1. Titik Awal Semi

Background color
Font
Font size
Line height

Aku melahap seperempat burger-ku, sambil memandangi suasana kafetaria kampus yang tidak terlalu ramai siang itu.

Hari ini merupakan hari pertama musim semi, sehingga banyak mahasiswa akan memilih untuk makan siang di taman, seperti piknik.

Namun karena aku lebih menyukai musim gugur dibandingkan musim semi, maka di sinilah aku, duduk nyaman bersama keempat housemates-ku.

Ya, housemates.

Sejak kuliah, aku memutuskan menyewa rumah bergaya villa bersama keempat housemates-ku yang kini menjadi sahabatku.

Keluargaku sebenarnya adalah keluarga konglomerat.

Terdiri dari Ayah, Ibu, 3 anak laki-laki, dan aku, satu-satunya anak perempuan.

Ayahku, Reginald Norvand, adalah presiden direktur Norvand Corp yang merupakan perusahaan teknologi terkaya nomor 5 di dunia.

Ibuku, Viola Norvand, seorang ibu yang tangguh dan merupakan pendamping paling sempurna bagi Ayahku.

Kakakku, Hans si sulung, memiliki sosok bak malaikat dan mewarisi sifat keibuan dari Ibuku.

Kembaranku, Carlos, cenderung bersifat kekanakan, senang bergurau, namun pemalu.

Sementara, Adikku, Jeremy, adalah si bungsu yang polos namun mampu bersikap dewasa melebihi orang dewasa lainnya.

Keluargaku dapat dikatakan merupakan keluarga yang harmonis.

Sampai suatu ketika, terjadi sebuah kecelakaan yang menewaskan Kakek dan Nenek dari pihak ayahku di saat aku masih berumur 2 tahun.

Tragedi itu dianggap sebagai satu dari seribu ancaman berbahaya bagi keluargaku, yang akhirnya menyebabkan aku dan ketiga saudaraku diasingkan untuk diamankan.

Sejak tragedi itu, aku dan ketiga saudaraku akhirnya tinggal bersama keluarga Paman Leandro Rover, yang adalah saudara kembar Ibuku, kemudian merahasiakan keluarga Rover dari publik dengan mengatakan bahwa Ibuku adalah anak tunggal.

Saat aku beranjak remaja, Ayahku datang mengunjungiku dan melontarkan kata-kata yang masih terdengar jelas dalam benakku, untuk menjawab semua pertanyaanku mengenai alasan mengapa aku dan ketiga saudaraku harus hidup terpisah dari Ibu dan Ayahku.

"Menjadi keluarga konglomerat artinya kita harus siap menghadapi bahaya apapun. Karena terkadang yang musuh kita inginkan bukan hanya uang dan kekuasaan, tetapi juga nyawa kita."

Sampai saat ini pun, aku masih hidup terasingkan dan seolah menyamar menjadi keluarga orang lain.

'Undercover' sebutannya, jika aku meminjam perkataan Hans.

Sementara, ketiga saudaraku perlahan-lahan telah diketahui publik sebagai anak-anak dan para pewaris perusahaan Reginald Norvand.

Dan sebuah keuntungan bagiku yang bukan merupakan kembar identik dengan Carlos. Sehingga orang lain tidak akan pernah menduga bahwa aku adalah bagian dari keluarga Norvand.

Ketiga saudaraku sudah kembali tinggal di Norvand Mansion bersama Ayah dan Ibuku, sementara aku akhirnya memutuskan hidup terpisah dari keluarga Rover sejak memasuki dunia perkuliahan.

Kami berempat bahkan berpura-pura tidak mengenal satu sama lain saat berada di kampus demi menyukseskan 'undercover' ini.

Namun jujur saja, melakukan penyamaran ini membuatku sering merasa kesepian meskipun aku berada di antara sahabat-sahabatku.

Tanpa sadar, aku menghembuskan napasku dengan berat.

"Mikirin apa sih, Revie? Ayo sini cerita," Evelyn menepuk pelan pundakku.

Aku memaksakan sebuah senyuman.

"Hehe.. Ini loh.. Aku cuma lagi mikir aja, ini kan kita udah semester 5 ya, kalian ada yang ngerasa jenuh ga sih?" tanyaku pada keempat sahabat-ku yang juga sedang sibuk melahap makanan mereka masing-masing.

"Jenuh sih belum ya, padahal aku udah semester 7. Emang kenapa Rev? Kamu jenuh?" tanya Dave.

"He-em, dikit." Aku menggangguk pelan.

"He? Bisa-bisanya kamu jenuh di saat kita satu kampus sama band cowok paling ganteng sejagat raya alias Wolves? Aku sih ga bakal jenuh ya berapa semester pun kuliah di sini asalkan masih bisa liat mereka setiap hari," tegas Evelyn.

Aku tersenyum miris.

"Eh iya, lagian si Revie mah cowoknya kan member band Wolves. Kok bisa-bisanya jenuh ke kampus?" timpal Kameron.

"Ga gitu, Kam. Perasaan jenuh kuliah sama hubungan pacaran tuh buat aku ga ada korelasinya," sahutku memprotes perkataan Kameron.

Hingga sedetik kemudian, ku rasakan telapak tangan seseorang membelai lembut kepalaku.

Aku menoleh kemudian mendongak, dan mendapati Fargas, kekasihku, sedang menatapku sambil tersenyum.

"Wow, panjang umur banget cowoknya Revie," celetuk Dave.

"Eh? Emang lagi ngomongin aku?" tanya Fargas.

"Engga juga sih. Tadi ngomongin Wolves aja," sahut Freya.

"Ahaha oalah. Sayang gimana kelas paginya?" Fargas menarik kursi di sebelah kananku kemudian duduk memandangku.

"Hm. Biasa. With Mr. Sunbeam," sahutku.

Fargas pun melontarkan beberapa pertanyaan lain sambil terus mengobrol dengan keempat sahabatku.

"Aaaaaaa!!! Itu!!! Itu Wolves!!!"

Aku tersentak, memandang sekumpulan mahasiswi semester 1 di meja seberang sana yang kini berteriak kegirangan melihat kedatangan 6 member Wolves lainnya.

Aku menjatuhkan tatapanku pada lelaki yang aku tahu adalah Leader Wolves dan merupakan cinta pertamaku di SMA.

Geovanno Asher Jefferson.

Panggilannya Geo.

Lahir dari keluarga konglomerat yang menjalankan perusahaan industri, JF Group, dengan prestasi perusahaan yaitu terkaya no 4 di dunia.

1 peringkat lebih unggul dibandingkan perusahaan keluargaku.

Dan Geo adalah pewaris tunggal perusahaan itu.

Saat SMA pun, Geo sudah sangat populer berkat wajahnya yang tampan. Terlebih lagi sifatnya yang lemah-lembut, senang tertawa, dan selalu sigap membantu orang lain.

Namun sayangnya, Geo versi hangat itu telah lama hilang.

2 tahun tepatnya.

Dan kini hanya menyisakan Geo yang dingin, tidak pernah tersenyum, dan tidak lagi memedulikan orang lain.

Apa yang terjadi?

Semuanya karena insiden hari itu.

Hari kelulusan SMA-ku, dimana salah satu siswinya tewas dalam peristiwa tabrak lari setelah menghadiri perayaan kelulusan.

Pelaku tragedi tabrak lari itu adalah salah satu siswi lain yang hari itu menyatakan cinta pada Geo namun Geo menolaknya.

Setelah ditolak, siswi itu berniat menabrak Geo setelah acara kelulusan usai, namun dicegah oleh siswi lainnya yang akhirnya menjadi korban.

Sampai saat ini, tidak diketahui siapa pelaku dan korban dari tragedi tersebut, karena masing-masing keluarga diduga mencoba menutup mata dari kejadian tersebut demi mencegah turunnya harga saham dari perusahaan mereka masing-masing, untuk menghindari kebangkrutan.

Sama sekali tidak ada petunjuk mengenai siapa siswi yang menjadi pelaku dalam insiden tersebut, karena insiden itu terjadi tepat setelah perayaan kelulusan, yang artinya terdapat seribu lebih nama siswi yang resmi keluar dari sekolah tersebut, untuk kemudian memilih perguruan tinggi di luar negeri.

Sementara, kebenaran bahwa korban yang tewas dalam insiden tersebut adalah 'korban salah target' pun juga disembunyikan dari publik, untuk mencegah adanya serangan tak terduga yang ditujukan kepada Geo, untuk menjatuhkan si pewaris tunggal JF Group tersebut.

Hanya tersisa 2 artikel yang masih terbit hingga sekarang mengenai insiden tersebut, sementara beribu artikel lainnya telah diblokir oleh perusahaan keluarga Geo, perusahaan keluarga siswi pelaku, dan juga perusahaan siswi korban, tepat semenit setelah beribu artikel tersebut terbit.

Begitulah kuatnya dunia konglomerat dalam perampasan hak media ketika mencoba menyuarakan kebenaran.

Sementara 2 artikel yang masih ada hingga saat ini adalah satu artikel yang membahas motif si pelaku dan satu artikel lainnya yang membahas mengenai keluarga korban.

Artikel yang membahas motif insiden tersebut ditulis oleh Jurnalis Bruckner yang jelas menyebut nama Geo sebagai target awal pelaku. Sementara sang pelaku diduga bisa merupakan siapa saja yang menjadi penggemar Geo di masa SMA dan mendapat penolakan cinta.

Artikel kedua oleh Jurnalis Levine membahas mengenai orang tua korban, yang meminta untuk tidak mempublikasi kematian putri bungsunya. Kakak perempuan dari korban pun menjelaskan bahwa tidak perlu membawa insiden ini ke ranah hukum, meskipun sebenarnya keluarga korban ini diketahui sudah mengantongi berkas CCTV dan foto plat mobil pelaku yang menabrak korban hingga tewas.

Hanya kedua artikel tersebut yang masih dapat diakses hingga saat ini, sementara belakangan diketahui bahwa kedua jurnalis dari kedua artikel tersebut telah dipecat secara tidak terhormat, karena menolak menghapus artikel mereka.

"Emang ya dunia penuh tipu-tipu," bisikku seraya menghela napas pelan.

"Boleh duduk sini?" suara seseorang dari balik punggungku.

Aku menoleh dan mendongak, kemudian menatap salah satu member Wolves yang sedang balas menatapku.

Hans, kakakku.

Aku memberinya tatapan "udah gila ya?" yang dibalasnya dengan kedipan mata sekilas.

Sejauh ini, yang tahu mengenai penyamaran keluargaku hanyalah keempat housemates-ku dan satu sahabat masa kecilku, Clinton, yang juga adalah member Wolves.

Sementara member Wolves lainnya tidak mengetahuinya sama sekali, termasuk Geo.

Hans menarik kursi di sebelah kiriku kemudian duduk, berseberangan dengan Geo yang entah sudah berapa lama duduk di sana.

Aku melirik sekilas ke arah Geo dan mendapati bahwa ia juga sedang menatap ke arahku.

Cepat-cepat ku alihkan pandanganku menuju sekumpulan siswi yang masih cekikikan di ujung sana.

"Maaf ya, kita jadi gabung di meja ini. Sengaja nih, mo godain Fargas ngapelin ceweknya," ucap Chris, yang dibalas dengan tawa bahak member Wolves kecuali Geo, tentu saja.

Geo hanya diam, menatap menu di depannya.

"Waduh si pak bos diem doang kek patung kuda. Mo makan apa pak bos?" Chris tampak menyikut pelan lengan Geo.

"Ga laper," sahut Geo singkat lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kafetaria.

"Ooh, awkward..." celetuk Dave di seberangku, yang ku balas dengan tatapan menegur.

Hingga sedetik kemudian, terdengar suara pecahan piring dari arah pintu masuk kafetaria, yang membuat kami semua menoleh serentak ke arah sumber suara.

"SUMPAH YA LO, BAWA GINIAN AJA GA BECUS!! Ini tuh piring mahal!! Properti gue buat teater musim semi minggu depan dan lo pecahin gitu aja! Tanggung jawab lo sekarang!" bentak seorang gadis tinggi dengan postur tubuh model, tatapan dingin, dan wajah tegas.

Vivian.

Setiap kampus, aku yakin, memiliki sosok 'ratu' yang dibebaskan untuk bersikap semaunya, terlebih kepada orang-orang yang derajatnya dianggap lebih rendah.

Dan di kampus ini, Lexerd University, Vivian adalah ratunya.

"Lo miskin kan? Bisa ngga tanggung jawab? Hah?!!" Vivian mendorong gadis pirang di depannya, yang sepertinya adalah salah satu mahasiswi semester 1.

"Harganya 15 juta, bahkan lebih mahal dari biaya kuliah lo, bisa ga??!!" Vivian mendorong gadis itu lebih kencang hingga membuat gadis itu terhuyung.

Ku angkat tubuhku dan segera berdiri, hendak berjalan menuju Vivian, sebelum kemudian ku rasakan tangan Fargas menahan pergelangan tanganku.

Aku menoleh, mendapati semua orang di meja kami sudah berdiri dan berniat menghentikan Vivian, kecuali Geo, Chris, dan Fargas yang masih duduk menempel pada kursi masing-masing.

"Ga usah ikut campur urusan Vivian kalo ga mau tambah keruh. Keluarganya pemegang saham terbesar di kampus ini," ucap Fargas.

Sementara di ujung sana, Vivian tampak menjambak rambut gadis itu hingga membuat gadis itu berlutut di atas pecahan kaca.

Hans dan Niel yang tampaknya sudah muak dengan pemandangan di depan mata mereka itu pun seketika berjalan cepat ke arah Vivian, diikuti oleh Dave dan Clinton di belakangnya.

Aku menghempaskan tangan Fargas dan berjalan gusar menuju Vivian, lalu berhenti tepat di depan Vivian sedetik sebelum Vivian menampar si gadis, yang kini tampak ingin bersembunyi di balik punggung Hans.

Dengan sigap, aku menahan tangan Vivian dan menghempaskannya dengan kasar.

"LO LAGI?!!! APAAN LO TERUS-TERUSAN IKUT CAMPUR URUSAN GUE, EMANG LO SIAPA?!!" bentak Vivian. Kakinya maju selangkah di hapadanku dan emosinya meledak.

"Gue siapa? Ya, gue Revie lah, kenapa? Mo kenalan lagi? Ga cukup baku hantamnya pas semester 3?" sahutku santai.

"BANYAK BACOT YA LO!!" seru Vivian, kembali mengayunkan tangannya untuk menamparku namun gagal, karena Geo tiba-tiba saja sudah berdiri tepat di depanku, menghadap Vivian.

PLAKKK!!!

Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi kiri Geo, diikuti ekspresi terkejut si penampar.

Aku menutup mulutku yang menganga dengan satu tanganku, kemudian segera berjalan ke hadapan Geo.

Geo tampak menunduk dengan mata tertutup, kemudian menghembuskan napasnya perlahan.

"Geo sumpah gue ga sengaja. Sumpah gue ga maksud nampar lo," ucap Vivian dengan nada panik.

Yah, sejauh yang aku tahu, semua gadis di kampus menyukai Geo, termasuk Vivian.

Oh, ralat, 'terlebih' Vivian.

Vivian bisa dikatakan terobsesi pada Geo dan selalu berusaha mendapatkan perhatian Geo dengan segala cara.

"Geo?" panggilku, menyentuh pelan lengannya.

Geo membuka matanya perlahan dan menatapku, namun pandanganku kini jatuh pada pipi kirinya yang tampak kemerahan.

Amarah pun mulai menguasaiku hingga membuat kedua tanganku terkepal, dan aku yakin Geo menyadari hal itu.

Aku berbalik kemudian mendorong Vivian dengan kasar.

"GUE GA TERIMA YA LO NAMPAR GEO!!!!" bentakku.

"Heh!! Diem lo!! Dasar gatau diri!! Emang lo siapanya Geo?!! Asal lo tau, gue tadinya mo nampar lo. Gara-gara lo gue jadi nampar Geo!!!" balasnya.

Amarahku pun mencapai titik terdidihnya.

Ku angkat kedua tanganku lalu menjambak rambut Vivian, yang dibalasnya juga dengan menjambak rambutku.

"Oh, shit, here we go again."

Ku dengar celetukan Dave saat berusaha meleraiku dengan Vivian.

Suasana kafetaria pun menjadi heboh.

Beberapa suara yang ku kenal tampak terdengar bersahutan seraya mencoba memisahkan Vivian dan aku.

Seseorang pun tampaknya berusaha menarik kedua lenganku untuk segera melepas rambut Vivian yang masih ku cengkeram kuat.

Sementara Vivian juga tampaknya ditarik oleh seseorang yang lain hingga membuatnya melonggarkan cengkeramannya pada rambutku.

"ADA KERIBUTAN APA INI??!!"

Cengkeramanku terlepas tepat ketika Pak Nicholas, kepala kedisiplinan, masuk ke dalam kafetaria.

Aku segera berdiri mematung, memandang Pak Nicholas yang berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya.

Ku hembuskan napasku perlahan, kemudian terkejut karena melihat Fargas yang tampak memegangi Vivian di seberang sana, dengan Dave dan Niel yang berdiri di antara aku dan Vivian.

Namun aku lebih terkejut saat menyadari bahwa seseorang yang selama ini menarik lenganku, untuk memisahkanku dari Vivian, adalah Geo.

Dan kini kedua tangannya masih memegang kuat kedua lenganku.

"Kalian ber-enam, ikut saya ke ruang detensi!" perintah Pak Nicholas yang segera berbalik dan berjalan pergi.

"Lah? Aku ga ngapa-ngapain?!" protes Dave.

"Gue juga anjir," sahut Niel

Oh, astaga...

.
.
.
~tbc

.
.
.

ADDITIONAL CASTS

1. Reginald Caprice Norvand

Ayah kandung Revie. Presiden Direktur Norvand Corporation.


2. Viola Celisa Norvand

Ibu kandung Revie. Lahir di keluarga Rover dengan nama lahir Viola Celisa Rover.


3. Carlos Serenade Norvand (Carlos)

Kakak kembar Revie, beda 7 menit. Kelahiran 27 April 2000. Anak Fakultas Teknik Jurusan Teknologi Informasi. Semester 5.

You are reading the story above: TeenFic.Net