahasa mereka. Mungkin kamu yang paling membutuhkannya. Gunakan kalung ini dengan bijak," Tuan Leonard tiba-tiba memberikan kalung penerjemah yang ia kenakan.

"Apa Anda tidak keberatan memberi saya ini?" tanyaku, memastikan.

Tuan Leonard hanya menggelengkan kepala, menandakan bahwa ia tidak keberatan. Aku segera meletakkan kalung itu di leherku dan mencoba berbicara.

"Eh... cek, cek, cek, tes, tes... Jadi, apakah kalian mengerti?" ucapku, memulai uji coba kalung tersebut.

"Uwooaa," mereka serempak, terkejut dengan perubahan yang terjadi.


You are reading the story above: TeenFic.Net