Sorry for any typos ;))
Harry POV.
Lampu sorot dimatikan. Hanya suara teriakan dari beberapa orang yang masih terdengar di dalam stadion ini. Setelah aku menuruni tangga terakhirku,mataku langsung mencarinya namun,tetap tidak ada tanda-tanda darinya ditambah suasana di belakang panggung yang memang selalu ramai.
Aku menanyakan kepada Lou yang sekarang sedang bermain dengan Lux, buah hati kecilnya.
"Hei, Lou. Apakah kau melihat Ashlyn? Aku belum melihatnya sedari tadi."
"Tidak, aku juga belum melihatnya. Lebih baik kau tanyakan kepada Ele, okay?" Jawabnya. Aku sangat lega saat melihat Ele dan louis sedang berbincang-bincang di sebuah sofa besar.
"Ele, apa kau melihat Ashlyn?" Tanyaku kepadanya yang sedang memberi minum kepada Louis.
"Dia berada di hotel. Ashlyn bilang, ia hanya ingin tidur dikasurnya itu." Ele tertawa sedikit.
"Tunggu, apa?"
Ia hanya menatapku keheranan
"Kau meninggalkannya sendiri?"
"Dia bilang, 'Aku tidak mau meninggalkan kasur ini.' Get it?" Ia memutarkan kedua bola matanya.
Aku beristirahat sebentar sebelum beranjak ke hotel. Beruntung kali ini Directioners belum keluar dari stadium sehingga dengan leluasa aku bisa sampai di mobil dengan cepat. Aku langsung menancapkan gas dan pergi dari sini. Pikiranku tidak bisa lepas dari Ashlyn.
Jika ia sakit, mengapa ia tidak bilang kepadaku?
Sedang apa dia disana?
Bagaimana jika ada lelaki lain di kamar nya?
Apakah ia bisa melawan nya?
Bagaimana jika ia sedang mabuk?
Bagaimana jika ia meminum bir lagi?
Aku menambah kecepatan mobilku. Sial. Kenapa sekarang aku sangat peduli kepadanya padahal aku hanya baru mengenal nya seminggu yang lalu? Apakah aku sudah mencintai nya? Tidak. Aku tidak mau kejadian itu berulang lagi.
Aku tidak ingin kejadian itu berulang kepada orang yang sudah kucintai lalu pergi meninggalkanku. Tapi, mengapa setiap aku bertemu dengan matanya perasaan itu selalu muncul pada diriku?
Aku membuang pikiran itu jauh-jauh setelah menyadari bahwa aku sudah berada di lobby hotel dengan segera aku memasuki lift dan berharap tidak ada kejadian aneh lainya.
Ashlyn POV.
Aku terbangun dari tidurku. Sebelumnya Ele mengajaku untuk melihat konser The Boys, tapi aku menolaknya. Entahlah mengapa kepalaku sedari tadi pusing.
Mataku memindai kamar, ternyata semua orang pergi ke konser. Hanya aku yang tersisa di dalam kamar ini.
Aku merenggangkan badan ku lalu beranjak bangun dari kasur untuk menuju ke kamar mandi karena tiba-tiba saja perut ku mual. Aku berlari ke arah kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutku di dalam kloset.
Suara pintu kamarku terbuka. Sepertinya aku sangat ceroboh karena tidak mengunci nya terlebih dahulu. Mungkin Ele sudah pulang dari konser.
"Ashlyn?"
Sial, suara itu! Suara Harry. Mengapa ia bisa berada disini? Aku ingin memberi tahunya jika aku sedang didalam toilet. Tapi entahlah, badanku sepertinya tidak bisa diajak berkompromi. Malah aku terus memuntahkan lagi isi perutku yang sangat menjijikan ini.
"Ashlyn?"
Ia membuka gagang pintu kamar mandi. Matanya terbelak saat melihatku sedang memegang perut dan memuntahkankan makananku.
"Ashlyn, ada apa dengan mu?" Ia berjalan kearahku tapi aku menyuruhnya untuk tetap diam disitu. Aku tidak ingin ia melihat cairan yang menjijikan ini.
"Harry, jangan mendekat." Ia mengacuhkan perkataanku dan kembali berjalan kearahku.
Harry bodoh!
"Sudah kubilang kau tunggu diluar saja, Harry." Ocehku. Tapi tetap saja ia tidak mendengarkanku. Aku hanya menghela nafas karena aku sedang tidak ingin bertengkar dengan anak satu ini.
Saat kulihat ke arah belakang, ia sudah berdiri tepat di belakangku lalu ia berlutut menyeimbangi tinggi badan ku.
"Kau sakit? Kenapa tidak bilang kepadaku?"
Aku hanya menggelengkan kepalaku. Kulihat ia hanya tertawa kecil melihat jawabanku lalu tangannya mengelus-ngelus punggungku untuk menenangkanku.
"Merasa lebih baik?" Tanyanya dengan lembut. Aku menggangukan kepalaku. Ia berdiri dari hadapanku lalu mengulurkan tangan nya kepadaku untuk membantuku bangun.
Aku meraih tanganya lalu berdiri di hadapanya. Kesekian kalinya matanya bertemu dengan mataku. Dan aku bisa mendengar degupan jantung ku dan jantungnya bersahut-sahutan.
Tidak ada kata dari mulut kita masing-masing. Aku berdeham sedikit untuk menghilangkan situasi canggung seperti ini. Kulihat Harry yang baru sadar dari dalam pikiranya itu lalu tersenyum malu kepadaku. Mengapa bisa seperti ini?
Aku melepaskan gengaman tanganku dari Harry dan berjalan duluan. Sepertinya badanku masih lemas dan kepalaku masih pusing. Aku benci keadaan ini.
Tiba-tiba saja kaki ku tersandung karpet kamar mandi. Aku merasakan tangan seseorang memegang lenganku untuk membantuku.
Aku mengangkat kepalaku naik untuk melihat siapa yang membantuku. Siapa lagi kalau bukan Harry Styles. Jelas-jelas hanya ia dan aku yang berada di kamar mandi ini.
Aku berdiri dengan satu lenganku melingkar di belakang leher Harry. Ia semakin mempererat lengannya di pinggul ku saat ia membaringkanku di kasur.
"Terima kasih, Harry." Ucapku kepadanya hampir terdengar seperti bisikan. Ia hanya memberiku senyuman yang sangat manis sehingga kedua lesung pipinya terlihat. Ya Tuhan, mengapa kau ciptakan manusia seperti ini dihadapanku? Itu membuatku semakin sakit karena aku hanyalah seorang malaikat dan tidak mungkin aku bisa selamanya di Bumi.
Hanya dengan memikirkan hal seperti itu, senyum yang sedari tadi terukir di bibirku pun hilang. Harry yang sedari tadi disampingku melihat perbedaan ekspresi mukaku menjadi cemas.
"Hei, kau butuh minum?"
"Boleh. Tenggorokanku sepertinya menjadi kering."
Ia pergi meninggalkanku menuju ruangan TV. Setelah kembali, aku melihat ia berjalan kembali memasuki kamar dan telah memegang botol minum untukku. Aku membenarkan posisi badanku menjadi duduk.
"Sini." Ia mengajukan botol minum yang sudah dibuka tutup nya kepadaku.
"Sepertinya hari ini kau harus ke dokter." Aku tersedak air minum yang sedang kuminum saat ini. Apakah ia gila? Aku ini malaikat, tidak mungkin aku akan ke rumah sakit. Aku tidak butuh obat atau semacamnya.
"Tidak."
"Harus, Ashlyn."
"Tetapi Har--"
Ia menyipitkan matanya kepadaku lalu tertawa dengan kencang. "Jangan bilang kau takut dengan suntikan?" Pertanyaanya membuatku membulatkan kedua mataku. "Ayolah Harry, menurutmu aku takut dengan alat-alat seperti itu? Tidak." Jawabku sambil memutarkan kedua bola mataku lalu menghempaskan badanku ke kasur.
"Okay. Jika kau tidak mau pergi ke rumah sakit? aku akan telfon dokter ke sini. Setidaknya, ia memeriksa keadaan mu." Ucapnya lagi. Ya Tuhan! Anak ini keras kepala sekali.
"Terimakasih, Harry. Tapi aku tidak apa-apa." Jawabku dengan lembut untuk meyakinkan Harry bila aku tidak membutuhkan hal-hal seperti itu.
Ia menghela nafas lalu kepalanya tertunduk kebawah. Ha! Sepertinya ia sudah mengalah denganku kali ini.
"Lalu, apa yang kau inginkan?" Ucapnya dengan nada yang pasrah tanpa melihat kearahku kali ini, melainkan ke arah lantai.
Aku tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalaku saat melihat perubahan sikap Harry seperti ini.
"Tidur." Ucapku.
Setelah mendengarkan perkataanku, Harry langsung menaikan kepalanya menjadi kearahku dan muncul sesuatu yang selalu aku ingin melihatnya setiap detik.
Dia tersenyum.
Ia beranjak dari bangku yang berada di sebelah kananku sedari tadi lalu menuju ke samping kiri yang hanya terdapat banyak tumpukan bantal.
Ia menjatuhkan bantalnya dengan asal, lalu ia langsung berbaring di sampingku. Ia menarik pinggulku agar mendekat kearahnya lalu ia mengambil selimut yang tadinya sudah jatuh dilantai bersama bantal-bantal yang ia lemparkan.
"Ini kan, yang kau inginkan?" Tanyanya sambil tersenyum licik.
Aku memukul lenganya lalu tertawa. Harry pun ikut tertawa bersamaku. Iamenarik pinggulku semakin erat agar membawaku ke dada bidangnya.
Tiba-tiba saja mataku merasa berat, sepertinya aku sudah mulai mengantuk. Aku memejamkan kedua mataku. Tidak ada salah satu pun yang membuka pembicaraan. Yang kudengar hanyalah detakan jantung Harry dan nafas berat Harry yang terasa di ujung kepalaku.
Kurasakan tarikan nafas dari dada Harry. Sepertinya ia ingin berbicara tapi nyatanya ia kembali menutup mulutnya lagi. Aku memutuskan untuk kembali tertidur.
"Aku..."
Mataku terbuka lebar kembali. Apakah itu Harry?
"Apa kau mengatakan sesuatu?" Suaraku parau dan serak Entahlah, rasanya aku tidak kuat menahan kantuk ku saat ini.
"Tidak."
Selanjutnya aku merasakan, ia mengecup puncak kepalaku.
Ibu, sepertinya aku mulai menyukai Bumi.
You are reading the story above: TeenFic.Net