bab 5 Adrian Wijaya

Background color
Font
Font size
Line height

Pagi itu, di kamar kosnya yang sempit, Selina duduk santai di lantai dengan kaki selonjoran, menikmati makanan yang baru dibelinya.

Dengan gerakan malas, ia mengambil satu gorengan, lalu mengunyah perlahan. Tak lupa segelas teh hangat juga ada di sebelahnya.

Sambil menikmati makanan, tiba-tiba ia teringat sesuatu.

Dengan nada santai, ia bertanya pada Sistem, 'Ngomong-ngomong, kemarin kamu bilang aku masuk ke dunia novel. Novel apa?'

Sistem terdiam sejenak, seperti sedang mengumpulkan ingatannya.

[Ah... apakah aku lupa memberitahu?]

'...'

Kenapa dia mendapatkan sistem yang oon, tidak seperti di cerita wattpad lainnya.

Selina menghela napas. 'Cepat katakan sekarang, sebelum aku pergi menemui Dexton untuk misi harian.'

Kalau bukan demi mendapatkan akses gosip eksklusif milik sistem, Selina tidak akan mau repot-repot menemui pria dingin itu.

Mending rebahan di kosan, peluk guling, dan scroll berita gosip terkini.

Sistem akhirnya bereaksi. [Baiklah! Mari kita mulai... Hmm, dari mana, ya? Ah, benar! Tokoh utama novel ini adalah Veronika. Dia artis yang sedang naik daun.]

Selina menyesap minumannya sambil mendengarkan.

[Veronika adalah putri satu-satunya di keluarga Wijaya. Tiga kakak laki-lakinya sangat menyayanginya, dan dia tumbuh dikelilingi kasih sayang orang tuanya. Namun... coba tebak?]

Selina meletakkan gelasnya dan menjawab santai, 'Dia bukan putri sebenarnya?'

[Bingo! Dia hanya putri palsu. Putri asli yang sebenarnya telah tertukar sejak lahir. Namun, takdir mulai berubah ketika putri asli ditemukan kembali 19 tahun kemudian.]

Selina mengangkat alis. 'Sistem, bukannya trope ini sudah kadaluarsa?'

[Tapi kan masih banyak peminatnya.]

'...' Benar juga.

'Lalu bagaimana ceritanya? Seperti biasa? Putri asli kembali, lalu menjadi jahat pada putri palsu?'

[Kurang lebih begitu.] Sistem terdengar bersemangat menjelaskan.

[Putri palsu sudah hampir 20 tahun bersama keluarga itu. Berbeda dengan putri asli yang tumbuh di panti asuhan.]

[Keluarga besarnya juga lebih memilih putri palsu, apalagi dia bertunangan dengan pewaris konglomerat terkenal di kota ini.]

'Keluarga besar? Lalu bagaimana dengan keluarga kecilnya?' Selina bertanya, suaranya sedikit serius.

Keluarga kecil inilah yang Selina asli ingin lindungi. Misi utamanya di dunia ini.

Sistem terdiam sebentar sebelum menjawab.

[Mereka sebenarnya menyayangi putri asli. Tapi, sifatnya yang pemberontak dan selalu menyakiti putri palsu membuat mereka tidak bisa berbuat banyak.]

Selina mendengus. 'Apanya yang tidak bisa apa-apa? Jangan-jangan mereka memang tidak mau menolong putri asli?'

'Lagipula, wajar saja kalau putri asli memberontak! Siapa yang bisa menerima hidupnya ditukar, menderita selama 19 tahun, sementara putri palsu justru menikmati semua hak yang seharusnya miliknya?'

Namun, setelah mengatakan itu, dadanya tiba-tiba terasa sedikit sakit.

Perasaan ini... milik Selina yang asli?

Sistem melanjutkan.

[Mereka juga berada dalam posisi sulit, sama seperti putri asli. Mereka tidak punya banyak pilihan.]

[Puncaknya, putri asli akhirnya diusir dari keluarga. Hidup terlantar di jalanan.]

[Setelah itu, putri palsu pun menang dan menikah dengan pangerannya. Tamat.]

Selina terdiam sejenak. Tiba-tiba, gorengan yang dibelinya kini terasa hambar di mulut.

Ah, ternyata lupa pakai cabai. Pantas saja hambar.

'Jadi, sekarang aku yang jadi putri asli?' tanyanya tidak peduli.

[Benar! Kakak pertamamu akan menjemput dalam waktu lima menit!]

"..."

'Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku belum mandi.'

Dengan enggan, ia mengunyah gorengannya dengan malas, lalu mengambil handuk yang tersampir di kursi sambil menghela napas berat.

"Haahh.. Sulit sekali mau rebahan..." Ia bergumam sambil menguap, sebelum akhirnya menyeret kakinya ke kamar mandi.

*****

Selina sudah siap. Secara teknis. Dia sudah mandi, sudah berpakaian rapi, dan menyiapkan tas kecil berisi barang-barang pentingnya.

Tapi kalau boleh memilih, dia lebih suka tetap rebahan di kosan.

Saat ketukan terdengar di pintu, Selina sengaja menunggu beberapa detik sebelum akhirnya berjalan dengan malas untuk membuka.

Di depan pintu, seorang pria tinggi berdiri dengan turtleneck putih dan jas hitam. Wajahnya tampan, tatapan matanya tajam, dan aura dominannya terasa begitu kuat.

Sarung tangan kulit berwarna hitam yang ia kenakan menambah kesan elegan.

Adrian Wijaya.

Tapi, ada yang janggal. Di cuaca sepanas ini, turtleneck dan sarung tangan?

Selina menyipitkan mata, berpura-pura bingung. "Iya? Cari siapa?"

Adrian menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Selina."

Selina mencondongkan tubuh ke depan, menatap Adrian dari kepala hingga kaki dengan ekspresi seolah menilai seseorang yang baru ia temui. "Saya Selina. Tapi, Anda siapa ya?"

Alis Adrian sedikit berkerut. "Aku Adrian. Kakakmu."

Selina memasang ekspresi kosong. "Kakak?" Ia tertawa kecil, lalu menyandarkan diri ke kusen pintu.

"Mas, saya yatim piatu. Mungkin salah orang?"

Adrian tidak langsung menanggapi. Matanya meneliti setiap gerakan Selina, seolah mencoba membaca pikirannya.

Selina tetap terlihat santai, tapi dalam kepalanya...

'Hot juga dia.' Selina menarik sistem untuk bergosip.

Mata Adrian tiba-tiba terbelalak. Suara itu... siapa yang bicara? Ia melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka.

[Masih lebih hot Dexton.] Sistem langsung menyanggah dengan nada yakin.

Adrian semakin bingung. Suara itu jelas terdengar di kepalanya, tapi tidak ada siapa pun di sana.

Suara si perempuan mirip dengan suara Selina yang ada di depannya. Tapi suara bocah laki-laki yang satu lagi... siapa?

(Suara sistem di-setting suara anak laki-laki usia 5-6tahun ya.)

'Dia sekitar 180 cm, ya?' Selina menilai sambil mencuri pandang ke arah kakaknya.

[Dexton 186 cm.] Sistem langsung membalas, tak mau kalah.

Adrian merasa kepalanya semakin pusing. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Adrian menatap Selina tajam. Ia mulai curiga, tapi ekspresi gadis itu tetap datar, seakan tidak terjadi apa-apa.

"...Kau mendengar sesuatu barusan?" tanya Adrian akhirnya.

Selina berkedip beberapa kali,"Hah? Maksudnya apa?"

Adrian meneliti wajahnya, mencari tanda-tanda kebohongan. "Lupakan."

'Aneh sekali dia? Nggak sakit jiwa, kan?' gumam Selina dalam hati, melirik Adrian yang masih menatapnya penuh selidik.

Ding!

[Gosip eksklusif: "Hasil tes kejiwaan putra sulung keluarga Wijaya!" Hanya 5 poin saja. Murah banget! Sepertinya ini tidak penting. Tapi tetap saja.]

[Yang beli yang beli~ Goceng aja goceng~ Kacang aqua~]

"..."

Selina melirik ke atas dengan ekspresi kosong. Sistem ini siapa yang buat, sih?

Sementara itu, tubuh Adrian menegang. Dia jelas mendengar suara itu lagi. Dan... hasil tes kejiwaannya?

Dia bertanya hati-hati, "Tadi itu... kamu berbicara dengan si-%]©]®%]?"

Adrian tercengang. Apa-apaan ini?

"Kamu tadi ber- %©]©]€]©€€¥ kan?"

Adrian buru-buru menutup mulutnya. Kenapa dia jadi tidak bisa berbicara?

Selina menatapnya dengan aneh. 'Kasihan sekali, ganteng-ganteng gagu.'

[Gitu-gitu juga dia kakakmu!] Sistem berkomentar dengan nada mengingatkan.

****

Adrian duduk di kamar kos sempit milik Selina, kedua sikunya bertumpu pada lutut sementara matanya menyapu setiap sudut ruangan.

Dinding kusam dengan cat mengelupas, lantai yang mulai retak di beberapa bagian, dan perabotan seadanya yang terlihat usang.

Di pojokan, sebuah lemari reyot berdiri miring, pintunya sedikit terbuka memperlihatkan beberapa pakaian lusuh yang terlipat asal-asalan.

Di atas meja kecil, ada satu set peralatan makan plastik yang warnanya sudah memudar.

Satu-satunya tanda kehidupan di kamar itu hanyalah kasur tipis di sudut ruangan, tanpa ranjang, tanpa selimut tebal. Hanya selembar kain kusam yang tampaknya sering dipakai tanpa sempat dicuci.

Jangankan barang mewah-barang baru saja tidak ada di sini.

Adrian menelan ludah. Jadi, di tempat seperti inilah adik kandungnya tinggal selama ini?

Selina menyerahkan segelas teh hangat kepada Adrian tanpa banyak bicara, wajahnya tetap santai seperti biasa.

"Minum, masih hangat," katanya malas, lalu kembali duduk di lantai, selonjoran.

Adrian menerima gelas itu, menatap adik yang baru ia temukan dalam diam.

Meskipun ia belum memahami sepenuhnya mengapa ia bisa mendengar suara percakapan adiknya dan suara asing yang disebut 'Sistem', Adrian diam-diam merasa lega.

Selina tidak terlihat marah. Tidak ada tatapan penuh kebencian, tidak ada kata-kata yang menyalahkan.

Ia tidak menyimpan dendam kepada mereka yang telah lalai menjaganya saat bayi, hingga akhirnya tertukar dengan Veronika.

Namun justru karena itu, rasa bersalah semakin menyesakkan dadanya.

Setelah berbicara omong kosong sebentar, akhirnya Adrian mengungkapkan keinginannya.

"Jadi, apakah kamu akan ikut denganku? Kembali ke keluarga kita?" tanya Adrian, suaranya tenang tapi penuh harap.

Selina menguap malas sebelum mengangguk. "Ya, aku ikut."

Tentu saja. Itu kan misi utamanya. Kalau bukan karena itu, dari tadi dia sudah rebahan dan tidur nyenyak di kasur empuknya.

*****

**janlupa vote!!**

Adrian Wijaya

25 tahun. Kakak sulung Selina.


You are reading the story above: TeenFic.Net