20. Gimana nih?!
DI dalam mobil, menuju rumah Permai Indah nomor sembilan yang tidak terlalu jauh dari gang komplek, Emilia dan Bara duduk di belakang.
Emilia memilih bergeming dan memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela dengan muka masam. Kesal dan malu, bercampur jadi satu karena rahasia hatinya sudah diketahui cowok yang ada di sampingnya tersebut.
Pikiran-pikiran negatif langsung mengerubungi otak Emilia. Kenapa harus cowok belagu ini yang mengetahui rahasianya? Apalagi jika mengingat perkataan cowok itu tadi, membuatnya resah. Apa iya, Bara akan memberitahu Tama atau hanya menakut-nakutinya saja?
Bagaimana kalau Bara benar-benar memberitahu Tama dan anak-anak di sekolah? atau Bara membalasnya dengan hal yang sama, menyebarkan info tersebut ke Magaschool?
Apa kata Pak Prasetya jika beliau tahu?
Emilia bergidik ngeri sambil memejamkan mata saat membayangkan kejadian yang belum terjadi itu, bersamaan dengan meremas tangan yang memegang buku hariannya yang ada di atas pangkuannya. Apakah ketakutannya berlebihan? Entahlah, tapi gerak reflek yang Emilia alami, membuat Bara menoleh kepadanya. Perasaan yang sangat canggung di dalam mobil tersebut meski bersama sepupunya, tiba-tiba meluntur di detik itu juga. Perlahan pandangan Bara pun ikut turun memandangi buku harian yang dipegang Emilia.
"Kita udah sampai," tutur Gibran, memandang Bara dan Emilia lewat pantulan cermin depan mobil, memecahkan keheningan diantara mereka. "Ayo turun!"
Rado, Gibran dan Bara pun segera turun, berbeda dengan Emilia. Dia perlu menenangkan hatinya dulu untuk menerima kenyataan. Tapi tak cukup waktu, Gibran pun kembali mendekati mobil dan mengetuk pintu jendela untuk memanggil Emilia.
"Ayo turun, apa mau di sini aja?" tanya Gibran, sedangkan Rado dan Bara sudah melangkah ke bibir pintu rumahnya.
Emilia mendengus, membuka pintu dan turun. Tetap saja, dia tak bisa tenang. Emilia melangkah ke rumah dengan wajah yang masih terlihat sakit hati. Saat masuk ke dalam rumah, Emilia menatap sosok Bara dari belakang, lalu terlintas begitu saja, Emilia melangkah dengan cepat sambil menabrak kuat bahunya ke bahu Bara.
Cowok itu tersentak, meraba bahunya yang agak sakit. Begitu juga dengan Rado dan Gibran. Mereka menoleh ke Emilia yang mulai melangkah ke arah tangga yang ada di sudut rumah.
"Mili!" tegur Gibran yang masuk ke rumah belakangan, kaget melihat perbuatan adiknya barusan. "Kok gitu sih, bukannya tadi udah baikan?" lotot Gibran.
Emilia mengabaikan Gibran, dia terus melangkah, meraih pegangan tangga, tapi matanya memandang ke arah Bara seperti tatapan Elang.
"Nggak apa-apa kok Bang," sahut Bara kemudian, menyambut tatapan Emilia dengan menyunggingkan bibirnya ke samping. "Santai aja," menatap Emilia yang terus melangkah ke atas.
"SIAL! Kenapa juga Kak Rado sepupuan sama cowok belagu kayak Bara?" gerutunya, menghempaskan tas ransel yang ada di pundaknya ke atas kasur, kemudian Emilia duduk disisi tempat tidur dengan wajah cemberut.
Seandainya Rado bukan sahabatnya Gibran, Emilia pasti sudah bilang tidak setuju mengajak Bara ke rumahnya, dan kalau saja Bara bukan sepupu Rado, dia pasti sudah berbuat lebih dari sekedar menabrakkan pundaknya ke pundak cowok belagu, sok ganteng, dan sok pintar itu di depan Rado, kalau saja.
"Rahasia gue bisa kebongkar sama dia.. duh, gimana nih?!" tutur Emilia lagi, kali ini perasaannya mulai was-was bercampur dengan rasa sakit karena mengingat perkataan cowok bermata kecil itu tadi. Kalimat pendek yang berhasil menusuk ke hulu nadinya, dan mungkin akan diingatnya seumur hidup.
Cewek bodoh yang nggak tahu malu di sekolah!
"Tssh!" desis Emilia sakit hati sambil memejamkan matanya.
Sekarang, Emilia gelisah, mulai merasakan apa yang pernah Bara rasakan ketika dia menyaksikan cowok itu diputusin Venny.
Sementara itu, di ruang tengah di lantai bawah, saat Emilia sudah menghilang dari tangga, Rado menepuk pundak Bara.
"Bara," tuturnya, pun cowok itu menoleh menatap Rado.
"Lo nggak bohong kan, kalau lo nggak baca isi diary-nya Mili?" tanya Rado, seraya memandang ke atas lalu kembali menatap Bara. "Karena nggak mungkin dia sekesal itu sama lo. Selama Kakak main ke sini, nggak pernah lihat dia sekesal itu."
Bara menelan ludah mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan sepupunya. Kemudian tersenyum tipis.
"Baca sih,"
"Nah lo bohong.."
"Tapi buat tahu-siapa pemilik diary-nya," potong Bara.
Rado menghela nafas berat begitu mendengar jawaban Bara. "Kirain, Tapi Mili kesal banget itu sama lo."
"Kayak orang yang udah berantem berkali-kali aja kalian," timpal Gibran, meletakkan tas selempangnya di atas sofa didepan TV.
Tak ada jawaban dari Bara karena feeling Kakak cowok Emilia itu tidak salah. Bara hanya melebarkan senyum canggung.
"Ngomong-ngomong, lo jurusan IPA juga-sama dengan Mili?" lanjut Gibran ingin tahu, seraya mengambil buku catatan kuliahnya dari dalam tas.
"Iya, sejurusan-" jawab Bara masih memegangi satu tali tas ransel yang masih menggantung di pundaknya.
Tapi matanya sudah menelusuri seluk beluk sisi rumah mereka. Pandangannya berhenti ketika Bara menemukan foto-foto keluarga di meja hias ruang tengah itu.
"IPA berapa?"
Bara tak mendengar karena terlalu fokus memperhatikan gambar yang ada di meja hias mereka. Mulai dari foto bersama dan foto Emilia dan Gibran sendiri-sendiri ketika mereka kecil hingga sekarang. Dan kini, mata Bara tertuju pada foto mereka berempat.
Ada sosok pria paruh baya-berdiri di belakang Emilia kecil yang sedang duduk di depannya, wajah mereka persis sama. Pria itu berwajah oval, punya mata kecil dengan kumis yang samar di bawah hidungnya yang mancung. Di gambar itu Emilia juga terlihat lucu dan menggemaskan. Gibran yang duduk di sebelah Emilia, sepenuhnya mirip wanita yang ada di belakangnya yang sedang berdiri di samping pria paruh baya tersebut. Wajah Gibran tampak paling bahagia saat menatap kamera, itu terlihat dari cara Gibran remaja tersenyum.
Mata Bara kembali menatap sosok pria di belakang Emilia.
Rado menoleh kepada Bara dengan heran karena cowok itu tidak menjawab pertanyaan Gibran. Pun sama, Gibran memalingkan pandangannya dari buku catatannya. Dia memperhatikan dengan seksama, anak itu sedang menatap Bokapnya lekat.
"Itu Bokap gue," ujar Gibran, membuyarkan fokus Bara.
"Ah.." seru Bara mengangguk, sebenarnya dia juga tahu, dan siapapun yang melihat gambar tersebut, pasti juga langsung tahu. "..ya, dia mirip dengan Emil. Tapi.. kenapa nggak ada foto terbaru bersama?" ujarnya memberanikan diri bertanya.
Cowok itu ingin memastikan benar-tidaknya orang tua mereka, sudah lama berpisah seperti yang ditulis Emilia dalam buku hariannya.
"Kami udah pisah dengan Bokap, sekarang beliau ada di Singapura dengan istrinya," jelas Gibran tanpa rasa kesal, dia malah tersenyum sambil menjawabnya.
"Oh.." ucap Bara, sedikit tidak enak, karena penjelasan itu tidak ditulis Emilia, atau mungkin tidak terbaca. "Sori ya Bang, bukan maksud.."
"Nggak apa-apa, santai aja," sahut Gibran segera, "Ngomong-ngomong, lo kelas IPA berapa?"
"IPA-1." sahut Bara santai dengan tersenyum, matanya kembali melirik foto Emilia.
Gibran menaikkan alis matanya mendengar itu, "Lo di kelas unggul?"
"Siapa yang di kelas unggul?" timpal seseorang yang muncul dari balik pintu rumah-wanita yang ada di bingkai foto yang baru saja dilihat Bara, seraya melepas sepatu yang ia kenakan.
"Mama!" seru Gibran kaget.
"Assalamualaikum," ucapnya telat, kemudian tersenyum menatap ke tiga anak lelaki yang ada di ruang tengah tersebut.
"Waalaikumsalam," jawab Gibran dengan senyum.
Mata Mama beralih memperhatikan Bara. Seragam yang Bara kenakan sangat dia kenal. Kedua alis matanya terangkat, "Teman Emilia?"
0o-dw-o0
Emilia sudah seperti setrikaan sekarang di dalam kamar sambil menggigit jempol dan telunjuk kanannya, dia sudah berganti pakaian, piyama kesukaannya-atasan piyama berlengan panjang berwarna peach bermotif tutul putih, bergambar kepala kucing berwarna putih di bagian dadanya, dan dengan celana panjang hingga menutupi mata kaki-selalu menjadi pilihan.
Emilia sedang waspada tanpa menyadari ada hikmah dibalik Gibran membawa Bara ke rumah mereka.
"Kayak langit mau runtuh, ngebayangin rahasia gue disebar sama dia di sekolah," gumam Emilia, lalu menggeleng dengan mata dipejam. Emilia sangat khawatir jika itu benar-benar terjadi. "Gimana caranya ya, biar dia mau nyimpan rahasia gue? Biar dia nggak ngebales gue dengan hal yang sama?" sambungnya resah, kembali melangkah seperti setrikaan. "Gimana caranya ya.."
"..oh!" ujar Emilia mendapat ide, menjentikkan jari tengah dengan jempolnya sambil berhenti melangkah, wajahnya gembira. "Gue bilang aja-gue nggak akan gunain hak taruhan itu lagi, dia kan belum tahu kalau gue mau berhenti jadiin dia budak selama satu semester, ya walaupun itu Bella yang nyuruh.
Hehehe.. ada untungnya juga Bella maksa gue hentiin dia jadi budak gue. Ya, gue harus bilang itu ke dia sekarang." tegasnya, seraya menggenggam tangan kanannya dengan telunjuk ke atas.
Tanpa lama-lama, Emilia segera keluar dari kamarnya. Tapi sebelum kakinya menyentuh anak tangga kedua, terdengar suara Gibran sedang memuji.
"Wah, kamu beruntung banget jadi cowok ya, tampang oke, Kapten Basket, cerdas pula. Kalau gue jadi Mili, gue pasti udah naksir sama lo."
Apa? Naksir? Sama dia? Hueeek! Jawab Emilia mendengarnya.
Tapi Bara malah bergidik mendengar itu dari mulut Kakak kandung Emilia sendiri. Yang ada, adik ceweknya itu tergolong salah satu dari cewek yang tidak suka padanya. Sebut saja Venny, mantan pacarnya itu, tak pernah lagi menatap wajahnya sejak dia memutuskannya. Venny sudah seperti orang yang tak pernah mengenal Bara jika mereka berpapasan di sekolah.
Mengingat hal itu, Bara mendengus tertawa.
"Bodoh banget, kalau adik gue nggak naksir sama lo," sambung Gibran tersenyum, lalu kembali lagi berkutik ke buku catatan kuliahnya, mencari kertas penting di halaman catatan yang ia perlukan untuk ujian besok.
"Gimana bisa naksir, orangnya lagi kesal banget sama dia." Timpal Rado, cowok itu sudah mengambil tempat duduk dengan kaki mengangkang di sofa, kedua tangannya juga sudah-sedang membuka buku.
"Awal naksir kan dari rasa kesal, bro!" sahut Gibran dengan wajah tertawa.
Bara merasa lucu mendengarnya dan beranggapan Gibran sedang mengujinya jika dipuji. Sekarang dia bergerak duduk di sebelah Rado.
"Apa sih, naksir-naksir?" ujar Emilia muncul, membuat mereka serentak menatapnya.
You are reading the story above: TeenFic.Net