Jennie, Sang Asisten Dokter

Background color
Font
Font size
Line height

Min Jin masih berada di sini untuk menemani gue. Setelah wajah gue bersih dari lumuran darah, dia membuatkan gue secangkir teh manis hangat.

"Diminum, mumpung masih hangat." Ucapnya.

"Singkong rebusnya mana?" Tanya gue dengan terkekeh geli.

Wajahnya agak sedikit kebingungan, seolah tak mengerti apa yang gue katakan. Dia mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Hyung, singkong rebus itu, apa?"

Gue agak terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir tipisnya. Astaga, gue benaran lupa kalau dia nggak pernah makan makanan orang Indonesia.

"Apa singkong rebus itu enak?" Tanyanya lagi.

"Enak banget, singkong rebus itu pasangannya teh manis hangat."

Dia tersenyum dan mengangguk. Wajar saja, dia dilahirkan di Blue Palace yang semua bahan makanannya telah disiapkan dengan kualitas super. Dan tidak pernah makan, di luar dari menu pilihan. Oh iya,  kalian harus tahu seberapa kayanya Kakek gue. Blue Palace adalah komplek yang dibangun oleh Kakek gue sedari ia baru menikah dengan Nenek gue. Dibangun di tanah seluas lima hektar yang dikelilingi dengan taman bunga yang indah, sungai buatan yang sangat jernih, dan fasilitas lainnya yang sangat lengkap.  Bangunan yang bergaya khas istana korea ini berlantai empat dan memiliki banyak kamar. Ada puluhan ajudan dan ratusan pembantu di rumah Blue Palace ini, semua karyawan dan petugas keamamana disediakan satu bangunan untuk mereka tinggali bersama, semua berada di lingkungan Blue Palace.

Gue menatap wajah Min Jin agak lama dan dia menyadarinya. Dia mengerutkan dahinya dan berkata, "Wae-yo?"

"Ani."

"Cih, terus kenapa mendangin wajahku?"

Gue tersenyun melihat ekpresinya yang seperti anak kecil itu. Sangat disayangkan, ia dilahirkan oleh keluarga yang serakah dan bisa terbilang cukup jahat.

"Jin, apa kamu tidak takut karena telah menolongku?"

Dia menghela napas dengan lembut dan tersenyum pada gue. Dia berjalan ke arah ranjang pasien yag berada tepat di samping gue. Dia merebahkan tubuhnya sejenak,  lalu berbaring menghadap gue.

"Takut adalah suatu mekanisme pertahanan hidup dasar yang terjadi sebagai respons terhadap suatu stimulus tertentu, seperti rasa sakit atau ancaman bahaya. Dan jika Hyung bertanya apakah aku takut? Jawabannya adalah, iya."

Gue tersenyum sambil mendengus mendengar penjelasannya tepat seperti penjelasan wikipedia.

"Lalu, kenapa kamu menolongku?"

"Karena Eui Geon adalah Hyung-ku juga."

Ah, so sweet banget sih ini anak, inilah alasan kenapa dia sangat berbeda dengan yang lainnya. Dia disukai oleh banyak orang karena kebaikan dan hatinya yang lembut, nggak heran juga para gadis cantik terpesona dengannya,  yang begitu tampan dan memiliki hati yang lembut. Tapi tak ada yang dia pilih satu pun, dengan alasan, jika semua gadis yang mengejarnya 90% hanya melihat dari ketampanan dan kekayaan keluarganya. Dan dia adalah satu-satunya sepupu gue yang nggak pernah mempermainkan seseorang yang menyukainya.

"Gomawo, Min Jin-sshi." Ujarku sambil tersenyum padanya.

Ketika kami asyik berbincang, ada seseorang yang membuka pintu.

"Sayang, kamu gak kenapa-kenapa, 'kan?" ucapnya sambil mendekat dan memeluk gue.

Kalian sudah bisa menebak siapa dia, kan? Ya wanita sinting tapi cantik, si Jennie balakutut.

"Ish, ngapain, sih? Gak usak pake peluk-peluk segala, ya!"

"Aku khawatir sama kamu."

Min Jin hanya tepaku diam melihat tingkah Jennie yang sangat manja itu. Dia melihat kami seperti ada hal yang sangat tidak ia percayai. Aneh.

"Hyung, dia pacar...."

"Bukan!" Ucap gue menyanggahnya.

"Ish, aku itu pacar kamu. Hey, lupa, ya? Kan kita udah jadian 4 hari yang lalu." Ucapnya dengan cemberut.

"Itu menurut versi, lo. Tapi bagi gue, nggak!" Ucap gue sdengan penuh nada penekanan.

"Adit, apa yang kamu lakukan itu JA-HAT!" ucapnya dengan kesal.

Min Jin mendengus dengan keras melihat tingkah Jennie, ia berpamitan kepada kami dan beranjak pergi sambil tepuk jidat dan terkekeh geli. Rusak sudah wibawa gue di depan Min Jin gara-gara gadis sinting ini.

"Sakit nggak, Yang?"

"Yang, pala lo peyang? Ya sakit, lah."

"Nggak apa-apa peyang, asal cintaku padamu tak akan pernah pudar."

"Kayak kenal tuh kata-kata."

"Itu lagu dangdut, sayang. Yang sering dinyanyikan oleh Pak Sunu."

"Siapa lagi, tuh."

"Pak satpam kampus kita, masa nggak kenal?"

"Forget it. Itu bukan urusan saya."

Dia menatap gue dengan penuh lekat. Ya Tuhan, cantik tapi nggak, ah. Sarap.

"Lo mau ngapain?" Tanya gue yang mulai risih. 

"Walau muka bonyok gini, kok kamu tetap keren, sih?"

"Cih. Mpok jedar makan buah duren."

"Cakep."

"Baru nyadar, kalau gue keren?"

"Ya ampun, makin cinta deh sama kamu." Ucapnya sambil memeluk gue.

"Eh ini kenapa dokternya lama sekali?" Ucap gue melepaskan pelukannya.

"Aku doktermu hari ini, sayang. Sini, aku rawat."

Lagi, dia memeluk gue tanpa  bosan. Dengan keadaan risih dan takut ketahuan orang, dengan cepat gue melepaskan pelukannya dan bangkit keluar ruangan. Hari ini kenapa dokter jaga di kampus lama sekali datangnya? Jujur, baru pertama kali ini gue ke ruanng kesehatan kampus. Ya, alasanya karena ruang kesehatan kampus ini terlihat sangat ekslusif. Dokter dan asisten dokternya pun  berasal dari kampus ini juga yang terpilih karena prestasinya.  Tanpa disengaja gue melihat nama dokter jaga pada hari ini, kalian bisa tebak, siapa? Nama Jennie terpampang di sana sebagai asisten dokter jaga. Oh Tuhan, wanita itu? Tidak, ini tidak mungkin. Di dalam sana, dia tersenyum sambil melambaikan tangannya menyuruh gue untuk masuk kembali dengan senyuman yang menggoda. Gue bukan orang bodoh, nggak akan gue masuk ke dalam. Yang ada bukan cuma dirawat, tapi gue habis dikerjain sama cewek sinting itu. Lebih baik, gue pergi dari sini secepatnya.

***

Glossary:

Gomawo /komawo : terima kasih.

Wae-yo : kenapa (Formal for greeting the same age)

Ani: tidak.

You are reading the story above: TeenFic.Net