Part 7

Background color
Font
Font size
Line height

Pertengkaran dirumah tangga selesai, tetangga sekitar rumah ku kembali tertidur. Ku hanya bisa mengelus dada karena tidak sanggup akan caci dan makian dari mulut mereka. Aku merekamnya dalam sebuah memori kecil, saat itu penyesalan datang dengan tiba-tiba. "Kenapa aku hidup didunia ini?, kenapa aku harus lahir dari keluarga ini?, apakah ini namanya hidup?, apakah ini arti hidup?" Sambil menangis meratapi seekor laba – laba yang sedang bersarang dengan keluarganya.

Semua pertanyaan kini telah hadir dalam benakku, membuat semua saraf sensorik dan neuron yang aku miliki harus terkena virus kebencian dan tidak bisa digunakan lagi kecuali ku harus mencucinya. "Apa gunanya aku hidup didunia ini, lebih baik aku mati dari pada aku menderita disini, ini semua karena ku!, ini karena aku ada didunia ini!."

Semua pertanyaan yang aku buat tidak ada yang menjawab, "Kenapa tidak ada yang mau membantu ku, apa karena aku tidak penting didunia ini?" Tanyak ku dalam hati. Aku menyalahkan dan menerima begitu saja "Bukan, bukan, ini bukan karena ku, ini dibuat karena dia, iya, dia yang telah membuat aku seperti ini. Bukan, ini memang salahku. Ya ini salahku, aku yang membuat ini."

Ku menyalahkan diriku dengan menggenggam tangan, memukuli seluruh tubuh tembok depan hadapan ku, melihat setiap retakan tembok yang aku buat kini semakin membesar. Disetiap retakan menggambarkan hati kecil ku yang mereka buat pada ku. Mungkin semua ini akan robek dimakan semua derita.

Semua kebimbangan datang dalam benak, ku hanya mampu melihat ibu yang tergeletak dengan tetesan darah disekujur wajah dan mengotori baju putihnya. Ku mengingat kejadian itu semua. "Dimana ya buku itu, semoga buku itu gak hilang lagi!"

Ku hanya dapat menulis disebuah diary sambil meratapinya semua darah yang bercucuran, semuanya ku tulis dengan darah yang terjatuh dari hidung dan rasa sakit pada bagian perut ku. "Kenapa harus seperti ini Tuhan? Apa salah keluarga ku? Kenapa harus seperti ini kau buat pada kami?" Pertanyaan terus terngiang-ngiang di benak.

Catatan diary bercampurkan darah segar berbecak di cover dan dalam buku ku, aku hanya bisa menulisnya dengan cepat tanpa ada satu kejadian yang aku lewatkan.

"Aku harus bisa membunuhnya, aku gak akan memaafkan dirinya!" Mengusap darah dari hidung.

Aku menghampiri ibu yang sedang kelelahan dan bercucuran darah dilantai keramik putih yang kotor, dan tiada yang mau membersihkannya."Ibu kau tidak apa – apakan , kau baik-baik sajakan?, aku takut kalau ibu kenapa-kenapa." Menghapus tetesan darah dari hidungku.

Tetes demi tetes air keluar dari bola mata kecilku. Andini berusaha menenangkan diriku dalam kesedihan, seorang wanita hebat yang sabar akan kelakuan bejat ayahku. "Tidak Gas, ibu gak apa-apa kok yang penting kita berdua masih bisa merasakan kasih sayang sebagai ibu dan anak lagi."

Kemudian melanjutkan kata-katanya sambil mengeluskan rambut keritingku "Sebelum salah satu dari kita harus berpisah suatu saat nanti." Memelukku dengan erat seakan-akan kasih sayang yang tiada batasnya berakhir disini.

You are reading the story above: TeenFic.Net