37. Blood and Tears

Background color
Font
Font size
Line height


"Aku tidak percaya, Mate." Blaise menggelengkan kepala tidak setuju. Rautnya pun setengah tak percaya.

Draco duduk di sofa kamarnya dengan memperhatikan Blaise jalan mondar-mandir. Dia mulai jengkel saat Blaise tidak percaya apa yang dia katakan.

"Dia tahu." kata Draco perlahan, membuat Blaise berhenti. "Caroline tahu aku di crucio bibi Bella."

"What?!" seru Blaise. "Apa kau baru saja memberitahu semuanya--"

"No. Dia hanya mengetes kemampuan Oklumensi-nya. Pertama dia memasuki pikiranku dahulu."

"Dan?" Blaise ingin Draco menjelaskan lebih detail. "Draco, kau bahkan bisa menahan Oklumensi-mu dihadapan Lucius, Bellatrix, bahkan Pangeran Kegelapan.... dan Caroline hanya amatir."

"Aku lengah saat itu. Dan stop memanggilnya Caroline." ancam Draco.

Blaise mengangkat alis terlihat sarkastik, "Kenapa?" godanya.

"Kau seakan lebih dekat dengannya dibanding aku!"

Kamar Draco bergetar sesaat karena sihirnya. Draco masih menyilangkan tangannya di dada.

"Oke i'm sorry. Aku akan memanggilnya Lysander." Blaise sekarang duduk disamping Draco.

"Hanya itu yang dia ketahui?" ini adalah pertanyaan kesekian kalinya dari Blaise.

Draco menoleh, mata abunya melirik teman terdekatnya saat ini. "Ya,"

Blaise lagi-lagi menghela napas, meliriknya sebentar, kembali menarik napas gusar.

"Dengar, Draco. Kau bilang padaku saat kau mendapat tugas tepat setelah liburan musim panas, kau akan menjauhinya untuk kebaikannya. Dan itu bekerja sampai sekarang, bukan? DAN lagi, kau menghancurkan rencana baikmu dengan kembali dekat dengannya?" Blaise menjelaskan detail kejadian yang Draco pun sudah tahu, Draco hanya memutar bola matanya. "Why did you kiss her back? --you just put her into the Hell."

Ucapan Blaise sedikit membuat dug di kepalanya.

"Ironically, I AM the Hell."

Blaise melirik Draco. Mulutnya penuh dengan pertanyaan, tapi dia menunggu sebentar selama semenit.

Temannya ingin bertanya lagi,
"Oke... bagaimana dengan--"

Draco bangkit dan langsung menarik lengan Blaise. "Enough, Blaise. Kau terlalu banyak. Aku hanya ingin mengucapkan padamu keluar dari kamarku sekarang, dan... menurutku percakapan singkatmu dengan Caroline cukup membantu sampai dia..."

Blaise menyeringai. Melepas ringan tangan Draco dari lengannya.

"Sekarang kau berhutang padaku."

Draco merutuk dalam hati, menatap jijik-sesama-Mate pada Blaise di depan pintu kamarnya. Dia menutup pintu kamarnya, dia sendirian lagi.

Dia merebahkan punggungnya di kasur menatap langit-langit kamar. Ada luka dibalik punggung itu, tak terhitung karena Draco tak mau menghitung kesakitannya selama pelatihan dengan Bellatrix. Terlalu menyakitkan.

Tatapan sendu ibunya muncul lagi setiap dia menutup mata. Cara ibunya menangis karena siksaan Bellatrix di musim panas. Draco memiringkan badannya untuk melihat kulit di pergelangan tangan kirinya. Ibunya menangis karena ini, tanda ini. Draco bermonolog. Dan luka sayatan di punggungnya, ibunya menangis karena itu.

Terlalu banyak tangisan. Dia tidak mau melihat orang-orang terkasih kasihan padanya. Dan, cara Caroline menatapnya seakan dia adalah anak yang patut dijaga, seperti tatapan ibunya. Lalu Caroline menangis. Dia selalu menemukan Caroline menangis. Di lain waktu saat-saat bersama para Gryffindor, Caroline selalu tertawa. Draco mulai berpikiran Caroline selalu sedih jika dengannya.

Seperti yang selalu dia lakukan pada Narcissa, membuatnya sedih.
Hal yang tak akan Draco lakukan tapi terjadi.

"--Why did you kiss her back? -You just put her into the Hell."

*

"Caroline," panggil seseorang dibelakang bahunya. Harry yang memanggil. Bersama buku lusuh yang selalu dia bawa kemana-mana.

"Ya, Harry," sahutnya.

"Aku dan Ron sudah tahu lewat Hermione. Hanya saja--kita akan sangat mengerti kalau kau yang menjelaskannya."

"Oh, tentang itu," kata Caroline mengerti. "sebentar," Ia merapikan peralatan makannya dengan menaruh garpu dan pisau di ujung piring, matanya bertemu dengan Astoria yang duduk berjarak dua orang dari Draco. Ia mengangguk pada Harry.

"Aku tidak tahu bagaimana memulainya." kata Caroline setelah duduk nyaman di meja makan Gryffindor.

Snape dari kejauhan sepertinya sudah lelah menyindirnya untuk tidak duduk disana.

"Jadi... kau adalah keluarga Flamel--" ucapan pembuka Ron di potong Hermione dengan sikunya.

"Kita masih mencari tahu, Ron." kata Hermione mengingatkan.

"Aku--tidak tahu pasti. Tapi setidaknya aku menemukan bahwa ibuku, Bianca... yang pernah aku ceritakan pada kalian kalau dia meninggal saat aku satu tahun, dia bukan ibu kandungku--ya begitulah." jelas Caroline sesekali menatap langit-langit Aula Besar, lalu tersenyum paksa.

"Oh, Caroline, i'm sorry." kata Ron, menatapnya penuh empati.

Ia mengangguk saja, karena giginya bergetar, ia takut akan ada tangisan yang keluar. Sekarang tangan Harry merangkul bahunya.

Rangkulan Harry membuatnya tidak nyaman karena tatapan Ginny--simpati dengannya tetapi ada rasa cemburu itu-- ia berbisik pada laki-laki berkacamata itu. "Harry,"

"Oh, sorry--" Harry spontan mengerti kalau Caroline tidak mau dirangkul olehnya.

Caroline bukan bermaksud begitu, hanya saja karena tatapan Ginny, juga Draco yang ada di meja Slytherin pasti melihatnya. Ia tak ingin ada salah paham.

Harry menarik napas seperti baru saja memecahkan masalah. "Mimpi. Kau masih ingat itu? kau pernah bercerita saat tahun keempat?" dia berbisik, mendapat tatapan penasaran Hermione dan Ron diseberang meja.

Kepalanya tertunduk, keningnya berkerut mencoba mengingat-ngingat detail. Mimpi itu aneh, seperti--hal yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Dimulai dari awal semester tahun keempat, mimpi itu terus datang. Dan berhenti saat Caroline berusaha keras tidak memikirkan maksudnya.

"Aku ingat." kata Caroline, membalas tatapan yakin Harry. "pasti ada kaitannya?" tanyanya.

"Hei," Ron menginterupsi. "kami masih disini. Jangan bicara berdua saja, dong." ingatnya pada mereka.

"Sorry, Ron. Harry hanya berpikiran mimpi lamaku ada maksudnya."

"Mimpi? Apa itu?" Hermione penasaran.

Caroline menoleh kanan-kiri gusar. Aula Besar mulai penuh karena jam makan siang. Ia belum siap kalau ada seseorang yang menyebarkan berita ini hanya dengan mendengarnya sekedar mereka melewati meja yang ia duduki saat ini.

"Itu rumit." kata Caroline pelan.

"Kau sudah mengirim surat pada ayahmu-Leo?" tanya Hermione, memilih menanyakan yang lebih mudah untuk Caroline jawab.

"Tidak. Aku akan membicarakan ini saat liburan Natal, aku pikir. Lebih baik begitu."

Entah apa yang akan ia katakan saat berada di rumah. Apa Caroline akan berteriak marah? menangis? Apa yang akan ayahnya lakukan pertama kali saat ia menyebut dia bukan ayah kandungnya? dan Reina... dia pasti akan menjadi orang paling bingung diantara keluarga mereka-- Leo sudah mempunyai anak bernama Caroline Lysander saat Leo menikah dengannya. Dan nanti, saat Natal, Reina akan tahu kebenarannya.

Caroline tidak lagi memikirkan skenario terburuk itu, tidak saat disini. Atau ia akan menangis lagi. Lalu Draco mungkin akan menyalahkan para Gryffindor karena telah membuatnya menangis.

Mereka berempat tidak menyentuh piring mereka sejak Caroline bercerita. Seperti patung, mereka berkerut untuk berpikir, bersimpati padanya, juga menunggu Caroline bercerita tentang apa yang ia ketahui.

"Mimpi itu... terasa nyata," kata Caroline tiba-tiba, membuat mereka mendongak. "sudut pandang ku seperti aku yang mengalaminya. Jadi, di mimpi itu yang bisa aku ingat, aku membawa tongkat, dan merapal beberapa, lalu aku berlari, ada banyak suara-seperti ledakan dan orang-orang. Aku tidak tahu lagi--aku tidak pernah bermimpi buruk seperti itu."

"It's okay," Hermione menenangkannya, dengan meraih jemarinya.

"Jadi, kita punya bukti. Surat dan mimpi-mu, Caroline. Sebentar, Hermione," Ron menginterupsi sebelum Hermione kembali memotong ucapannya. "Yah, aku tahu, mimpi tidak bisa dijadikan bahan pencarian. Tapi, mungkin kita perlu memahami isi surat tersebut yang dimana aku baru melihatnya sekilas kemarin." jelas Ron.

Hermione disebelahnya memutar mata, lalu memutar matanya sekali lagi karena Lavender Brown mengedipkan mata pada Ron saat dia lewat.

Caroline lebih suka saat Ron dalam mode serius--mengatur strategi dan memecahkan masalah. Ia pun berpikiran yang sama. Surat itu adalah intinya.

"Perjanjian." kata Caroline.

Harry diam-diam merapal mantra Silentio disekitar mereka.

"Mensa-- yang kemungkinan adalah ibuku-- dia menulis itu untuk berjaga-jaga jika suatu masalah terjadi. Dan pasti ada masalah sehingga dia menyerahkan anaknya sendiri kepada orang lain. Dan," ia menekankan sebagai jeda. " Itu bukan kepada 'Rekan Kepercayaannya' tetapi orang lain lagi, yaitu Leo ayahku, bertandatangan dikertas itu."

"Rekan Kepercayaannya pasti juga penyihir. Apa mungkin McGonagall?" terka Hermione. Mereka menengok ke meja para Profesor. Memperhatikan Profesor McGonagall berbicara dengan Snape. Lalu beberapa saat kemudian mereka berdua bangkit dan keluar dari Aula.

"Aku akan bicara padanya nanti." kata Caroline.

"Apa kau sudah meyakinkan kalau ayahmu bukan penyihir?" tanya Harry.

"Ya, dia tidak mungkin. Pernah sekali dia memegang tongkatku dan tidak terjadi apa-apa. Aku juga bisa merasa kalau--" Caroline berhenti karena bunyi berdentang jam sekolah menunjukkan jam pelajaran kembali dimulai.

Caroline mengambil tas selempangnya, "Kita bahas lain kali," katanya. "Ada yang dapat kelas Transfigurasi sekarang?"

"No! aku belum makan siang!" seru Ron. Buru-buru menyendok telur yang sudah dingin di piringnya.

"Aku," kata Hermione. Menghampiri Caroline di pintu Aula. Harry memilih meninggalkan Ron yang sedang ditarik-tarik Lavender Brown agar dia berhenti makan.

"Ron, berpacaran dengan Brown?" tanya Caroline pada Hermione. Tak mendapat respon ia memanggilnya, "Hermione?"

Dia mengangkat alis, membuat raut bingung. "Ya, aku rasa. Tanya saja padanya." kata Hermione menatap lurus jalan, yang sebenarnya adalah kepala murid-murid yang juga ingin masuk kelas.

"Dor!" Ginny menepuk pundak kedua gadis itu.

"Ginny!" seru Caroline.

"Apa yang kalian bicarakan sehingga kepala kalian berempat penuh dengan..." Ginny menoleh ke Luna. "apa namanya, Luna?" tanyanya.

"Wrackspurt." tambah Luna, jarinya menunjuk pada kacamata diatas kepalanya.

"Ya, itu. Apa kalian membicarakan keluarga Caroline?"

"Gin, tidak sekarang." Hermione memperingatkan.

"Mengapa perbincangan keluarga Caroline membuat kepala kalian penuh dengan Wrackspurt?" tanya Luna penasaran sekali.

Caroline bertukar pandangan dengan Hermione. Lalu ia melirik pada Ginny. "Hanya katakan padanya sebagian besarnya. Berbisik saja." kata Caroline.

"Kau yakin?" tanya Hermione.

Caroline mengangguk. Begitupun Ginny. Seraya kaki mereka berjalan, Ginny berbisik pada Luna. Memberitahunya. Caroline geleng-geleng kepala memperhatikan Blaise yang terus menerus menoleh ke belakang hanya untuk melihat Luna.

"Astoria, menjauhlah sebentar!" seru Draco di depan sana. Tepat disamping Blaise. Laki-laki itu mempercepat langkahnya meninggalkan Blaise dan Astoria. Blaise mengejarnya.

"Caroline..." gumam Luna. Dia pasti sudah tahu. Tidak apa. Luna teman yang baik, jadi dia boleh tahu tentang ini.

Ia tersenyum pada Luna. Menarik lengan Hermione, mendekat ke kelas Transfigurasi.

"Pesta Natal sudah dekat, apa kau ikut?" tanya Hermione pelan. Sembari menunggu Profesor McGonagall datang.

"Aku tidak tahu." Ia melirik sekilas Draco yang ada di meja paling belakang. "Aku tidak punya pasangan."

"Kau bisa berkencan dengan siapa saja, Caroline."

"Really?" tanyanya. Hermione mengangguk. "Jadi aku bisa date dengan Malfoy?"

"What? no!" Hermione tidak sadar berteriak. Ia terkikik geli, bilang itu hanya candaan.

"Atau kau memang sudah berkencan dengannya, Caroline?" bisik Hermione, wajah mereka dekat sekali, dan Caroline menelan ludah.

"What? no!" kata Caroline menirunya.

"Sebentar lagi Granger dan Lysander mungkin akan berciuman." Theo bersuara dari seberang meja. Mereka refleks menoleh. "Benar tidak, Malfoy?" serunya lagi, seakan memancing Draco untuk menambah kata-kata hinaan.

Tapi Draco tidak berekspresi.

"Dia aneh semester ini. Maksudku, lebih aneh..." gumam Hermione mengomentari Draco di telinganya, mengabaikan Theo.

*

Setelah pelajaran Transfigurasi selesai, ia buru-buru menghampiri Profesor McGonagall di mejanya. Wanita itu masih membereskan perkamen-perkamen.

Caroline berdeham, supaya Profesor itu menyadari ia yang didepannya. "Profesor, bisakah aku membicarakan sesuatu denganmu?" tanyanya.

Tampak raut agak terkejut darinya. Karena memang Caroline tidak pernah bertanya-tanya pribadi dengan Profesor McGonagall selain di kelas. Hanya Profesor Sinistra atau Profesor Vector.

"Ya, Ms Lysander, ada apa?" tanya Profesor itu.

"Apa yang kau tahu tentang keluarga Flamel?" Caroline langsung menatap wajah Profesor McGonagall agar bisa membaca perubahan yang terlihat di wajahnya.

Alisnya naik sedikit. "Well, seharusnya itu adalah pertanyaan untuk kelas Sejarah, kau tahu itu 'kan?"

"Ya, aku tahu." jawab Caroline.

Profesor itu memberi tatapan bertanya.

Kemudian dia menghela napas,
"Baik, Ms Lysander, yang aku tahu tentang Flamel hanya keluarga mereka yang memiliki batu bertuah, diturunkan secara turun-temurun. Pemilik batu itu sekarang ada di tangan Nicholas Flamel."

Caroline mengangguk paham. Masih tidak memutus kontak mata dengan Profesor McGonagall.
"Bagaimana dengan Mensa Flamel, Profesor? kau tahu siapa dia?" tanya Caroline.

McGonagall terperanjat. Ini lah reaksi yang ia tunggu-tunggu. Ia juga sadar McGonagall menahan ekspresinya semenjak ia mengatakan kata 'keluarga Flamel'.

"Mensa..." gumam McGonagall. "Dia murid Hogwarts dan marga aslinya adalah Wuningwell, sebelum menikah dengan salah satu keturunan Flamel."

"Dia adalah ibuku, benarkah, Profesor?" tanya Caroline.

Kali ini bibir Profesor McGonagall sedikit bergetar.
"Ms Lysander," panggilnya.

"Kau adalah penyihir pertama yang memberiku surat Hogwarts. Tapi aku rasa itu bukan kali pertama kau menemui ayahku Leo, Profesor."

"Bagaimana kau bisa meyakinkan itu adalah benar, Caroline?" kini memanggil nama depannya sebagai pendekatan.

"Jawab aku, Profesor, Ibuku adalah Mensa Flamel, benarkan? bukan Bianca yang juga pernah kau temui di rumah ayahku?" sekarang ia bertanya dengan air mata.

"Oh my god," bisik Profesor itu. "Sebelum itu tolong kendalikan sihirmu, Caroline. Kau--membuatku sesak napas..." dia terlihat terengah-engah memegangi dadanya. Dan Caroline baru sadar.

Ia membuang napas, menariknya lalu membuang napas lagi. Semenit berlalu.

"Aku tahu ini akan terjadi. Aku dan Snape sudah menduga kau akan menemukan fakta ini. Aku minta maaf jika menyembunyikan ini terlalu lama, Ms Lysander..." Kata Profesor itu, dia menggelengkan kepala pelan.

"Jadi, benar?" Caroline memastikan, giginya bergetar.

Profesor mengangguk.

Satu isakan keluar darinya. Ia menutup matanya dengan telapak tangan. "Bagaimana dengan... ayahku? apa-- dia juga-- bukan ayahku?"

McGonagall dengan berat menurunkan dagunya. Lalu meraih bahu Caroline.

"Caroline, lihat mataku," katanya. "Aku, dulu mengajar ibumu, karena dia murid Hogwarts."

Pernyataan itu membuat kepala caroline mendongak. Memperhatikan kilauan mata Profesor McGonagall yang terlihat buram.

"Dia... aku tidak terlalu mengenalnya, Caroline. Terlebih ayah aslimu. Tapi Snape tahu. Snape adalah Rekan Kepercayaannya."

Caroline membeku sesaat. Profesor itu ternyata tahu, mungkin dia memang tahu tentang surat itu.

"Kau tahu tentang itu? surat?" tanyanya.

"Bertanyalah pada Severus, Caroline." dia menepuk bahunya beberapa.

Profesor McGonagall memutuskan meninggalkan Caroline di kelas itu setelah dirinya yang memaksa untuk tinggalkan saja dirinya sebentar. Ia terduduk di kursi paling depan kelas. Berusaha meredakan emosinya, atau tidak ia bisa melemparkan seorang murid tidak bersalah karena emosi sihirnya meletup-letup. Oklumensi berguna saat sekarang.

Ia membuang napas menenangkan, lalu membuka pintu kelas.

"Kau punya masalah, Caroline?"

"Draco, kau mengejutkanku." serunya pelan.

"Jawab."

"Bagaimana kau tahu itu? seseorang memberitahumu yang tidak-tidak?" tanya Caroline berlama-lama menjawabnya.

"Listen, Caroline, aku peduli padamu--"

"Please, jangan halangi aku, Draco. Aku punya hal mendesak sekarang."

Ia bertanya-tanya apa Draco sudah berapa lama dia ada di depan pintu. Apa dia mendengar percakapan mereka?

"Katakan padaku apa yang salah. Kau bersikap berbeda baru-baru ini--"

Caroline terkejut akan itu. "No, kau yang bersikap berbeda sejak awal semester. Please, menyingkir dari jalanku--"

"Alright, aku tahu aku berbeda sekarang. Jadi bisakah kita berhenti bermain-main seperti ini dan bicara?" kata Draco.

Ia menghargai usahanya agar terbuka padanya.

"Jangan sekarang, Please." Caroline lama-kelamaan lupa berapa kali ia mengatakan tolong. "Aku minta maaf kalau aku semaunya sendiri padamu, Draco, hanya..." ia menunduk, "biarkan aku sendiri, Draco." lirih Caroline.

"Apa yang terjadi?" tanya Draco, memperdalam tatapannya.

Caroline menggeleng. "Tidak ada yang terjadi, Draco."

Tebakanmu tentangku benar adanya, Draco. Instingmu bagus.

"Katakan sekarang, Caroline."

"Okay, okay," ia memejamkan mata sesaat. "Ini tentang darahku."

"Seseorang berbuat sesuatu atau mengatakan sesuatu padamu?" tanya Draco.

"Tidak,"

Memang tidak sopan meninggalkan orang yang sedang berbicara dengan kita tiba-tiba, tapi kaki Caroline sudah gatal sekali ingin ke ruangan Snape. Ia melengos melewati Draco. Sekarang berlari.

Pintu Snape ia gedor keras-keras. Emosi kemarahan datang perlahan-lahan setelah memikirkan bahwa Snape dan McGonagall tahu selama ini tanpa memberitahunya. Persetan dengan kesopanan.

"Tidak diperbolehkan menggedor pintu seorang Profesor!" kata Snape tepat setelah membuka cepat pintunya.

"Ceritakan padaku tentang ibuku!" seru Caroline.

"Apa yang kau bicarakan, Ms Lysander?" tanya Profesor itu, terlihat berhati-hati.

"Berhenti tidak tahu apa-apa. Mensa Flamel! kau pasti tahu betul siapa dia!"

Ujung mata Snape sedikit berkedut. Dia melirik ke belakang bahu Caroline. Ia berbalik menemukan Draco yang dadanya naik turun. Draco mengejarnya.

"Masuk, Lysander." dia membuka lebar pintu itu, ia langsung masuk.

Draco berlari lagi untuk mencapai pintu sebelum tertutup. Snape tidak memberi celah.

"Kau tidak ingin Malfoy mendengarnya, bukan?" tanya Snape.

Ia mengangguk. "Dia tidak tahu apa yang akan kau bicarakan."

"Jangan berpura-pura tidak mengenalnya di hadapanku, Lysander. Dia pacarmu." Snape mengatakan itu dengan kelu.

Caroline membuat muka terkhianati lagi. Seberapa banyak yang ia tidak tahu di dunia sihir ini, tuhan? ia berkata dalam hati. Bahkan Draco membocorkan rahasia mereka pada Snape. Snape si Profesor baru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam.

"Tentu saja dia tidak bersalah, aku hanya tahu." kata Snape.

"Itu tidak penting. Kenapa kau tidak bilang padaku kebenarannya, Profesor? hampir enam tahun aku disini! menyandang statusku yang ternyata tidak benar!--"

"Peraturan telah dibuat. Dan tidak

You are reading the story above: TeenFic.Net