Bab #3

Background color
Font
Font size
Line height

Setelah hari-hari yang terasa panjang, Minggu akhirnya tiba.

Nah, sesuai janji Pak Richard waktu di lapangan basket, hari ini semua bakal kumpul di kafe deket sekolah dan diskusi di sana. Jones udah paling apal sama kafe itu, jadi dia yang pertama datang, ngebonceng Ramirez.

Eh salah, bukan dia yang pertama.

Kejutan. Ada yang sudah menunggu di dalam kafe.

“Kalian lama sekali.”

Itu Carl, duduk santai di salah satu booth. Kedua tangannya sedang memegang buku—dia kayaknya kutu buku jadi bawa buku kemana-mana—dan kedua kakinya disilangin, udah kayak orang sombong.

“Lu kapan datang?” Ramirez gak ada angin gak ada hujan langsung bertanya.

“Semenit lalu.” Carl menjawab takzim, tapi matanya masih menatap buku di tangannya.

Ramirez ber-oh pelan.

Jones mengingat persis saat Carl bilang dia sering pergi ke kafe ini saat masih SMP. Sepertinya dia masih menyukai tempat ini hingga sekarang.

Ramirez hendak duduk, tapi Carl mencegahnya.

“Kursi itu sudah dipesan.”

Ramirez menatapnya bingung. “Siapa yang memesannya?”

“Entah, pokoknya ada yang memesan kursi itu. Tapi aku juga sudah memesan kursi untuk kalian di lantai atas.” Carl menutup bukunya, berdiri tegak.

“Lantai atas? Gue kira tuh lantai buat pelanggan VIP,” Jones mengangkat alis.

“Yah, aku punya akses. Sekarang jangan banyak tanya. Ayo.” Carl mulai berjalan meninggalkan mereka.

Ramirez ingin bicara lagi, tapi Jones lebih dulu menarik lengannya, mengikuti punggung Carl.

Carl berjalan menuju tangga, dimana ada petugas yang sedang membersihkannya. Petugas itu membiarkan mereka lewat, bilang lantai VIP memang sudah dipesan oleh Carl.

Ramirez menganga. “Serius?”

Carl di depannya mengangguk.

Jones refleks menepuk dahi. Fiks, dia pasti anak horang kaya.

Butuh satu menit menaiki tangga itu saking tingginya, akhirnya mereka sampai.

Lantai itu di desain untuk pertemuan terbuka, outdoor. Kursi-kursi kayu bewarna hitam lengkap dengan mejanya teronggok bisu di tengah-tengah ruangan. Sekitar terlihat indah dengan bunga-bunga berada di setiap sudut lantai, serasi dengan karpet rumput di bawah kaki. Lampu-lampu kristal yang tertanam di lantai mengeluarkan cahaya pastel lembut.

Dan bukan hanya itu, ada meja prasmanan di tiap sudut ruangan lengkap dengan semua hidangannya. Juga terdapat dapur terbuka di sisi ruangan, agar pelanggan dapat menikmati serunya menonton acara memasak secara langsung.

Carl langsung menarik salah satu kursi dan duduk disana, Jones dan Ramirez duduk disebelahnya.

"Lu beneran mesan lantai ini, Carl?" Jones bertanya.

Carl mengangguk sekilas tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

Jones menatap Carl dan Ramirez bergantian. Ramirez sih tengok kanan tengok kiri aja.

Tiba-tiba, telepon berbunyi.

“Ramirez, hape lu tuh,” Jones menujuk ponsel Ramirez yang mengeluarkan suara berdering pelan.

Ramirez sontak mengambilnya, lantas menjawab, “Halo?”

Setelah terdiam sebentar, dia berseru, “Iya Pak, lantai atas. Yang buat pelanggan VIP.”

Terus lanjut, “Gak tahu dan gak mau tahu Pak, yang pasti dia anak orang kaya. Buktinya aja dia bisa menyewa satu lantai buat kita.”

Dan lanjut, “Oke Pak, ditunggu.”

Ramirez meletakkan ponselnya, lantas berkata kepada Jones. “Biasa, Pak Richard.”

Jones ber-oh pelan.

Hampir semenit menunggu, terdengar suara langkah kaki dari tangga. Pak Richard akhirnya datang, bersama Archer dan yang lain.

“Kapan kalian sampai?” Diego langsung membuka acara ini dengan kata-kata manisnya.

“Lima belas menit yang lalu,” Jones menjawab takzim. Sambil menoleh ke arah Carl–yang tertidur pulas setelah bosan membaca buku–dia menambahkan, “Dia datang semenit sebelum kami.”

Pak Richard hendak membangunkan Carl, tapi Jack mencegahnya. “Serahkan padaku.”

Jack langsung mengendap-ngendap, sembunyi dibalik kursi Carl, hendak mengagetkannya.

“WOI! JAM BERAPA INI?! UDAH TELAT WOI!”

Kencang banget sampai Pak Richard pun harus mengeluarkan jurus andalannya–tutup telinga. Lah, Carl kayak udah tuli aja, gak denger.

“Jack,” Jean menyela. “Gimana dia mau denger cobak? Orang di telinganya ada airpods.”

Jack melihat telinga Carl, ternyata benar dong. Langsung dia cabut airpods nya dari dua telinganya, lantas teriak lagi, lebih kencang.

“LU TELAT, CARL! LIHAT JAM BERAPA SEKARANG! PAK RICHARD MARAH ENTAR!”

Masih gak ada respon. Gila, tulinya tingkat dewa.

Jean menyuruhnya menyerah, tapi Jack bersikeras, hendak berseru lagi.

Tapi sebelum dia bisa teriak.

Splash! Carl tiba-tiba menghilang, lalu muncul di samping Jack, menyumpal mulutnya.

“Kau kemanakan airpods milikku?” Carl berseru dingin.

Jack refleks ingin melepaskan tangan Carl dari mulutnya, tapi dia tidak bisa. Tidak sebelum dia minta maaf.

“Hentikan!” Pak Richard menegur Carl. “Carl Ackerman, turunkan tanganmu. Kita tidak sedang belajar, tapi Bapak tidak akan segan menghukummu jika kau tidak berhenti. Cepat!”

Carl yang melihatnya menggeram pelan, lantas menurunkan tangannya, mengelapnya dengan saputangan. Selintas warna matanya berubah menjadi merah menyala–setidaknya itu yang Jones lihat.

Jack yang mulutnya bebas langsung diam. “Maaf, Carl.”

Tidak ada jawaban. Carl langsung merenggut airpods dari tangan Jean dan hendak memasangnya kembali di telinga, tapi Pak Richard lebih dulu menegurnya.

“Carl, beretikalah yang sopan. Kita sedang berkumpul. Jangan berpikir seolah-olah kau sendirian disini.”

Carl langsung melontarkan tatapan tajam, bagaikan es runcing yang menusuk langsung ke dalam tubuh Pak Richard, membuat dia susah bernapas.

Tepat sebelum Pak Richard kehabisan oksigen, Carl mengalihkan pandangannya ke arah lain, membebaskannya.

Pak Richard langsung duduk di salah satu kursi, memegangi kepalanya, berusaha menghirup oksigen sebanyak mungkin.

“Pak Richard kenapa?” Alex bertanya.

Pak Richard langsung membalas. “Hanya sedang tidak terlalu fit, Alex.”

Alex mengangguk.

Eh, Diego malah main ngomong aja. “Ges, kalian denger beritanya gak?”

“Berita apaan?” sahut Jack. Yang lain jadi ikut penasaran. Pak Richard sampe nengok ke Diego.

“Pak Richard juga gak tahu? Err, oke, jadi katanya udah terjadi rangkaian pembunuhan di seluruh penjuru kota.”

Demi mendengar perkataan Diego, bahkan Carl sampai menutup bukunya keras-keras. “Pembunuhan?”

“Ya. Mereka, ada dipotong dan dicincang kek ba- eh, maksudnya sapi. Ada itulah, dipenggal kepalanya lah, dipanggang lah, digencet lah, dicekik lah, dibelah dua juga ada.”

Roxie yang denger langsung gak selera makan lagi. I mean, what the heck

“Kapan kau mendengar berita ini?” Pak Richard bertanya.

“Baru kemarin, Pak. Beritanya baru-baru ini muncul. Anehnya, tebak siapa aja yang jadi korban?”

“Siapa tuch?” Lila mendekat ke arah meja.

“Anak-anak remaja seumuran kita dan kebawah. Adiknya Giselle yang tiga belas pun jadi korban. Hayo.”

Semua termangu. Roxie yang jijik langsung ngedorong piring makanannya.

“Makasih ya Diego, lu membumihangusin selera makan gue.” kata Roxie.

“Dia tidak sedang bercanda, Roxie.” Carl menyela, yang langsung diperhatikan oleh semua orang di meja makan. “Tapi itu benar adanya. Ini sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lewat, tapi ya, aku bisa memastikan kebenarannya.”

“Heh, kau tidak bisa sembarangan menyebut namaku.”

“Bersyukurlah. Setidaknya aku tidak memanggilmu dengan nama-nama yang kasar. Si Gendut misalnya.”

Meja makan ramai oleh suara tawa. Terkadang sikap sinis Carl cukup menghibur.

“Sudah, sudah,” Pak Richard mengambil alih pembicaraan. “Sekarang, jangan lupakan kenapa kita disini.”

“Ah, iya,” Diego meraih tasnya, lantas mengeduk isinya, mengeluarkan beberapa foto.

“Foto lu ama Jacinta?” Ramirez refleks bertanya nakal.

“Gak. Astaga. Aku ama dia udah putus.”

Ramirez tertawa pelan, sebelum akhirnya menyerah.

Anyway, Pak Richard reflek ngambil satu foto, dan terkejut melihat apa yang sebenarnya ada disana.

“Bukankah ini... Parker?”

Pak Richard menunjuk gambar Bu Parker yang tampak sedang memberikan ‘sesuatu’ pada seseorang, mungkin Pak Adaku.

“Tidak hanya itu. Lihatlah yang lain lagi.” Diego mendorong semua foto-foto itu ke tengah meja, mempersilahkan semuanya untuk melihatnya.

“Ini Bu Parker bersama Jaclyn!” Jean menunjuk foto yang dia pegang.

“Ini Bu Parker yang sedang menghasut kelas X-4!” Alex mengangkat fotonya tinggi-tinggi.

Dang, ini fotonya mantap banget.” kata Archer sambil liatin foto di tangannya.

Diego melihatnya, dan langsung merenggutnya dari tangan Archer. “Salah foto.”

“Gua gak tahu lu suka liatin konten dewasa.” Archer menyunggingkan senyum mengancam pada Diego.

Wajah Diego memerah. “Enggak. Astaga. Stay halal aku.”

Setelah beberapa menit liatin foto-fotonya, Pak Richard mengembalikan semuanya kepada Diego dan bertanya, “Darimana kau dapat semua ini?”

Diego menunjuk Carl. “Tanyakan padanya.”

Carl menatap Diego dengan sinis, lantas mengangguk pada Pak Richard. “Anggaplah aku adalah seorang detektif remaja.”

“Carl, Carl,” Alex menyela. “Lu mungkin harus buka jasa detektif deh. Laku keras pasti tuh.”

Yang lain jadi ketawa. Carl sih datar aja. “Memang itu yang kulakukan.”

Tawa Alex langsung terhenti. “Eh, seriusan?”

Carl meraih sesuatu di kantong jaketnya. Sebuah lencana polisi. “Detektif Carl Ackerman, siap melayani.”

Pak Richard yang lagi minum langsung muncratin isinya, ke wajahnya Archer pula. “Apa? Kau seorang detektif?”

Carl mengangguk. “Aku terkejut kalian baru mengetahuinya. Aku sudah menjadi detektif selama kurang lebih tiga tahun, sejak SMP.”

Archer be like:

“Semuda itu?” Lila bertanya.

Carl mengangguk. “Teknisnya, aku belum resmi, tapi katakan saja karena ayahku adalah kepala polisi, dia ingin aku mengikuti jejaknya.”

“Yang menuntunku pada satu pertanyaan. Usia lu berapa?”

“Tujuh belas tahun.”

Kali ini, giliran Ramirez yang muncratin airnya, untung gak kena Archer. “Anjir! Lu yang paling tua disini blok!”

Pak Richard langsung menatapnya, dan Ramirez auto diem no react.

(Pak Richard: Ni anak perlu dieksperimen kayanya 😒)

Setelah hampir dua jam berada di kafe itu, Pak Richard akhirnya memutuskan sesuatu.

“Baiklah, karena kita sudah selesai dan semua sudah tahu, kita harus menyelidiki lebih lanjut mengenai ini,” Pak Richard menatap murid-muridnya satu-satu, lalu melanjutkan. “Ada tiga tempat kemungkinan kita bisa menemukan petunjuk berikutnya. Kantor Kepala Sekolah, lapangan basket, dan kelas X-4.”

“Tentu kita tidak akan semudah itu pergi ke kelas X-4. Kelas itu ramai begete.” Jean mengutarakan kecemasannya.

“Tentu tidak, Jean. Dengarkan Bapak dulu. Kalian bisa memulai penyelidikan kalian besok, tapi berpencarlah, dan sebagian harus tetap berada di kelas agar tidak mengundang kecurigaan.

“Alex, Archer, Diego, Elliot, Gloria dan Roxie, kalian pergi ke lapangan basket. Diego mengetahui karakteristik semua murid di sekolah kita, jadi bila interogasi diperlukan disana—karena kita tahu lapangan basket akan sangatlah ramai—kita punya jagonya.”

Alex tampak kecewa. Dia benci berada di lapangan seramai lapangan basket.

“Evie, Lila, Jean, Isaac, Cathy dan Hannah, kalian bisa pergi ke kelas X-4. Tapi kalian harus tahu kapan harus masuk, dan kapan harus keluar.”

Hannah mengangguk. Isaac—laki-laki yang berkulit agak kecoklatan dan mengenakan kacamata bulat—menghela napas pelan. Dikerumuni gadis-gadis. Lagi.

“Dan Ivana, Madeline, Jones, Ramirez, Lars dan Amir, kalian pergi ke Kantor Kepala Sekolah. Kalian mungkin akan menghadapi sedikit masalah dengan Bu Parker, tapi Bapak bisa mengecohnya. Jelas?”

“Yesss!” Jones berkata mantap, mengadu tinju dengan Ramirez dan Lars.

“Jika kalian menemukan petunjuk, apapun itu, berikan pada Carl. Dia ahli dalam hal seperti ini, jika aku bisa membayangkannya.”

Carl hanya ber-tch pelan.

“Sisanya, tetap di kelas dan jangan coba-coba memberitahukan ini pada kelas lain. Mereka mungkin akan membocorkannya kepada kelas X-4 atau mungkin lebih buruk.”

Semua mengangguk pelan.

“Untuk sementara, kendali berada di tangan Giselle, Katherine dan Gabriel. Jika ada guru yang menanyakan keberadaan kalian, mereka bisa menanganinya. Dan jangan melakukan semuanya secara serempak. Setidaknya, strategikan dulu. Kemana lebih dulu atau apalah.”

Mereka mengangguk serempak.

“Baiklah, kalian bisa mendiskusikan ini lebih lanjut saat di sekolah nanti. Sekarang, balik kanan, bubar, jalan.”

Dengan itu, pertemuan selesai. Semua langsung beranjak pergi, satu-dua mencium tangan Pak Richard, termasuk Jones dan Alex.

“Buruan, gua antar kalian pulang!” Jones berteriak kepada Alex dan Ramirez.

Mereka langsung bonceng tiga, menembus jalan-jalan yang padat.

***

Masalahnya, saat diajak negosiasi bareng di kelas besok paginya, ada yang gak suka ama idenya.

Iya, Giselle. Siapa lagi.

“Tidak bisa. Kalian tidak bisa keluar di jam pelajaran,” Giselle mempertegas pada mereka. “Kita sudah membicarakan ini berkali-kali.”

“Tapi Giselle, ini mendadak sekali. Jika kita tidak mencari tahu kebenarannya, ini akan terulang lagi untuk kelas X-8. Mereka yang selanjutnya akan menghadapi kami.” Diego membujuk.

“Sekali tidak, tetap tidak. Aku harus menjaga amanah dari ibuku, yang kalian sudah tahu siapa.”

Diego menghela napas pelan. Tentu saja dia tahu, karena ibunya tidak lain dan tidak bukan adalah Bu Parker sendiri.

“Lagipula, kenapa kalian sangat penasaran? Kalian bisa membiarkan semua ini lalu.”

“Tidak bisa, Giselle. Ini situasi yang serius. Jika ini terjadi lagi, reputasi sekolah ini akan turun.”

“Ayolah, Giselle. Kau harus mengizinkan kami.” Ramirez juga bersuara, berusaha membujuk.

“Jika kalian keluar, akan kulaporkan pada Pak Richard.”

“Justru itu. Pak Richard yang menyuruh kami, Giselle.”

“Yah, dia harus dipecat kalo begitu. Akan kulaporkan kepada Bu Parker.”

“Giselle!” Jones akhirnya kelepasan. “Ini demi menjaga nama baik sekolah ini!”

“Ayolah! Itu hanya satu korupsi! Tidak akan ada yang tahu!”

Giselle tiba-tiba menyadari apa yang dia katakan.

“Tunggu, kau tahu?” Gloria bertanya.

“Ti- tidak.” Giselle kembali berkata dingin. Wajahnya memerah, tapi matanya tidak bisa berbohong. Yang artinya, Giselle udah tahu apa yang terjadi.

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka lebar.

“Jadi ternyata kau.”

Itu Carl. Sepertinya dia baru saja pulang dari kantor Kepala Sekolah, yang akhirnya kosong. Bu Parker sedang dinas keluar kota.

Carl langsung berjalan menuju Giselle. Mendadak satu kelas terasa dingin. Tubuh Giselle kaku.

“Apa-apaan-”

Carl mengangkat tangannya, dan seketika Giselle tercekik, terangkat ke udara.

“Bajingan kotor. Kau kira aku tidak tahu?” Carl berseru dingin.

“Carl, hentikan!” Gloria berusaha menghentikannya. “Apa yang kau lakukan?”

“Kalian mau tahu siapa yang sebenarnya memberikan uang suapan itu kepada kelas X-4, Jaclyn dan Pak Adaku?” Carl menatap Giselle sejenak, lantas menambahkan. “Nah, kasus selesai. Kita menemukan pelakunya.”


You are reading the story above: TeenFic.Net