bab 10 Sangkar emas

Background color
Font
Font size
Line height

Di kamarnya, Selina membuka kotak P3K dan mulai membersihkan luka di pelipis Nyonya Wijaya. Gerakannya cepat dan terlatih, tapi wajahnya tanpa ekspresi.

'Sistem, beli gosip Nyonya Wijaya.'

Tubuh Ratna menegang. Kata anak sulungnya Adrian, Selina ini spesial.

Adrian hanya bisa berkata itu saja padanya. Selebihnya ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, suaranya tidak keluar.

Ding!

[Gosip terbuka: "Wanita yang Terperangkap dalam Sangkar Emas."]

[Ratna Dewanti, putri dari keluarga sederhana di desa. Sejak kecil, ia dikenal cantik, pintar, dan ramah. Banyak pemuda berlomba-lomba untuk mendapatkan hatinya.]

Ratna tersenyum kecil. Ia hampir lupa betapa bebasnya ia dulu.

[Tapi semua berubah sejak ia bertemu Samuel Wijaya, kakak tingkatnya di kampus.]

[Samuel Wijaya adalah sosok yang dikagumi—tampan, kaya, dan berasal dari keluarga terpandang.]

[Ratna jatuh cinta, dan Samuel pun begitu. Mereka berpacaran meski dunia mereka berbeda.]

Mata Ratna berkaca-kaca. Samuel... ia masih ingat bagaimana pria itu dulu begitu lembut, begitu penuh janji.

Sementara Selina masih fokus membersihkan luka Ratna, tidak menyadari perubahan mood wanita itu.

[Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Ayah Samuel, mendiang kakekmu, menentang hubungan ini habis-habisan. Dia ingin Samuel punya istri yang setara dengan mereka.]

[Sedangkan Martha, nenekmu, awalnya tidak setuju, tetapi setelah melihat betapa penurut dan polosnya Ratna, ia justru mendukung pernikahan mereka.]

Selina merasa ada yang aneh. 'Mencurigakan sekali. Apa Martha ingin menantu yang bisa ia kendalikan? Makanya dia setuju dengan pilihan Samuel?'

Ratna membeku. Benarkah begitu? Jadi itu alasannya ibu mertuanya menyetujui pernikahan mereka, tetapi tidak pernah bersikap baik padanya?

[Hmm, bisa jadi. Apalagi Martha itu orangnya dominan sekali.] Sistem bergumam.

[Bagaimanapun juga, pada akhirnya Ratna menikah dengan Samuel. Tapi dia tidak pernah benar-benar menjadi Nyonya Wijaya.]

'Tentu saja, dia pikir ini cerita Cinderella? Gadis biasa menikah dengan pangeran kaya lalu hidup bahagia selamanya?' Selina mendengus.

Senyum Ratna memudar.

[Benar! Masuk ke dalam keluarga Samuel justru menjadi awal dari neraka baru bagi Ratna.]

[Ia harus berhenti kuliah, meninggalkan impian, dan melepaskan semua ambisinya. Ia tidak boleh bekerja, tidak boleh keluar rumah sesuka hati.]

[Tugasnya hanya satu—menjadi istri yang patuh, ibu yang baik, menantu yang tunduk, dan ipar yang sempurna.]

[Jika ada yang salah, sekecil apa pun, Ratna-lah yang selalu disalahkan oleh Martha.]

[Bukan hanya itu, Ivone, adik iparnya, sering menghina dan bahkan tidak ragu melayangkan tangan padanya.]

[Di rumah ini, Ratna bukan nyonya. Ia hanya penghuni tanpa hak, sekadar bayangan yang harus tunduk dan menerima.]

Selina mengernyit. 'Lalu, bagaimana dengan Tuan Wijaya?'

[Samuel tentu menyayangi istrinya. Tapi ia terlalu lemah untuk membela. Dia terlalu menurut dan berbakti pada ibunya.]

[Ia hanya bisa berkata, "Sabar, Ratna. Sabar, nanti semua akan baik-baik saja."]

Selina tertawa remeh. 'Sabar? Sampai kapan sabarnya? Sampai mati?'

Tubuh Ratna membeku.

[Selama ini, Ratna bertahan bukan hanya demi Samuel. Tapi juga demi anak-anaknya.]

[Ia menahan segala hinaan, perlakuan kasar, dan ketidakadilan, karena anak-anaknya masih membutuhkan dirinya.]

[Tapi sekarang? Anak-anaknya sudah besar. Mereka tidak lagi membutuhkannya seperti dulu. Mereka punya kehidupan masing-masing.]

[Dan mamamu, Selina... dia sendirian... dan kesepian, terperangkap dalam sangkar emasnya.]

Selina terdiam, jantungnya mencelos.

Ia menatap Ratna—mamanya. Wanita paruh baya itu kini menangis, bahunya bergetar dalam isakan yang tertahan.

"Kamu bahagia?"

Suara Selina tiba-tiba terdengar, datar, tapi menusuk.

Ratna tersentak, mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Apa?"

Selina menatapnya tanpa berkedip. "Aku tanya, apakah kamu bahagia?"

Ratna membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi tak ada kata yang keluar.

Keheningan menggantung di antara mereka, begitu berat hingga terasa mencekik.

"Dengar."

"Sebelum jadi istri, menantu, ipar, atau ibu… kamu adalah dirimu sendiri." Selina berhenti sejenak.

"Kalau kamu tidak bahagia, bagaimana bisa orang lain bahagia? Bagaimana anak-anakmu bisa bahagia?"

[Benar kan? Dia bahkan tidak tahu Adrian punya PTSD.] Sistem mendengus.

Ratna membelalakkan mata. Adrian… PTSD?

Selina menarik napas panjang. "Sudah lebih dari seperempat abad kamu menjalani semua ini. Tidak capek?"

"Tidak lelah?"

Ratna membuka mulut, tapi kata-kata tersangkut di tenggorokannya.

Tentu saja lelah. Tentu saja capek.

Tapi dia bisa apa? Dia hanya gadis desa yang tidak punya apa-apa.

Umurnya sudah tidak lagi muda. Tidak seperti dulu lagi ketika masih di desa, gadis yang cantik, pintar dan ramah.

Gadis primadona kampungnya.

Seolah bisa membaca pikirannya, Selina kembali berkata,

"Kalau kamu sudah lelah, bilang padaku. Aku akan membawamu keluar dari neraka ini."

Selina menatap Ratna lekat-lekat. "Saatnya kamu hidup untuk dirimu sendiri, Mama."

Ratna menatap Selina, matanya berkaca-kaca. Kata-kata putrinya begitu sederhana, tapi menusuk tepat di hatinya.

Hidup untuk dirinya sendiri? Apakah itu mungkin?

Seumur hidup, ia selalu hidup untuk orang lain. Untuk Samuel, untuk anak-anaknya, untuk menjaga nama baik keluarga Wijaya.

Mereka juga sudah terbiasa dengan perannya sebagai istri dan ibu. Tidak ada yang pernah bertanya ia bahagia atau tidak.

Bahkan Veronika, anak perempuan satu-satunya yang tahu sikap Martha dan Ivone padanya, hanya memintanya untuk bersabar.

Seolah-olah memang sudah begitu seharusnya.

Tapi untuk dirinya sendiri?

Ratna menunduk, menggenggam jemarinya yang gemetar. "Selina… Mama…"

"Tidak perlu bicara sekarang." Selina memotong dengan santai.

"Tapi pikirkan, sampai kapan kamu mau bertahan di tempat yang hanya membuatmu menderita?"

Ratna terdiam. Pikirannya berkecamuk. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa semua ini baik-baik saja.

Tapi hatinya tahu, ia hanya berbohong pada dirinya sendiri.

Selina menghela napas. Ia tahu, tidak mudah mengubah pola pikir seseorang yang sudah bertahan selama puluhan tahun.

Tapi ia juga tahu satu hal—ia tidak akan diam saja.

"Aku ada di sini," kata Selina pelan, tapi penuh tekad. "Kapan pun kamu mau, aku akan membawamu pergi dari sini."

******

Selina merebahkan dirinya di tempat tidur, menatap kosong ke langit-langit kamar. Dengan suara pelan, ia mulai berbicara dengan sistem.

'Rumit sekali keluarga ini...'

[Iya? Aku juga bingung. Mereka itu sebenarnya baik atau tidak dengan putri asli?]

[Kalau dibilang baik, juga ada baiknya. Tapi kalau dibilang tidak baik... ya, memang tidak baik.]

'Saat putri asli dikeluarkan dari rumah dan terlantar di jalan, Ratna bagaimana?'

[Mamamu sangat sedih, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya suara di keluarga ini.]

[Pada akhirnya, Nyonya Wijaya jatuh sakit dan sering sakit-sakitan di akhir hidupnya, terlalu banyak memendam perasaan.]

'Tentu saja,' Selina mendengus, nada suaranya penuh ironi.

Sistem tiba-tiba berbunyi.

[Selina, tidakkah kamu lupa sesuatu?]

'Apa? Tidak ada yang kulupakan,' jawabnya santai.

[Kamu lupa kalau kamu masih perlu kuliah!] Sistem terdengar gemas.

[Kamu sendiri yang bilang wanita harus hidup bahagia lebih dulu! Kejar cita-citamu dulu! Wujudkan impianmu dulu!]

'Ah, iyakah? Selina yang asli masih kuliah, ya?'

Sial. Malas sekali rasanya. Lebih enak rebahan.

Lagipula, di 99 kehidupannya sebelumnya, ia sudah berkali-kali dapat gelar sarjana.

Impiannya cuma satu, bisa hidup tenang sambil rebahan.

Masa masih kurang?

[Mata kuliah pertamamu dimulai setengah jam lagi! Ayo cepat mandi!]

'Diamlah. Berisik sekali kamu sistem.' Selina menyeret kakinya malas menuju kamar mandi.

*****

**janlupa vote**

Udah bisa di komen belum ya? Bab sebelumnya kayaknya eror, ga bisa di komen. Mudah-mudahan bab ini bisa.


You are reading the story above: TeenFic.Net