Bab 2 - Kasus yang Lebih dari Kasus

Background color
Font
Font size
Line height

Pria itu menghela napas panjang saat melihat kami sedang menatapnya. Dia duduk di depan meja sambil membawa beberapa foto target yang akan kami selidiki. Gue menyambar tumpukan kertas di atas meja.

Hal ini bukan tindakan illegal dan juga bukan legal, akan tetapi gue juga berkekuatan hukum. Gue buat surat perjanjian alias biar sama-sama amannya dari UU ITE.

Syarat pertama, dia harus posting di media sosial tentang barber gue dengan hastag #DipoSangBarberMagic.

Setelah itu nota yang dia punya uda cukup, 5 kali potong di barber gue. Hal itu buat memvalidasi dia memang bakal menjadi pelanggan setia. Dia punya member card BMTL. Informasi pribadinya akan aman di tangan kami.

"Jadi Abang Rudi seorang guru?" tanya gue.

"Targetnya juga teman sesama guru?" sahut Din. Bang Rudi mengangguk.

"Iya benar. Maaf saya baru pertama kali melakukan hal ini. Saya benar-benar frustasi dengan diri saya. Saya sudah mengagumi dia sejak pelatihan. Akan tetapi saya tidak cukup baik dan berani. Jadi saya memilih untuk memakai jasa ini hanya untuk tahu, apakah dia sudah punya calon apa tidak. Jika belum, saya berniat memintanya untuk taaruf, jika sudah... saya akan menyerah," jawab Bang Rudi.

Gue mengangguk melihat Bang Rudi. Sudah sering gue lihat kasus macam ini, akan tetapi gue juga nggak bisa kasih garansi kalau mereka bakal bisa bersama. Gue dan crew cuma bisa mencari informasi dengan cara yang legal. Kami anti yang namanya kepo di media sosial yang lebih banyak flexingnya. Kami memvalidasi lewat dunia nyata yang lebih aman dengan trik kami tentunya.

"Baik, kami akan membantu Abang, tapi berikut RAB-nya, dan ketentuan kerja samanya."

Din menyodorkan kliping proposal. Setelah Bang Rudi membaca deretan huruf dan angka, dahinya berkerut. Raut wajahnya tampak berpikir. Taksir gue, sepertinya dia orangnya nggak mungkin menawar harga kami yang selangit. Akhirnya dia membubuhkan tanda tangan. Gue tersenyum cukup lebar karena prosesnya cepet banget. Eno memotret kami bersama surat perjanjian itu.

"Tenang Bang, Kami akan melakukan yang terbaik," ucap gue sambil angkat jempol kayak iklan teve Acil-acil di perahu.

Bang Rudi mengangguk tipis, "Terima kasih, semoga saya diberi jalan lewat proses ini."

"Kami bakal hubungi abang secepatnya untuk progress selanjutnya," jawab gue.

"Oh iya Bang, jangan lupa untuk upload hasil cukuran abang dan tag Instegrem kami ya!" seru Din.

"Abang hati-hati di jalan, semoga jodoh dekat!" kata kami bersamaan dengan senyuman tiga jari.

Bang Rudi mengangguk dan tersenyum tipis, tubuh kurusnya sudah hilang di balik pintu.

Itulah yang kami lakukan di depan klien kami. Keadaan yang sebenarnya adalah.

Anjing! Kampret! Jangkrik! Cicak-cicak di dinding!

Gue dan Din duduk selonjor mendapati tumpukan kertas di atas meja. Beneran bisa gila gue lihat profil target! Sementara Roy di sini yang paling keliatan tenang. Entah itu anak emang masih loading atau dia bener-bener bodoh amat.

"Bang Dip, kayaknya gue bakal mundur dalam misi ini," ucap Din semanis dan sekalem mungkin. Gue menggeleng cepat.

"Nggak! Lo itu apalagi, bakalan paling dibutuhin dalam misi ini!" ultimatum gue sambil lihat Din. Din meluk lengan gue terus ngomong, "Ayolah Bang Dip yang cakep banget nggak ada obat! Gue beneran nggak cocok dalam misi ini."

"Lo... ikut atau mau balik ke rumah mama?" ancam gue. Din mebanting lengan gue keras, sialan!

Eno mendekat dengan wajah baby facenya. Dia kasih liat tabel di layar handphone.

"Eno ada les buat sbm Bang, hari sabtu-Minggu," sahut Eno. Gue mengangguk mafhum, gue elus-elus kepalanya, lalu plak!

"Nggak usah banyak alesan juga kampret! Kelas itu buat bulan depan. Lo kalau bohong pinter dikit."

Eno cuma bisa nyengir dan mengangguk pelan. Gue melihat Roy yang lagi ngompres bengkaknya, "Lo nggak kayak mereka kan?"

Roy menggeleng, "Gue kenal orang yang bisa tahu info pendaftaran pesantren di daerah situ."

****

"Mas Roy! Masya Allah tambah ganteng!" ujar seorang memakai kopiah berwarna hitam. Dia memeluk Roy kayak sudah lama kenal. Terus orang itu liat gue. Tubuhnya condong kayak mau meluk gue juga, sontak gue langsung mundur.

"Awal bulan depan ada pesantren kilat Mas, kebetulan bisa daftar di saya juga. Lagi rame itu pas sya'ban, soale."

"Biaya pendaftarannya berapa Mas?"

"Sampeyan mau daftar? Kalau sebulan sekitar 600ribuan sudah termasuk semuanya."

Sebulan? Gue nyengir membayangkan otak dan diri gue nggak mungkin bisa bertahan sejauh itu.

"Kalau nggak sampai sebulan?" tanya gue.

"Cuma dikurangi biaya administrasi saja Mas Ganteng," jawab Mas Kopiah Hitam.

"Oke, kita ambil yang kurang dari sebulan," ucap gue tanpa pikir panjang.

****

Gue ambil kaca di kantong celana jogger sebelah kiri. Wajah tampan gue terpampang dalam bulatan kecil itu. Meski comma hair gue tertutup kopiah warna hitam, aura alami gue makin keliatan. Disusul Roy tepat di samping gue. Gue akui, kali ini dia keliatan kayak bukan Roy yang gue kenal. Apalagi pas dia menyugar rambut buzz cut keliatan suamiable kalau kata kaum yang selalu ke kanan. Dia mengapit tas buluknya yang sudah nggak tahu berapa lama belum dicuci.

"Bang tunggu!"

Gue menoleh ke arah suara. Mata gue hampir copot lihat si Bungsu—Eno membawa tas ransel gede kayak pindahan. Nggak lupa panci yang tergantung di samping tasnya.

"Lo mau kemping? panci buat apaan?"

Eno berusaha mengatur napasnya.

"Eno harus prepare banyak hal Bang. Eno nggak biasa kalau pakai barengan sama orang," ujar dia yang whatever-lah, ribet amat.

"Ayok berangkat!" kata gue lalu narik dua tangan mereka.

"Dimana Din?" tanya Roy. Gue menoleh ke segala arah.

Hampir setengah jam gue telponin Din di reject terus. Pikiran gue sudah kemana-mana. Kayaknya dia anggap gue remeh. Awas aja sampe dia kabur!

"Bang ayok berangkat!" suara Din menginterupsi gue.

Kali ini bibir gue bener-bener melongo liat tampilan Din, kami bertiga lebih tepatnya. Gue ngucek mata berkali-kali. Itu beneran Din?

"Lo mirip ibu-ibu Din!" ujar gue.

Wajah sumringah Din meredup, dia langsung nabok gue pake tasnya. Sialan, gue kan cuma jujur. Salah ya hei kaum?

***

Setelah kurang lebih satu jam menempuh perjalanan akhirnya gue dan crew BMTL sampai di depan bangunan yang bercat putih. Gerbangnya gede banget, bertuliskan "Pesantren Ma'had Syarif Ilham"

Sumpah bulu kuduk gue berdiri, kayak gue bener-bener bakal kena ruqyah di sini. Akan tetapi bukan Dipo Segara kalau nggak bisa mengalahkan ketakutan diri. Gue berjalan seolah-olah udah kenal baik sama tanah-tanah di sini. Namun gue merasakan sesuatu yang berbeda dari tanah ini, lebih empuk. Tapi feeling gue nggak enak, lantas gue melihat ke sandal eigor kesayangan.

"Anjing! Kucing sialan!" pekik gue efek sandal gue kena tai. Tanpa gue sadar Roy udah narik-narik tangan gue yang maki-maki kucing oren sialan. Pas gue nyadar, semua tatapan ke arah gue. Salah satu pria berkopyah putih, mengambil kucing itu. Dia mengelus-ngelus kucing yang gue umpat dengan lembut.

"Tad, harusnya kucing itu di kandang, karena merugikan orang banyak!" ucap gue saking keselnya.

Ustad itu tersenyum lalu berkata, "Maafin kucing saya ya," matanya seolah memindai gue dari atas sampe bawah, "Mas Santri."

Dari arah belakang ada Mas Kopiah Hitam--Mas Syamsul yang dulu daftarin gue sama crew. Dia menunduk lalu mencium tangan Ustad pemilik kucing itu. Dia mengkode kami untuk mendekat.

"Dia Buya Ilham, pengasuh pesantren ini."

Seketika gue tegang kesemutan, kegajahan. Matilah gue!

**** 

Yowislah yow dijalani dulu kali aja jadi tambah ganteng.

Ternyata ini agak melenceng dari sinopsis awal.

Bismilllah prok prok jadi avaahh

wkwkw


You are reading the story above: TeenFic.Net