Derit suara brankar yang beradu dengan lantai rumah sakit yang berbau obat memecah suasana hening rumah sakit malam ini. Ranu dengan penuh khawatir terus memegang tangan Rendra yang telah terkulai lemas, matanya memejam erat setelah suara rintihan terakhirnya sampai dimuka pintu rumah sakit. Sedangkan Fahry sudah berderai air mata. Langkah Fahry turut berusaha menyamai langkah roda brankar yang tergesa-gesa berjalan ke ruang UGD. Rasa bersalah yang masih terasa mencekam hatinya membuat tungkainya melemas sebelum brankar itu memasuki ruangan UGD didalam sana. Ranu dengan berkaca-kaca harus rela melepas tautan diantara kedua tangannya dengan Rendra. Lalu terduduk begitu saja di kursi tunggu.
"Maafin gue mas, ini salah gue. Gue harusnya sadar kalau Rendra lagi nggak baik-baik aja"
"Mas juga salah, harusnya Mas nggak perlu maksain ikut ngurus cabang ke surabaya sama Danis. Mas Ranu harusnya ngerti kalau kondisi Rendra lagi sensitif. Tapi mas yakin Ry, kalau Rendra itu kuat seperti biasanya. D-dia, dia pasti baik-baik aja"
Getar suara yang Fahry dengar dari mulut kakaknya membuatnya cukup mengerti jika kakaknya hanya melontarkan kalimat penenang untuknya seperti biasanya. Ia tau kekhawatirannya sama dengannya, ia tau mungkin kakaknya itu sedang menyembunyikan kekalutannya. Ranu yang bertanggungjawab, jadi Ranu pasti diam-diam akan menyalahkan dirinya kembali. Namun, Fahry sedang tak bisa membalas kalimat penenang Ranu barusan, karena otaknya hanya tertuju pada seseorang yang telah kehilangan kesadaran beberapa saat lalu.
"Fahry, akhir-akhir ini Mas Ranu mikirin sesuatu. Kamu benar kalau semuanya udah berbeda, bunda udah punya hidupnya, kita udah bukan prioritas ayah lagi, dan ternyata peran mas Ranu aja nggak cukup buat adik-adiknya mas"
"Jangan berpikiran kaya gitu mas, daripada ayah sama bunda, buat gue lo lebih dari kata cukup. Apa yang buat lo kepikiran kaya gitu?"
"Selama ini mas egois, selama ini Mas selalu berpikir kalau dengan kasih sayang yang mas kasih kalian akan merasa cukup. Mas selalu berharap kalau kalian nggak akan kekurangan kasih sayang. Mas cuma nggak mau kalian ngerasain sakitnya ditinggalkan. Tapi, mau sebanyak apapun mas berusaha ngasih kasih sayang itu, kalian tetap butuh peran ayah dan bunda. Dan itu yang buat akhir-akhir ini Mas Ranu sadari, kalau Mas Ranu nggak bisa gantiin peran itu"
"Kita bertiga udah ngerasain sakitnya ditinggalin mas. Jadi, mas Ranu jangan merasa bersalah. Gue tau lo udah berusaha. Kita semua emang kehilangan kasih sayang orangtua, tapi gue sebagai adik lo, gue juga nggak mau kehilangan kasih sayang saudara. Kita cuma punya satu sama lain."
Sebelum kalimatnya ia lanjutkan, Fahry menyandarkan tubuhnya di dinding rumah sakit, "dan karena gue tau rasa sakit kehilangan itu gimana, gue nggak mau kehilangan Rendra"
Ranu lalu berdiri, menepuk bahu lebar Fahry, netranya beradu dengan Mata Fahry yang berkaca-kaca "kita punya satu sama lain, jadi kita harus saling bantu"
Setelah kalimat itu usai, suara pintu terbuka membuat keduanya bergegas menghampiri dokter berkacamata yang sudah tak asing bagi mereka. Ranu langsung menghujani pamannya itu dengan berbagai kalimat. Namun lawan bicaranya hanya menghela nafas.
"Saya sudah menjelaskan dari awal kalau Rendra harus menjaga kondisinya. Kanker adalah penyakit yang nggak bisa ditebak. Apalagi kondisi terakhir pemeriksaan Rendra yang kurang baik menjadi penyebab dropnya Rendra. stress dan kekurangan nutrisi juga bisa menjadi faktor dropnya kondisi pasien. Setelah pasien di pindahkan ke kamar rawat, baru kalian bisa menjenguk" Dimas bisa melihat raut lelah dari kedua sorot mata didepannya. Setelah bunyi pintu UGD di tutup oleh perawat, Dimas memajukan langkahnya lebih dekat.
"Semuanya baik-baik aja Ran, kamu temui Rendra dulu. Setelah itu, temui Om diruangan selaku dokternya Rendra"
---
Malam ini suasana begitu tenang. Yang Ranu dengar hanya suara gemericik hujan sesekali di iringi petir yang bergemuruh. Tangannya masih bertaut menggenggam tangan Rendra yang tak tertancap infus, sedangkan tangan satunya ia buat untuk mengusap surai rambut Rendra. Perasaannya masih sesak, dan tak ada raut kelegaan sedikitpun ketika memandang wajah itu masih terpejam erat. Andai ia tak meninggalkan Rendra, ia pasti masih baik-baik saja.
Wajah sendunya masih berharap mata itu terbuka. Namun ia paham mungkin saja Rendra kelelahan, mungkin saja Tuhan membuat Rendra tertidur untuk sejenak melupakan luka-luka yang ia terima. Ia bahkan masih mengingat jejak peristiwa beberapa jam yang lalu ketika ia baru menginjakkan kakinya dirumah.
"Rendraaa..." Ranu berlari menuju arah Rendra yang sudah tergelak di lantai yang dingin. Hidungnya berdarah, bahkan ia bisa merasakan jejak hawa panas ketika kulitnya menyentuh pipi itu.
"Bisa dengar Mas Ranu? Jangan bikin Mas takut Ren?"
kekuatannya serasa di renggut, biasanya ia akan dengan mudah mengangkat tubuh yang lebih kecil darinya itu. Namun malam ini ia tak bisa, seolah-olah seluruh kepanikannya membuatnya lemah. Tak ada pilihan lagi selain ia berteriak memanggil adik pertamanya yang kemudian tergesa-gesa menuruni tangga.
"Fahry, tolong siapin mobil"
Disela-sela perjalanannya menuju rumah sakit, Rendra terbangun lalu berkali-kali merintih sambil terpejam. Ranu memegang stir bundarnya dengan tangan bergetar, bahkan ia tak peduli terhadap suara klakson kendaraan yang seolah olah memperingatinya.
Dalam sisi Fahry yang sama kalutnya terus merengkuh tubuh yang hampir sama dengannya itu. Ia berkali-kali membisikkan kalimat kekuatan yang sebenarnya ia sendiri tak pernah tau rasanya sesakit apa. "Maafin Abang, tolong jangan tutup mata lo Ren". Ia usap surai itu yang tak berhenti berkeringat dingin, sungguh Fahry benci situasi seperti ini, Fahry benci perjalanan seperti ini, bahkan sekarang pikirannya mulai menerka-nerka bayangan buruk yang akan terjadi.
Setelah mobil itu berhenti, Ranu segera berlari memanggil perawat dan membiarkan tubuh adiknya di ambil alih dari rengkuhan Fahry. Ketika brankar itu di dorong, Ranu masih bisa mendengar dengan lirih suaran rintihan adiknya. Dengan cekatan ia memegang tanganya, menyalurkan segenap kekuatan atau mungkin sebuah tanda bahwa Rendra tak sendirian. Namun ketika sampai dipintu UDG Ranu tak bisa lagi mendengar suara lirih Rendra. Ia bertambah panik ketika Rendra akhirnya terkulai lemas karena tak kuat menahan semua kesakitannya.
Ranubayu menegakkan tubuhnya sejenak ketika menyadari adiknya yang satu tertidur di sofa kamar inap Rendra. Tangannya bergerak mengangkat pelan kepala Fahry kemdian menyelipkan bantal, lalu merebahkan selimut untuk memberikan kehangatan kepada Fahry. Ia mengusap surai Fahry dengan perlahan lalu kembali melangkah ke sisi brankar Rendra. Ia sengaja mematikan lampu utama kamar VIP yang Rendra tempati, ia tau kedua adiknya sama dengannya tidak bisa tidur dengan lampu yang menyala. Entah dari kapan Ranu hanyut dengan suasana temaram malam itu, detik demi detik berlalu sampai ia tak sadar jika hujan diluaran sana hanya tersisa jejak-jejak basah dan gemuruh petir. Ranu tertidur begitu saja.
---
Pagi ini setelah jam tugas jaganya selesai, Dimas menyampirkan jas snelli nya di lengannya sambil menenteng beberapa paperbag. Ia membuka kamar Rawat inap Rendra dengan pelan. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, namun ketiga keponakannya itu masih larut dengan mimpinya masing-masing. Dimas membenarkan letak infus Rendra terlebih dahulu sebelum mengguncang dengan pelan seseorang yang tertidur tak nyaman di sebelahnya.
"Bangun dulu, Om bawa sarapan. Bangunkan Fahry" Ranu terbangun dengan badan tak nyaman. Ia kemudian merenggangkan tubuhnya sebelum mematuhi perintah Dimas.
"Rendra udah baik-baik aja, cuma dia perlu tidur yang lebih lama untuk mengistirahatkan tubuhnya. Demamnya juga udah mulai turun" Dimas inisiatif mengatakannya ketika ia menyadari wajah Fahry dan Ranu masih meninggalkan jejak kekhawatiran.
Setelahnya Dimas beranjak mendekati Fahry yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, ia menata beberapa makanan yang sudah dibelinya di atas meja. "udah hubungin Mas Wira?"
"Dia bukan orang yang punya peran penting dari awal Om"
"Om tau ayah kalian pasti membuat kalian kecewa, tapi dalam kondisi seperti ini kalian pasti kesulitan kan? Saya tau kalian sudah dewasa, tapi wali Rendra di rumah sakit ini masih Wiratama. Segala persetujuan tindakan yang akan dilakukan kepada Narendra, masih harus dengan tanda tangan dan persetujuan Mas Wira."
"Kalau kondisinya mendesak, Ranu bisa wakilin kan Om? Nggak mungkin rumah sakit membiarkan pasien tidak tertangani karena menunggu tanda tangan dari wali nya yang pergi jauh"
Dimas masih tersenyum dengan sabar ketika kalimat kontra dari putra kakaknya itu terdengar. Ia malah masih meletakkan ayam goreng ke piring keduanya.
"Om memang nggak pernah tau seberapa terlukanya kalian. Om tapi tau, jauh di lubuk hati kalian, masih butuh orangtua kan? Kalian mungkin sudah tumbuh dewasa, tapi namanya seorang anak sedewasa apapun itu pasti masih butuh peran orangtua"
"Kenapa Om selalu begini? Kenapa selalu ikut campur?"
Dimas masih tersenyum, "masih pagi, saya nggak mau ribut. Makan dulu sarapannya, kalian nggak boleh sakit"
Menit demi menit Dimas lalui dengan memperhatikan kedua saudra itu yang makan dengan tidak nafsu. Dimas hanya ingin menjaga mereka, Dimas hanya ingin memastikan mereka baik-baik saja, Dan Dimas tidak ingin mereka semakin jauh kehilangan peran orangtua. Ia tau semua yang di lalui putra-putra kakaknya itu tidak mudah. Bahkan, jika mau Dimas akan sangat suka jika mereka menganggap dirinya sebagai ayahnya. Namun, Dimas terlalu sungkan untuk menawarkan posisi itu secara terang-terangan mengingat Wiratama masih hidup dengan sehat dan baik.
"Kalau udah beresin sampai bersih ya, Om mau pulang habis jaga malam" setelahnya ia berjalan keluar ruangan inap itu.
"Setiap anak memang butuh orangtua Om, tapi kondisi tiap anak berbeda. Ada orangtua yang bertanggung jawab ada yang tidak. Jadi ada pula anak yang lebih memilih tumbuh sendirian daripada tumbuh dengan orangtua yang tidak bisa memberikan perannya" tambah Ranu
Dimas lagi-lagi tersenyum hangat sebelum benar-benar pergi
"Siang nanti, Om akan kirim makan siang lagi."
-
-
-
Bersambung
You are reading the story above: TeenFic.Net