Ash

Background color
Font
Font size
Line height

Kau ingat soal boulvard di ujung kota?

Wonwoo mendengar Mingyu melalui mode speaker. Dia menimbang, soal boulvard, mendengarnya seolah seperti pembukaan ritual leluhur. Khusyuk.

"Memangnya ada apa? Kapan itu?"

Wonwoo berpura-pura, dia menjauh dari meja, mengatur ranjangnya agar terlihat segar. Sebelum mulai mengetik lagi.

Boulvard? Yang bundar itu, banyak rerumputan.

Beethoven terputar, memori keduanya rusak. Tentu saja.

"Bisa diganti?"

Beethoven tidak buruk kok.

Yang benar saja, bagi Wonwoo itu sebaliknya, atau memang dalam perjalanan singkat soal kebutuhan pasar-pasar mereka; tak pernah ada kata puas di dalamnya. Mingyu mengerti, padahal butuh dua menit lagi untuk terbiasa mendengar Fur Elise dari seberang sana.

Aku coba kirimkan sketsa yang kubuat beberapa waktu lalu.

Wonwoo mendekat lagi ke arah meja, menemukan satu pesan, dengan senyuman itu, Mingyu menyukainya.

Mode Video?

Alis Wonwoo naik, bermaksud menggoda Mingyu yang tak memakai apapun kecuali selimut sebatas dada, dengan rambut berantakan itu, suaranya serak, mungkin latihan vokal seharian merenggut kesadaran pria itu.

"Jadi, kau meminta saranku?"

Dia melihat Mingyu menggeleng.

"Nilai?"

Mingyu mengangguk tanpa mengatakan apapun semenjak mereka saling menunjukkan wajah satu sama lain.

"Siapa dia?"

Maksudnya? Perempuan itu?

"Ya."

Aku tidak tahu, rasanya pernah bertemu.

Wonwoo mengernyit, mengembalikan foto itu, memperbesar sedikit demi sedikit.

"Dia pandai menari, juga aku tidak akan ragu menilai dengan senyuman ini."

Itu tidak adil. Aku selalu memuji lukisanmu.

"Aku tidak pernah menilai karya orang lain. Itu kan memang tidak adil."

Bagaimana dengan.. kencan?

Wonwoo memikirkan jawaban. Telah bertahun-tahun dia mengenal pria ini. Namun, dia terlalu banyak memiliki luka. Dia seperti perempuan di sketsa monokrom itu. Bisa disebut, he meant the world for him.

"Daripada disebut kencan, kita lari pagi bagaimana?"

Sepeda? I'm begging.

"Then?"

Tentu Mingyu mengerti Wonwoo menghindarinya. Maksudnya adalah soal percakapan penting ini. Baginya, penting. Hari ini akan dia tutup lagi, sampai kapanpun itu dia akan menunggu, satu kalimat yang sempat terucap sebelum keduanya dipisahkan lagi.

"Gyu."

Mingyu menunggu kata selanjutnya atau mungkin Wonwoo hanya ingin membuatnya mendengar nama itu.

"Seandainya, aku bisa membuat beberapa ide, dari foto-foto yang ada di kamera..."

Kamera kita?

Wonwoo mengangguk. Masa laluㅡakan selalu menarik untuk dibicarakan di waktu sekarang. Be grateful, don't take it for granted, kata-kata Mingyu terngiang. Apa salah jika Wonwoo masih tidak bisa sembuh dari kesakitan masa lalunya? Mengingat itu adalah bagian terburuk dari narasi yang dia tulis dalam beberapa menit lalu.

"Boleh?"

Hang up. Tidur, Won. Ya? I feel it getting weird. Super weird. That's our problem. Since we're both exes for eachother. But you seem feel it still into me or opposite. I just don't want, we're over, not seeing the truth that.. we still feel it in our veins.

"Ya, aku tahu. Aku mengerti."

Wonwoo menutup bukunya, laptopnya, lampunya, ponselnya, juga hatinya.

Mereka adalah manusia-manusia aneh. Saling jatuh cinta, namun memiliki dinding setebal Tembok Ratapan di Jerusalem. Mereka terus menerus memanjatkan doa agar tidak lagi melangkahir garis. Mengutip pengertian dari sebuah lirik nobody crossed the line, i guess we couldn't see, somehow we couldn't feel.

"Gyu, i feel it too, you just don't get it."

Mungkin benar, saat menulis I Remember, Victor Lundberg benar-benar tidak memiliki waktu sebanyak itu. Jadi, terjanggal, terlalu tinggi, terlalu tergesa-gesa.

Mingyu adalah mimpi besar baginya. Sekali lagi, dia ingin menggapai itu sekali lagi. Namun, mereka sudah pernah berjalan dan terlalu terlambat.

Pagi-pagi, Wonwoo terbangun, bahkan sebelum matahari menyelinap di sela-sela ventalisanya. Dia menguap, mengatur posisi lehernya yang kaku, juga mencium aroma lavender dari lilin yang dia dapatkan dari Minghao kemarin. Tak ada pelukan hangat itu, yang mengisinya, membuatnya penuh di pagi hari, seperti..

Good morning, world.

Wonwoo merindukan itu, tapi jika sekali lagi datang, Wonwoo akan kehilangan Mingyu selamanya.

"Knock, knock?"

Tidak mungkin sepagi ini, kan?

Wonwoo salah perhitungan, dia segera menggeser tubuhnya, untuk bangun, menyambut pria itu lagi.

"Soooo early, you know?"

"Passcodenya tidak akan diganti, kan?"

Wonwoo menyesal membuat janji itu dulu. Pria ini selalu berhasil mengambil sisi itu. Berharap dari sekian tahun yang mereka jalani bersama, berpegangan tangan, mengusak rambut, memberi pelukan saat terpuruk, menciumnya lembut, terkadang berada di puncak nafsu yang tak dapat dihentikan seketika, Wonwoo merasakan gelagat itu, tapi dia menutup pintu agar Mingyu tak melewatinya begitu saja.

"Aku akan menunggu, roti coklat?"

"Stroberi!" teriaknya dari dalam.

Mereka memutari reremputan, yang menari, menyambut pagi, menyambut hati sumringah mereka berdua. Mereka saling tertawa saat menggoda dengan dorongan kaki, sedangkan Wonwoo berusaha mengayuh lagi untuk mengejar Mingyu yang berada cukup jauh. Sungai di sebelah kiri mendapatkan atensi lumayan besar, seandainya hari ini dia bisa membawa alat lukis, dia ingin menangkap momen seperti ini seperti Monett, dan menangis dia-diam.

"Lelah?"

Mingyu sudah mencapai tangannya, sengatan itu terasa asing, dan Wonwoo mengabaikan kepedulian itu seketika.

"Kau membawanya?"

Wonwoo melihat benda kecil itu mengalung di leher Mingyu, sedangkan Mingyu memberinya senyuman.

"Kau ingin melihatnya."

"Maksudkuㅡ"

"Lukis saja sesukamu, aku tidak keberatan sama sekali."

"Tapi kau menangis."

"Siapa yang tidak akan menangis? Setiap hari aku akan melakukannya. Sampai kau sadar, betapa besar sesuatu yang tersangkut di sini," jelas Mingyu, dia menunjuk antara dada dan kamera itu, melanjutkan, "Jika masih takut, aku akan menunggu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

"Kau pernah melakukannya."

"Itu keinginanmu, Won."

"Iya, tentu saja."

Mereka kembali ke mobil, setelah selesai mengikat sepeda di atas, Mingyu turun dengan melompat, mengejutkan Wonwoo yang bersandar di sebelah spion kanan.

"Jangan begitu, kakimu bisa terlikir."

Just once. He wants to kiss him. Once again.

"Wonwoo."

"Hm?"

Mingyu menyentuh rahangnya dan bersiap memberi afeksi yang ditunggu keduanya selama ini.

"Jangan, jika kita lakukan ini lagi, aku yakin aku akan menyakitimu."

"Seberapa besar keyakinanmu soal itu?"

Wonwoo menghindar, bibir Mingyu menyapu dagunya, turun ke rahang sebelah kiri, desahan kecewanya tak terbendung.

"Ditolak lagi?"

Mingyu tertawa dan menghela napas.

"Ayo pulang."

Cinta itu terkadang seperti mati rasa.

Mereka bersenandung, seperti saat-saat masih tidak ada canggung dalam saling menggenggam tangan di setiap perjalanan, bulan-bulan di awal tahun menjadi keingininan untuk dirayakan, mengagumi keadaan dengan ketulusan, tak ada risau seperti hari ini.

Wonwoo jauh di sana, tangisnya ingin memanggil perasaan itu.

Ini caranya mencintai Mingyu.

Seolah bersama akan mematikan mereka perlahan.

Apa ada sesuatu yang disembunyikan?

Tentu mereka tahu.

"Setelah ini, aku tidak ingin berubah sikap."

"Apa yang akan berubah?"

Wonwoo menepi, pandangannya jauh pada keramaian kota di jam-jam sibuk melihat orang-orang berkeliyaran.

Biarkan saja, mereka berlayar.

"Kita pernah salah."

Mingyu menyetujuinya, dia mengendalikan kemudi, dan mengikuti atensi di ujung pandangannya. Memudar seperti keinginannya untuk mengejar sekali lagi.

"I just don't know how to breathe anymore."

"Jika kejujuran yang kau inginkan, tentu aku masih mencintaimu, mungkin sangat."

Wonwoo menjelaskan dalam suara tertelan, dia tak memungkiri, yang dilakukan Mingyu di masa-masa kesakitan itu, akan selalu menyisakan rasa sakit di pagi hari.

"Begini saja?"

"Terkadang tanpa harus mengatakannya, itu lebih baik."

"Aku tahu."

"Selamanya, bersamaku, jika kita memulai lagi, aku akan pergi, kau akan pergi, kita hanya akan berakhir dengan saling menghindar lagi. Kau ingin itu?"

"Kau takut, Won?"

Tentu saja, Mingyu. Wonwoo akan selalu memiliki ketakutan itu. Mereka berdua pernah terpisah sangat lama. Kembali seolah tak ada yang terjadi. Tak ada yang terikat. Dengan satu ikatan bunga dan ucapan selamat. Lebih baik begini.

"What if you never come right?"

"Aku di sini. Menjauh, mendekat, semua kulakukan. Tak ada yang tahu akan berakhir bagaimana. Perasaan juga bisa lelah."

"Ya," kata Wonwoo, dia memandang Mingyu dengan harapan itu, mengatakan, "Kau membuatku lelah terkadang, tapi itu tak memiliki pengaruh apapun. Lukisanku tetap saja tidak selesai jika bersamamu."

Lukisan. Mingyu mengangguk dan terus fokus dengan kemudinya.

Mereka telah mencapai rumah Wonwoo kembali, sekitar satu jam, dan Mingyu akan melakukan apapun. Memberinya act of service sederhana. Seperti memastikan Wonwoo turun dengan seatbelt yang dia lepaskan, lalu membukakan pintu, dan menawarkan telapaknya. Kali ini Wonwoo menambahkan senyuman. Hatinya hancur.

"Istirahat saja hari ini, aku akan sedikit sibuk, mungkin bisa berhenti jika kau menelfonku lebih dahulu."

"Tidak biasanya?"

"Ada yang harus diselesaikan, di luar itu, aku harap kau makan banyak."

Mingyu berhasil mengepak sepeda milik Wonwoo dengan cepat.

"Gyu."

Alis Mingyu terangkat, Wonwoo berkeringat di sekitar dahi sampai leher.

"Tidak ingin seharian denganku?"

Mingyu tersenyum, cukup saja.

"Sebelum aku pergi?"

Wonwoo akan menangis, tolong hentikan Mingyu.

"Gyu."

"Katakan saja, jangan pergi."

Wonwoo mendekat dan menggenggam jemari Mingyu seolah matahari takkan terbit lagi.

"Jangan pergi, ya?"

"Kau egois sekali, Jeon Wonwoo."

"Kau juga."

"Kita saling menyakiti terus. Aku kelelahan."

"Aku juga."

"Makanya, tinggal denganku, atau menikahㅡ"

"Tidak mungkin."

Mungkin saja. Apa mereka tidak berhak hidup bahagia?

"Masuklah, mandi dengan air hangat, aku akan mengirimkan makanan setelah selesai dengan pekerjaanku."

"Pameran itu.. apa aku bisa datang?"

"Tentu saja, tapi jangan berkeliaran terlalu jauh, kau akan terkejut."

"Maksudnya?"

"Masuklah."

Mingyu melepaskan terlebih dahulu, dia menyentuh rambut Wonwoo, mengusaknya pelan.

"Aku pergi ya, hubungi aku jika terjadi sesuatu."

"Hanya karna terjadi sesuatu?"

"Jika kau bersedia, aku mencintaimu."

Mingyu membuat Wonwoo benar-benar kelelahan. Ciuman yang baru saja lepas lamdas kembali. Menyentuh bibirnya. Mingyu harus diingatkan.

"Jangan seperti ini lagi, oke? Hati-hati."

Mingyu kembali tersenyum dan masuk ke mobilnya; menghilang.

Dalam ruangan persegi, Wonwoo berkeliling, dia sudah selesai dengan perasaan campur aduknya, melihat kuas-kuas berserakan tidak menentu. Dia menunggu playlistnya mengacau. Mungkin, dimulai dengan..

If all it is eight letters, why is it so hard to say?

Delapan huruf itu tidak ada pada dirinya, apalagi Mingyu, pria itu selalu lebih satu, lebih dari kata jauh.

Wonwoo memandangi kanvas kosong di sana, mungkin abu-abu, memulainya dengan ketegangan, rasa canggung, naif.

Mungkin ya, ini takdir; tak bisa diubah.

"Wonwoo, do you remember me?"

Monolog itu terasa nyata, dia memimpikan seseorang duduk di ranjangnya, memegang punggung tangannya yang kedinginan, lalu terjatuh di jalanan beraspal yang dipenuhi asap. Amarah.

Dia menggores tanpa pensil, membuat lukisan ini sesuai dengan apapun yang terjadiㅡmereka tidak akan selesai lagi.

"Sir."

Wonwoo terganggu. Catnya berubah dan juga keinginan itu.

"Lain kali, kalau melihat saya sedang begini, jauhi pintu, oke?"

"Maafkan saya, Sir, ada kiriman makanan."

Wonwoo tahu, Mingyu selalu tidak akan membiarkan dia menyelesaikan lukisannya.

"Food truck?"

Ponselnya bergetar sekali. Pesan menyelinap.

Seperti dugaannya.

Mingyu. Ini Mingyu. Dari Mingyu.

Just listen before I go.
If you need me, wanna see me, you better hurry. I'm leaving soon.

8 letters? Why Don't We?

Wonwoo teringat, playlist mereka masih terhubung, mungkin lagi, tidak.

"Aku salah. Benar-benar salah."

"Kata siapa?"

Mingyu muncul dengan kaos kebesaran, celana selutut, dan topi yang dia dapatkan dari Wonwoo sebagai hadiah ulangtahun.

"What's with I'm leaving soon?"

"Billie Eilish. Listen Before I Go."

Wonwoo ingin memukul Mingyu dengan kepalan tangannya.

"Ini pekerjaan yang kau maksud?"

"Tentu."

"Aku menata semua sendirian, keren, 'kan?"

"Untuk apa? Kau mau perutku meledak?"

"Tak ada, kau punya banyak pekerja, bisa dibagi kan?"

Wonwoo benar-benar memukul Mingyu.

"Sakit, Nu."

"Nu?"

"Ayolah, biarkan aku masuk dan kita selesaikan lukisan itu."

Mingyu mengambil jemarinya, menarik Wonwoo ke ruang persegi itu lagi.

"Nu, jangan sering menangis ya?"

"Can you stop?"

"Jika aku pergi, aku tidak bisa merayakan apapun. Juli terlalu lama, menunggunya akan membuatku menyerah."

"Jika kau pergi."

"Yakin?"

"Maafkan aku."

"Oke, kita begini saja, aku tidak akanㅡ"

Wonwoo mendekat, meletakkan tangannya di pundak kokoh milik Mingyu, pria itu tinggi, dia harus sedikit mendongak, meski tingginya juga hampir menyentuh dahinya, tapi badannya penuh otot, yang siap memeluknya erat sampai kehabisan tenaga. Yang selalu membuatnya puas di malam-malam panas mereka. Dulu, itu semua berlalu, namun mereka membubuh perjanjian, mereka tidak akan menjadi kita. Tidak akan berkutat dengan perasaan melelahkan. Tidak akan bertengkar, lalu saling meninggalkan, dan kembali seolah tak ada apapun yang terjadi.

"Malam ini, kita lakukan."

"Slow."

Wonwoo melihatnya, mata indah yang selalu membuatnya tergila-gila itu.

"Mantan kekasihku ini."

"Nu, matamu tidak melihatku, kau tahu itu?"

"Inilah keyakinanku, sebatas ini."

Isak Danielson terdengar memperingati mereka berdua, yang hampir intim, yang hampir akan melanggar perjanjian itu.

You want the fire when the fire burns everything down to the ground.

"Like this. Like this, I don't want love like this."

"Kau pikir selama ini aku hanya berkutat dengan gairah saja?"

"You did."

"Nu."

Mingyu melepaskan sentuhan itu, kembali dengan satu tarikan tepat di pinggang ramping Wonwoo, ini bukan permainan menyenangkan, dia mencintai Wonwoo lebih dari pemikiran tentang he just wants him phisically, but who doesn't?

Wonwoo, the whole perfection, his heart burns him cold.

"Kiss me, then i show you."

Mingyu tak menunggu, dia menangkap permintaan itu, mereka memagut, dengan ruangan luas tanpa menutup pintu itu, ini adalah hal yang tak disadari Mingyu, pria itu hanya ingin ciuman seperti ini, lalu berakhir terdorong di ranjang hingga pagi berganti.

"This.."

"Shut up."

"You, shut up," kata Wonwoo terengah, mereka kacau, menahan Mingyu, "Kau hanya ingin begini."

"Salah."

Jemari Wonwoo melingkar di sekitar leher Mingyu, menahan wajah pria itu mendekat.

"Kau juga ingin ini."

"Tentu saja, tapi bukan ini tujuanku," suara Wonwoo tertahan, dia tidak boleh menangis, "Can you see me just as human being? Not as your slave to fill your damn horny dick?"

Mingyu tidak tersinggung, itu benar, tapi Wonwoo salah.

"That's the thought?"

"You've said that, alasan kita berpisah, alasan mengapa ini tidak akan pernah berhasil."

"Couple did things. But, you never see my uprightness, I'm willingly want you here."

Mingyu mengarahkan telapak Wonwoo di dadanya, tentu jika Wonwoo tidak ingin, dia akan menyerah di titik ini.

"You've hurted me so bad."

"Kau percaya itu? Semua itu? Bahkan setelah lima tahun bersamaku? Semua yang kulakukan? Yang bahkan kita tidak pernah benar-benar tinggal bersama itu?"

"Easy. Don't let your anger break this either."

Mingyu mundur, dia mencari kursi, atau apapun itu. Dia duduk di kursi kecil yang digunakan Wonwoo untuk melukis, mengusap wajahnya yang memerah, ternyata Wonwoo lebih percaya perkataan yang datang dari orang lain, dan tak pernah melihatnya dengan benar.

"Gyu."

Wonwoo bersimpuh di lututnya, di lantai kayu dengan bercak cat yang tak pernah dibersihkan.

"Okay, fine. Kau tidak ingin aku pergi, tapi juga tidak ingin kembali percaya padaku. Aku tahu itu kesalahanku. Aku sangat tahu, Nu."

Mencintai Wonwoo adalah seni yang liar.

"Lalu? Kau akan menahan diri jika aku ingin kembali percaya?"

Matanya hampir berkaca-kaca.

"I hate dishonesty. So I did that."

"Did I betray you?"

"Nu."

"Did I betray you?"

"Once, when you kissed someone else."

Wonwoo menelan ludahnya dan dia juga menyadari kesalahan itu.

Kesalahpahaman di antara keduanya benar-benar tidak tertolong lagi.

"Sorry for bothering you guys, but Mr. Jeon, you have an appointment to do."

Mingyu berdiri dan melarikan diri.

"Mingyu."

Wonwoo mencoba menahannya sekali lagi, tapi pria itu terlanjur rumit.

Next Chapter


You are reading the story above: TeenFic.Net