Part 8

Background color
Font
Font size
Line height

Dilla Aulia Pramana, anak pertama dari dua bersaudara, sebelum adik satu-satunya harus meninggal karena sakit yang dideritanya semasa kecil. Adiknya yang kerap dirinya panggil dengan nama Didi, meninggal karena komplikasi pada organ dalamnya. Didi lahir prematur yang membuat dirinya sering sakit-sakitan dan pada akhirnya harus pergi lebih dulu.

Didi dan Bagas itu seumuran, Bagas lebih tua sehari dari Didi, makanya mereka kerap disangka kembar. Mereka juga sering menghabiskan waktu bersama tanpa mengajak Dilla yang mereka anggap merepotkan karena sering menangis. Ini juga yang menjadi alasan mereka menjahili Dilla. Mereka menganggap tangisan Dilla itu hal merepotkan tapi mereka juga suka membuat Dilla kesal dan berujung mengadu pada ibu mereka.

Desi yang sangat menyayangi Dilla turut kesal saat Dilla menangis, hal ini juga membuat Desi sering marah-marah kepada dua bocah itu. Lain halnya dengan Nadia, yang menanggapi itu dengan santai. Dirinya bahkan terkadang ikut menjahili Dilla.

Kehilangan sosok Didi membuat keceriaan di keluarga itu luntur seketika. Dilla kerap melamun dan tiba-tiba menangis sendiri, Bagas yang sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, dan Nadia yang lebih memilih menyibukkan diri di perusahaan keluarga untuk menghilangkan rasa sedihnya.

Desi juga merasakan kehilangan keponakan manisnya, namun dirinya tidak boleh egois. Ada anak dan keponakannya yang lebih membutuhkan dirinya, maka dari itu Desi akhirnya membantu Nadia dalam mengurus Dilla. Hal ini juga menjadi alasan Dilla menjadi begitu dekat dengan Bagas.

Dilla itu tidak suka coklat, tapi dirinya bisa memakan coklat, dan hanya satu alasan yang bisa membuat Dilla melakukannya. 

“Gue juga kangen” suara Bagas mengejutkan Dilla yang sedang memakan coklat.

“Didi…, hanya kakak kesayangannya yang bisa manggil dia kayak gitu, dasar cadel” Bagas tertawa ringan mengingat bagaimana Diki dengan mudah marah hanya karena dipanggil Didi selain Dilla.

“Padahal cita-cita gue waktu itu pengen bisa manggil dia Diki bukan Didi”

“Bukannya cita-cita lo mau jadi seniman?” senyum mengejek dari Bagas membuat Dilla mengingat perkataannya waktu kecil dulu.

“Aku mau jadi seniman” kata Dilla kecil penuh semangat.

“Aku mau jadi dokter” Kata Diki ikut semangat.

Bagas yang mendengar sepupunya semangat menceritakan cita-cita membuat dirinya bingung dan juga tidak mengerti.

“Kalau Bagas mau jadi apa?” tanya Diki kepada Bagas.

“Aku gak tau, aku disuruh nurut sama mama katanya” ucap Bagas sedih.

Meski mereka dibesarkan dilingkungan yang sama namun dengan cara mendidik yang berbeda. Jika Nadia lebih santai dan membebaskan pilihan anaknya, lain halnya dengan Desi yang sudah memiliki rencana arah masa depan Bagas.

“Yah… pada akhirnya gue disini bersama anak yang nurut sama mamanya” ujar Dilla dengan tertawa tipis.

“Hahaha, lucu juga kalo di inget-inget masa kita kecil dulu” Bagas tertawa pelan membayangkan bagaimana mereka kecil dulu.

Iya, saat kecil dulu mereka sangat polos dan hanya mengerti bermain. Sedangkan sekarang, untuk sekedar tenang saja mereka tidak bisa.

Tidak mau berlarut dengan masa lalu, Dilla lekas beranjak dari duduknya “Well… hari ini lo ada meeting jadi jangan lupa”

“Satu-satunya yang tersisa dari Dilla kecil adalah cengengnya”.

~\\//~

Menjadi seorang murid dari perguruan karate bukanlah rencana dari Arvie. Dulu ketika kondisinya sudah mulai membaik, papanya harus kembali bekerja sedangkan dirinya tidak bisa ditinggal sendirian begitu saja. Kemudian Desi dan Wirawan menyarankan untuk Arvie tinggal bersama mereka untuk sementara, setidaknya sampai kondisi perusahaan yang kian stabil dan Bagas mendapatkan rumah baru.

Waktu itu, Arvie ingin berbicara kepada Bagas bahwa dirinya tidak mau tinggal bersama ibu dan bapak, namun setelahnya dirinya bahkan tidak pernah bertemu dengan Bagas lagi.

Tinggal bersama Desi dan Wirawan tidak buruk sebenarnya bagi Arvie, namun teman-teman mereka lah yang membuat Arvie tidak nyaman. Hampir setiap hari ada teman Desi maupun Wirawan yang datang untuk mengambil perhatiannya, hanya satu tujuan yang Arvie ketahui. Mereka ingin menjodohkan anak mereka dengan Bagas, papanya.

Hal ini lah yang membuat dirinya tidak betah berlama-lama di rumah, sampai akhirnya dirinya mendapatkan selebaran mengenai pembukaan pendaftaran murid baru di perguruan karate. Tanpa berlama-lama dirinya meminta Desi dan Wirawan untuk mendaftarkannya. Desi dan Wirawan sempat menolak dengan alasan kondisi Arvie yang belum memungkinkan. Namun dokter Herman menyarankan agar mereka menuruti permintaan Arvie, sebagai salah satu upaya mereka untuk membuat kondisi Arvie semakin membaik.

Tiada alasan bagi Arvie untuk membolos latihan, justru latihan yang ia jadikan alasan untuk bisa keluar dari rumah, sebab disanalah dirinya merasa menemukan kesenangan. Hampir setiap hari Arvie menghabiskan waktu di Dojo bersama teman-teman dan Sensei. Itu juga yang membuat Arvie dengan cepat bisa mendapatkan sabuk biru yang saat ini dirinya gunakan.

“Disini latihan seminggu 2 kali, waktunya setelah pulang sekolah. Tapi kalau akan ada turnamen, lomba atau sejenisnya, kita latihan setiap hari” Jelas sensei Fatur.

Selepas pulang sekolah, Arvie menghampiri ekskul karate yang sebelumnya ditawarkan oleh anggota mereka kepada dirinya. Dirinya sebenarnya tidak  tertarik, namun saat sedang melihat-lihat sekitar ruangan ekskul karate, dirinya ditarik oleh Hasan ketua ekskul karate dan dibawa ke depan sensei Fatur.

“Ah… Maaf tapi saya tidak ada niatan untuk masuk ke ekskul ini” terangnya kepada Hasan dan juga Fatur.

Melihat tidak adanya keraguan dimata Arvie, Fatur lalu menyeringai “Gimana kalo kamu lawan saya, kalo saya kalah kamu boleh pergi, tapi kalau saya menang kamu harus masuk ke ekskul ini, bagaimana?”

Mendengar hal itu membuat Arvie bingung, mengapa mereka sangat menginginkan dirinya untuk ikut dalam ekskul ini.

“Maaf saya buru-buru” Arvie kemudian berlalu pergi dari hadapan Hasan dan Fatur yang masih menampilkan smirknya.

Saat kehadiran Arvie sudah tidak terlihat lagi, barulah seseorang muncul dari balik dinding, “Sudah ku bilang, dia tidak akan mau” Samudra bicara dengan sangat percaya diri.

“Gimana, dua botol harus sudah ada selesai latihan ya” kemudian Samudra berlalu pergi untuk melanjutkan latihannya.

“Kamu benar Hasan, dia sepertinya alat yang bagus untuk memancing perhatian Wiji” 

“Bisakah kamu bawa dia kembali kesini sebagai anggota?” ucapan manis Fatur membuat Hasan meneguk ludah kasar.

“Akan aku usahakan sensei” Fatur berlalu pergi meninggalkan Hasan sendiri dengan banyaknya pikiran.

Setelah pergi dari ruangan itu, Arvie kemudian berjalan menuju gerbang. Disana tepat di samping gerbang terparkir mobil Audi R8 milik Desi.

Tanpa berlama-lama Arvie kemudian berjalan menghampiri mobil tersebut kemudian masuk ke kursi penumpang di samping kursi pengemudi.

“Gimana sekolahnya?” Tanya Desi basa-basi.

“Yah… seperti biasa, tidak ada yang spesial”

“Em… kita mampir ke tempat makan dulu ya, dirumah gak ada lauk, jadi Ibu mau beli dulu, sekalian kita makan disana”” 

“Hem”

Setelah itu mereka sama-sama diam tanpa ada yang memulai obrolan kembali sampai mobil yang dikendarai Desi sampai di parkiran salah satu tempat makan langganan mereka.

“Kamu masuk dulu, cari tempat duduk, ibu mau pesen. Kamu kayak biasanya kan?” Tanya Desi untuk memastikan cucunya ini masih memiliki selera makan seperti dulu.

“Iya, jangan pedes” Arvie berjalan kedalam menuju salah satu meja yang dirinya sukai, yaitu meja dekat cendela yang mengarah ke danau buatan dibelakang tempat makan tersebut.

Arvie berjalan menuju tempat biasa dirinya dan keluarganya makan. Sebuah meja dekat dengan jendela, sehingga mereka bisa melihat kondisi jalanan pada saat itu.

Tidak lama Desi datang dan duduk berhadapan dengan Arvie. Setelah menyamankan posisi, Desi memperhatikan Arvie dengan seksama.

“Kenapa bu?” Tanya Arvie yang merasa diperhatikan oleh Desi.

“Ibu cuma gak nyangka aja, kamu ternyata udah besar yah… waktu emang cepet banget berlalu ya Arvie” Desi tersenyum manis kepada Arvie. Sedangkan Arvie yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa memalingkan wajahnya, enggan untuk bertatapan dengan Desi.

“Arvie?” Arvie menatap Desi dengan serius “Kamu masih kecewa sama ibu, nak?”

“Enggak, lagian itu juga salah ku, sudah sewajarnya ibu seperti itu kepada anak ibu kan” meski berta Arvie mencoba tersenyum tipis.

“Bukan soal ayahmu nak, tapi soal dirimu, kamu masih kecewa dengan ibu perihal beberapa tahun yang lalu nak?” Mendengar perkataan Desi seakan membuat dirinya ditarik kemasa lampau dimana hidupnya penuh dengan penderitaan.

Lama tidak ada jawaban dari Arvie, Desi ingin melanjutkan pembicaraan mereka, sebelum waitress datang dengan membawa pesanan mereka.

“Selamat menikmati” setelah kepergian waitress tersebut Desi juga Arvie bersiap menyantap hidangan di depan mereka.

“Ini, kamu masih suka ayam bakar kan?” Setelah melihat Arvie mangangguk Desi mengambil satu potong ayam bakar dan diletakkan dipirang Arvie.

“Mau nambah sayur juga Vie?” Tanya Desi dan dijawab gelengan oleh Arvie.

“Atau kamu mau nambah apa, biar ibu pesenin lagi” 

“Gak usah bu, ini aja udah cukup” 

Mereka kembali melanjutkan menyantap hidangan didepan mereka, sesekali Arvie akan melirik kearah Desi.

Dalam keheningan mereka dalam menyantap hidangan, Arvie kembali terdiam memikirkan perkataan Desi barusan. Jujur, dalam lubuk hari Arvie paling dalam dirinya begitu marah dan kecewa kepada wanita di depannya ini, namun disisi lain, dirinya juga mengerti alasan wanita ini melakukannya.

“Bu…” panggilan Arvie membuat Desi menghentikan tangannya yang akan menyuap nasi kedalam mulut.

“Ya?” 

“Aku memang kecewa dengan ibu, aku juga marah pada ibu, tapi aku tetap tidak bisa membenci ibu, aku mengerti alasan ibu melakukan semuanya, aku tau jika ibu membenci mamaku dan berusaha untuk menjauhkanku dari papa” tidak ia sangka anak yang dulu dirinya kira polos ternyata mengerti semua alasan perilakunya.

“Maaf kan ibu, Vie… ibu sungguh digelapkan oleh kebencian sehingga kamu yang harus merasakan kebencian ibu, ibu benar-benar minta maaf kepadamu” dengan tulus Desi meminta maaf kepada Arvie atas perbuatannya selama ini.

Sejak Bagas memperkenalkan seorang perempuan yang disebutnya sebagai calon istri, disitulah rasa tidak suka Desi kepada perempuan itu timbul. Selama ini dirinya sama sekali tidak mempermasalahkan perempuan mana saja yang kelak akan mendampingi anaknya, namun ketika melihat perempuan itu ada dihadapannya dan setia memegang erat tangan anaknya membuat Desi tidak suka. 

Kebenciannya kepada Kiara, mamah Arvie telah membuat dirinya menjadi sosok nenek yang begitu mengerikan bagi Arvie. Bagaimana bisa anak sekecil itu menerima perlakuan begitu buruk dari neneknya sendiri. Tapi Desi hanya bisa meminta maaf dan mencoba mengembalikan apa yang seharusnya mereka rasakan.

To be continued...

Rabu, 27 Maret 2024


You are reading the story above: TeenFic.Net