11 [Her]

Background color
Font
Font size
Line height

Kalau usia dimas lima bulan lagi menginjak empat puluh satu tahun, maka tepat sembilan belas tahun lalu dimas pertama kali bertemu maira. Maira, sosok yang dimas pilih sebagai cinta di hidupnya. Sosok yang tidak pernah sekalipun bisa dimas lupakan, bahkan sering kali dimas rindukan. Usia maira dua tahun lebih muda dari dimas, keduanya bertemu saat maira baru semester dua, dan dimas semester enam.

Saat itu dimas yang sudah lama putus dari ratih, tak kunjung memiliki bunga baru di hidupnya. Kesibukannya sebagai mahasiswa arsitek, juga saran kakaknya untuk fokus dengan kuliahnya terlebih dahulu, dimas jalani sepenuhnya.

Dimas memang sedang dekat dengan dua cewek pada masa-masa itu, salah satunya cewek dari kampusnya tapi hanya sesaat, karin namanya. Mereka berkenalan saat ospek, dan menjadi cukup dekat setelahnya.

Kedekatan mereka dalam versi dimas memang hanya sebatas hangout bersama, seperti dimas yang sesekali mengikuti ajakan karin untuk ke club malam.

"Jangan lupa nanti malem jemput di kos aku ya", ujar karin dengan manja sambil melingkarkan lengannya di pundak dimas

"Oke", jawab dimas yang duduk menemani karin makan siang di kantin kampus mereka.

Sikap dan perilaku dimas yang sering merespon perhatian dari karin, menjadi kedekatan versi berbeda yang karin artikan.

Dua puluh tahun lalu, delapan bulan sebelum dimas bertemu maira, sama seperti malam sabtu lainnya, dimas, rumi, karin, fani, rizal dan dua teman mereka, baru saja keluar dari parkiran, dan berjalan menuju pintu bosce.

Sebagai mahasiswa arsitek yang lebih sering tidur di studio kampusnya, dibanding di kamar kosnya yang nyaman, dimas, rumi dan rizal menyetujui ajakan karin saat makan siang, untuk bersenang-senang sejenak, sebelum kembali sibuk di studio mereka. Dimas membayar open table untuk meja lantai dua yang karin pesan, dengan credit card milik kakaknya, serta membayar minuman yang karin dan fani pilih.

"Makasih ya dim", bisik karin ditelinga dimas.

Dimas hanya tersenyum pada karin, lalu memberikan dua botol red label yang karin dan fani minta. Dimas kemudian berjalan naik ke tangga lantai atas mengikuti karin dan fani. Sementara rumi dan rizal masih di bar untuk memesan minuman mereka.

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam saat mereka tiba. Fani dan karin, diikuti rizal, mulai berdansa mengikuti alunan music dari DJ di panggung. Dimas hanya duduk di sofa, karena club malam seperti bosche bukanlah hal yang menjadi favoritnya.

"Dimas", teriak karin sambil meminta dimas untuk berdiri didekatnya.

Dimas menggeleng, kemudian mendorong rumi untuk berdiri menggantikannya.

"Dimas kenapa rum", tanya karin pada rumi yang terlihat kikuk.

"Kecapean mungkin dia", jawab rumi, dan tanpa kata lagi karin melingkarkan lengannya di pundak rumi untuk kembali mengikuti alunan musik dari DJ.

Karin dengan makeup yang sangat tebal, mini dress hitam, dan rambutnya yang terurai, membuat dimas yakin, kalau karin bukanlah cewek impiannya. Dimas kemudian bersumpah pada dirinya sendiri, kalau cewek yang rajin ke club malam tidak akan pernah dimas pacari.

Dimas hanya bertahan selama satu jam di bosche, karena telinganya mulai berdengung. Dimas lalu pamit pada karin untuk keluar, dengan alasan kakaknya menelvon.

Setelah keluar dari bosche, dimas mampir ke minimarket yang tidak jauh dari bosche untuk membeli air mineral, lalu membawa motornya pulang ke kos. Sampai di kos, dimas langsung menyalakan komputernya, dan melihat isi handphonenya.

"Lagi apa dimas", ujar pesan pertama yang dimas baca.

"Lagi sibuk ya, kapan kamu pulang ke solo", ujar pesan kedua yang dimas baca.

Hanya ada tiga pesan dari zahra, karyawan mami mita, namun dimas tidak menjawab pesan-pesan tersebut, dan lebih memilih untuk menyusun lagu di komputernya.

Alunan musik, serta dua sloki alkohol yang dimas minum di bosche, membuat dimas mulai tertidur dengan perasaan rindu yang tidak bisa dimas jelaskan. Hatinya yang kosong, meminta si pemiliknya untuk mencari sosok yang bisa memenuhinya dengan tawa.

🍒

Pagi selanjutnya, di hari kamis dimas mendengarkan penjelasan dosen dengan sangat serius, sementara rumi di sebelahnya, tertidur karena baru sampai kos pukul tiga dini hari.

"Ada yang mau kalian tanyakan perihal tugas yang harus kalian kerjakan", tanya dosen mereka sambil menatap satu persatu peserta kuliah yang nyaris serempak memiliki lingkar hitam yang menghiasi tatapan mereka.

"Pak", ujar salah satu mahasiwa yang duduk tidak jauh dari dimas.

"Iya sandi, silahkan", jawab dosen mereka yang rupanya mengenal setiap mahasiswanya.

"Refrensi untuk jurnal bangunan lima lantai, bebas ataukah hanya sebatas gedung perkantoran", tanya sandi.

"Bebas, bisa gedung perkantoran, rumah sakit bahkan villa atau apartments", jawab dosen mereka.

"Bisa dimengerti sandi", tanyanya lagi.

Sandi hanya mengangguk, dan anggukan sandi diikuti kembali tatapan dosen mereka untuk seluruh peserta mata kuliah.

"Ada yang mau bertanya lagi", tanya dosen mereka.

Semuanya terdiam, dosen mereka kemudian mengakhiri kuliah setelah menjelaskan ulang mengenai tugas mata kuliahnya tentang jurnal bangunan lima lantai dengan detail material serta perhitungan design dari berbagai sudut. Dimas lalu membangunkan rumi, dan menuju studio mahasiswa arsitek yang ada di lantai tiga. Sesampainya di studio, dimas melihat rizal sedang merapikan maket rumah tinggal di hadapannya.

"Pulang jam berapa semalam", tanya dimas pada rizal.

"Aku jam satu langsung pulang, soalnya ideku muncul semalam pas lihat laser di bosche", jawab rizal yang masih sibuk dengan lem serta kertas yang menempel ditangannya.

"Untuk pencahayaan villa ya", tanya dimas.

"Yoi", jawab rizal.

"Rumi mana", tanya rizal lagi.

"Pulang ke kos kali, tadi rumi bilang mau tidur dulu", jawab dimas.

Dimas kemudian mulai sibuk dengan sketsa gambarnya, lalu menyalakan laptopnya yang selalu ia tinggalkan di studio.

Satu tahun sudah dimas memilih sendiri tanpa kekasih. Kesibukannya di kampus, serta tugas yang tak ada ujungnya, membuat dimas melupakan keinginannya untuk memiliki pacar baru.

"Kamu pacarin karin dim", tanya rizal pada dimas, sambil mulai memotong stick ice cream menjadi bentuk balok kecil.

"Enggak", jawab dimas singkat.

"Semalam karin bilang kalau kamu calon pacarnya pas kamu turun", ujar rizal.

"Ngarang aja tuh cewek", ujar dimas sambil tersenyum sinis.

Rumi yang terlihat segar, baru datang ke studio pukul tiga sore. Dengan datangnya rumi, dan studio yang semakin ramai, membuat mereka sibuk menenggelamkan diri disetiap tugas dari dosen yang sudah memasuki waktu deadline.

Menjelang ujian akhir studio di semester empat, mereka tandai dengan seringnya mereka tidur di paviliun studio. Dimas, rumi, dan rizal yang satu kelompok untuk tiga mata kuliah, semakin sibuk dengan kegiatan mereka. Belajar fungsi material, membuat design, menyusun maket, memotong material bahan untuk tugas, berdebat, sampai diskusi untuk ujian studio, mereka lalui, sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.

Rumi yang masih segar, membiarkan rizal tertidur di sudut studio karena kelelahan.
Sementar dimas yang hygiene freak versi mahasiswa arsitek memilih untuk pulang ke kos.

"Udah selesai dim", tanya maya, senior dimas yang lingkar matanya semakin menghitam setiap harinya.

"Belum, terusin besok", jawab dimas pada maya.

Dimas kemudian turun ke lantai satu dan berjalan ke arah parkiran yang gelap dan sepi.

Sampai di kos, dimas tidak langsung tidur, tapi menyalakan komputernya terlebih dahulu, kemudian membaca ulang materi kuliah selama dua hari terakhir. Dimas juga membaca setiap buku tentang arsitektur yang dikirim oleh raka dari jakarta. Dimas tertidur dengan buku di atas wajahnya, dan musik yang mengalun pelan dari komputernya.

Dimas terbangun karena handphonenya bergetar puluhan kali. Dimas kemudian menjawab telvon yang ada disampingnya, tanpa melihat layar untuk mengetahui siapa yang menelvonnya.

"Om dimas", sapa suara kecil diseberang telvon.

"Iya ina", jawab dimas masih dengan mata terpejam.

"Om dimas lagi apa", tanya rania.

"Lagi tidur", jawab dimas dengan suaranya yang masih mengantuk.

"Begadang lagi dek", tanya suara dibelakang rania.

"Iya mbak, banyak tugas", jawab dimas.

"Kenapa", tanya dimas lagi.

"Hari minggu kita mau ke jogja ya, kamu jangan kemana-mana", ujar kakaknya ditelvon.

Dimas tidak menjawab permintaan kakaknya, karena dia kembali tertidur.

"Matiin telvonnya ya ina, om dimasnya masih ngantuk", bisik dina pada rania ditelvon.

"Tapi ini udah jam sepuluh, mami bilang kita nggak boleh bangun siang", jawab rania.

Dimas yang dengan sayup masih mendengar suara rania, langsung terbangun karena dia sadar, kalau dia sudah telat masuk kelas teknologi konstruksi.

"Mbak aku ada kelas, aku tutup dulu ya", ujar dimas, dan langsung mematikan telvon kakaknya.

Dimas bergegas karena dia diburu oleh waktu, dan mandi sekenanya, kemudian berangkat ke kampus, karena dimas sudah telat lima belas menit.

Setelah memberikan gesture permintaan maaf pada dosen karena sudah telat, dimas langsung duduk disamping rizal yang juga masih menguap.

"Di rekam nggak", bisik dimas pada rizal.

Rizal langsung mengangkat mini tape recordernya ke depan muka dimas.
Dimas bernafas lega, karena dia punya kesempatan untuk mendengarkan ulang penjelasan dosen.

Selesai kelas pertama, dimas dan rizal hanya makan siang sekejap, kemudian kembali ke studio untuk meneruskan pekerjaan mereka.

"Dim aku ditunjuk jadi ketua vario versa nih", pamer rumi pada dimas.

Dimas lalu melihat lencana rumi dan tersenyum pada rumi.

"Good", ujar dimas yang bangga pada rumi karena selalu berusaha mengambil kesempatan untuk memperbaiki dirinya yang sangat pemalu menjadi lebih percaya diri.

"Apa serunya sih keliling jogja setiap sabtu malam", ujar rizal pada rumi.

"Kalau aku habis keliling jogja, biasanya langsung dapet ide, ya samalah kayak dimas kalau habis main game", jawab rumi.

"Aku dapet idenya kalau habis tidur sama pacarku", ujar rizal sambil tertawa lebar.

Dimas dan rumi yang tidak punya waktu untuk mencari pacar, hanya mendengus iri pada rizal.

"Emang pacar kamu nggak protes kamu di kampus tiap hari", tanya rumi pada rizal.

"Enggaklah, aku punya jadwal spesial untuk ketemu dia", jawab rizal.

"Makanya cari pacar kalian, biar kuliahnya makin semangat, terus idenya makin moncer", ujar rizal dengan riang.

"Dim ada yang cariin tuh", ujar agung, anak mahasiswa semester dua yang mulai rajin dateng ke paviliun studio seniornya.

Dimas menghentikan tangannya yang masih menggambar, saat melihat sosok karin yang berdiri di depan pintu masuk studio, dengan memasang wajah judesnya.

"Kalau pacar yang kayak dia mah jangan, cepat bangkrut nanti", ujar rizal pada rumi.

Dimas kemudian berjalan meninggalkan kelompoknya untuk menemui karin.

"Kenapa rin", ujar dimas ketika dia sudah berdiri di depan karin.

"Kenapa telvon sama sms dari aku nggak pernah kamu tanggepi", tanya karin pada dimas.

"Nggak sempet rin, tugas kuliahku banyak", jawab dimas.

"Habis kamu rayu aku, kasih harapan, terus kamu ngilang, dan kasih alasan sibuk, gitu", tanya karin dengan aggresif.

Dimas tak bisa menahan rasa gelinya saat mendengar ucapan karin, dan dimas perjelas dengan senyum angkuh yang ia berikan pada karin.

"Karin, aku nggak pernah rayu kamu, atau kasih kamu harapan", tegas dimas.

"Brengsek", teriak karin secara lirih dengan amarah yang tercetak jelas di wajahnya.

**


You are reading the story above: TeenFic.Net