Batas Antara Benci dan Sesuatu yang Lain
------
Jake tidak bisa tidur malam itu.
Rasa malu dan nyeri akibat hampir dilecehkan serta pukulan yang Ia terima masih terasa. Tapi ada satu hal lain yang lebih mengusik pikirannya.
Park Sunghoon.
Sentuhan pria itu terlalu nyata, terlalu erat. Bahkan setelah mereka berpisah dan Sunghoon pergi tanpa banyak bicara, Jake masih bisa merasakan sisa kehangatan yang tertinggal.
Sial.
Ia membalikkan badan di tempat tidurnya, menutup wajahnya dengan bantal. Kenapa aku terus memikirkannya?
Ia benar-benar merasa sangat lemah dan malu
Selain karena Sunghoon mengetahui rahasia yang selama ini ia sembunyikanโyaitu alasan mengapa ia bekerja.
Sunghoon juga melihat nya hampir dilecehkan.
Sebagai seorang laki laki Ia sangat malu karena tidak seharusnya orang lain, apalagi Sunghoon, seseorang yang sangat Ia Benci melihat dirinya begitu direndahkan..
Namun, meskipun Ia mencoba menyangkal, Ia tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda sejak malam itu.
Mengapa Sunghoon yang sangat membencinya malah membantu nya?
---
Di Kantor
Keesokan harinya, Jake berusaha bertindak seperti biasa.
Saat ia masuk ke kantor, para pegawai menatapnya dengan pandangan heranโwajar saja, semua orang masih belum bisa memahami bagaimana seorang berandalan seperti Jake bisa bekerja di bawah CEO dingin dan perfeksionis seperti Sunghoon.
Belum lagi Jake terlihat seperti menutupi luka karena habis berkelahi, mana ada bawahan CEO yang perfeksionis itu seperti berandalan yang suka berkelahi, padahal tidak ada yang tahu alasan dibalik itu semua terkecuali Sunghoon seorang.
Namun, hari ini ada yang berbeda.
Saat Jake masuk ke ruang kerja Sunghoon, pria itu menatapnya sekilas sebelum kembali fokus pada dokumen-dokumennya.
Tidak ada sapaan, tidak ada sindiran.
Jake mengernyit. Biasanya, Sunghoon akan langsung melempar komentar tajam begitu melihatnya.
Tapi kali ini... tidak.
Sesuatu terasa aneh.
Jake mendekat perlahan berjalan menuju meja di depan Sunghoon. Ia dengan berhati hati berkata "Sebelumnya Maaf Aku tidak bermaksud apapun, tapi K-Kemarin kenapa Kau membantuku S-Sunghoon?... "
Sunghoon menghentikan gerakan tangannya, meletakkan pena dengan perlahan sebelum akhirnya menatap Jake dengan penuh perhatian.
"Aku hanya benci melihat seseorang dari perusahaan ku diperlakukan seperti itu oleh para pecundang"
Tatapan itu... dingin, tetapi ada sesuatu yang lain tersembunyi di baliknya.
Seperti seseorang yang menyembunyikan sesuatu.
Jake menelan ludah.
Kenapa ruangan ini tiba-tiba terasa lebih panas?
Ia berdeham, mencoba mengalihkan pandangannya.. "Oh? Karena pekerjaan, ya? padahal t-tadi malam kau tidak perlu repot-repot membantuku."
Sunghoon menatapnya, ekspresinya tetap datar. "Aku tidak butuh ucapan terima kasih."
Jake mengepalkan tangannya. Matanya menatap Sunghoon dengan emosi yang sulit dijelaskanโkesal, bingung, dan sesuatu yang lebih dalam dari itu.
"A-aku juga tidak berniat mengucapkannya," gumamnya, meski suaranya terdengar lebih pelan dari yang ia harapkan.
Sunghoon akhirnya menyunggingkan senyum tipis, ekspresinya tenang seperti biasa, tetapi ada sesuatu di balik sorot matanya yang sulit ditebak. "Tentu saja."
Jake menelan ludah. Kenapa ruangan ini terasa semakin sempit?
Namun, Jake yang masih gelisah, menanyakan sesuatu.
"Uhmmm tapi..
Bagaimana dengan uangโ"
sebelum Jake sempat membereskan kalimat nya, sunghoon segera memotong perkataannya
"Anggap saja itu sebagai upahmu, jadi kau harus bekerja lebih keras dan lebih baik lagi untukku" ucap sunghoon dengan nada dingin dan seringaian nya
Sialan, dia pikir aku ini buruh apa?!
Meskipun mereka masih saling menyindir, ada sesuatu dalam atmosfer yang berubah.
Chemistry yang aneh.
Sesuatu yang menggelitik di antara mereka.
Dan keduanya terlalu gengsi untuk mengakuinya.
---
Beberapa hari berlalu, dan interaksi mereka semakin intens.
Semakin dekat, Semakin Sulit Menghindar
Entah mengapa, Jake terus berpapasan dengan Sunghoon baik di kantor maupun di luar.
Saat makan siang, tanpa sadar mereka duduk berhadapan. Saat rapat, Sunghoon sering kali memanggilnya lebih dulu.
Dan yang paling aneh, Sunghoon mulai mengamati Jake lebih sering.
Jake tentu menyadari ini.
Tapi Ia tetap berusaha menyangkal dan meyakini dalam hati bahwa ini mungkin hanyalah sekedar interaksi pekerjaan saja.
Namun, setiap kali Ia menoleh, tatapan pria itu selalu ada.
Tatapan yang tajam, seolah menganalisisnya.
Seperti seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Dan Jake juga mulai merasa hal yang sama.
Setiap kali ia melihat Sunghoon, ada sesuatu yang membuatnya kesal,malu-tetapi juga tertarik.
Sunghoon adalah pria menyebalkan yang selalu membuatnya ingin berdebat. Tetapi di saat yang sama... pria itu juga memiliki sisi lain yang membuat Jake ingin melihat lebih dalam.
Namun, tentu saja, mereka berdua terlalu keras kepala untuk mengakui perasaan yang mulai tumbuh.
Jadi, mereka tetap bersikap seperti biasa-berdebat, saling sindir, dan pura-pura tidak peduli.
Meskipun, di dalam hati mereka, segalanya mulai terasa lebih rumit.
---
Suatu malam sunghoon dan jake tak sengaja bertemu di bar.
Musik berdentum memenuhi ruangan, cahaya lampu-lampu temaram berkilauan, menciptakan atmosfer hingar-bingar penuh kemewahan.
Di salah satu sudut bar eksklusif, Sunghoon duduk bersama klien-kliennya dengan segelas whisky di tangannya.
Percakapan mereka mengalir lancar, membahas kontrak, investasi, dan peluang kerja sama. Namun, di tengah diskusi yang serius, fokus Sunghoon mulai buyar.
Tatapannya tiba-tiba terpaku pada satu sosok yang tidak asing di tengah kerumunan.
Jake.
Ia tidak sendiri.
Sunghoon menyipitkan mata, melihat bagaimana pria itu tertawa bersama temannya-seorang pria dengan kemeja kasual yang sedikit terbuka di bagian atas, duduk terlalu dekat dengan Jake.
Genggaman Sunghoon di gelasnya mengerat tanpa sadar.
Jake tampak santai, sesekali tersenyum saat pria di sebelahnya berbicara di telinganya. Namun bagi Sunghoon, itu lebih dari sekadar perbincangan biasa.
Pria itu terlalu dekat.
Jake juga tidak menghindar.
Sunghoon merasakan sesuatu membakar di dadanya, sebuah emosi yang seharusnya tidak ia rasakan.
"Kau baik-baik saja, Tuan Park?" salah satu klien bertanya, menyadari perubahan ekspresi Sunghoon.
Sunghoon mengerjap, lalu tersenyum tipis, meskipun ekspresinya tetap dingin. "Ya, tentu saja."
Namun, pikirannya tidak ada di meja pertemuan itu lagi.
Matanya terus mengikuti Jake-mengawasi bagaimana pria itu mengaduk minumannya dengan malas, bagaimana bibirnya melengkung tipis ketika temannya berbicara, dan bagaimana tatapan matanya tampak berbinar di bawah lampu bar yang temaram.
Jake terlihat... tampan sekaligus cantik.
Tapi yang lebih mengganggu Sunghoon adalah fakta bahwa pria lain juga menyadarinya.
Dan Jake membiarkannya.
Ini tidak mungkin.
Tapi... kenapa rasanya sesak hanya karena melihat Jake dengan pria lain?"
Mata Sunghoon tetap terkunci pada Jake. Pria itu masih tersenyum, masih menikmati kebersamaannya dengan pria lain.
Ia mengetukkan jarinya ke meja, merasa tidak nyaman dengan perasaan yang terus menggerogoti dirinya.
Saat pria di sebelah Jake menyentuh lengannya, sesuatu dalam diri Sunghoon hampir meledak.
Genggamannya di gelas kembali menguat. Bunyi dentingan kecil terdengar ketika gelas itu hampir retak di tangannya.
Kenapa aku harus peduli?
Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tapi dadanya terasa semakin sesak.
"Tuan Park?" kliennya kembali bertanya, bingung melihatnya berdiri tiba-tiba.
Sunghoon melirik mereka sekilas. "Aku perlu melakukan sesuatu."
Ia tidak peduli jika mereka menganggapnya tidak profesional.
Saat ini, hanya ada satu hal yang ada di pikirannya.
Jake.
Dan pria sialan yang duduk terlalu dekat dengannya.
Sunghoon berjalan melewati kerumunan dengan langkah pasti, matanya tidak lepas dari sosok Jake yang masih asyik berbincang dengan temannya. Setiap detik yang berlalu hanya membuatnya semakin kesal.
Jake tertawa.
Walau Ia lebih sering membuat Jake kesal, tapi Ia merasa tak terima jika Jake tertawa seperti itu, bahkan sekalipun dengan orang yang tak Sunghoon kenali.
Tanpa ragu, Sunghoon langsung menghampiri meja tempat Jake duduk. Tangannya terulur, mencengkeram lengan pria yang ada di sebelah Jake.
Pria itu terkejut, menoleh ke arah Sunghoon dengan dahi berkerut. "Hei, siapa kau?"
Jake juga kaget, matanya membulat. "Sunghoon?!"
Sunghoon tidak menjawab. Ia hanya menatap tajam pria itu, lalu bersuara dengan nada dingin yang menusuk.
"Singkirkan tanganmu."
Pria itu mengernyit, jelas tidak menyukai nada perintah yang baru saja ia dengar. "Dan kalau aku tidak mau?"
Rahang Sunghoon mengeras. Ia tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik Jake berdiri, membuat pria itu tersentak.
"Sunghoon, apa-apaan ini?!" Jake mencoba berontak, tapi Sunghoon menggenggam pergelangan tangannya erat.
Sunghoon menatapnya, matanya berkilat dengan emosi yang sulit dijelaskan. "Kita perlu bicara."
Jake menghela napas kasar, berusaha menarik tangannya. "Aku sedang bersama temanku! Kau tidak bisa seenaknya-"
"Terserah," potong Sunghoon, lalu menoleh ke pria tadi. "Dia bersamaku sekarang."
Pria itu mendengus, menatap Jake seolah meminta penjelasan.
Jake masih ingin membantah, tetapi sorot mata Sunghoon membuatnya terdiam. Ada sesuatu di sana-sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.
Sunghoon menggertakkan giginya. "Ayo pergi,"
Dan tanpa menunggu jawaban, Ia menarik Jake keluar dari bar.. meninggalkan tatapan bingung dan penasaran dari orang-orang di sekitar mereka.
---
Di luar, udara malam terasa dingin. Tapi tidak lebih dingin dari ekspresi Sunghoon saat ini.
Jake meronta, akhirnya berhasil melepaskan tangannya. "Kau gila? Kenapa tiba-tiba menyeretku keluar?"
Sunghoon menatapnya tajam. "Kenapa? Kau tidak suka?"
Jake mendengus, mengusap pergelangan tangannya yang masih terasa hangat akibat genggaman Sunghoon. "Tentu saja tidak! Aku sedang bersenang-senang dan-"
"Kau bersenang-senang dengan pria lain?" potong Sunghoon.
Jake terdiam.
Namun setelah itu ia berkata dengan bingung dan ingin memastikan bahwa apa yang ia pikirkan itu salah
"M-Memang apa urusannya denganmu? dia itu temanku."
Sunghoon mendekat, membuat Jake tanpa sadar mundur selangkah. Mata mereka bertemu, dan kali ini, Jake bisa melihat dengan jelas...
Kecemburuan.
Namun sunghoon buru buru menyembunyikan nya
"Lupakan."
Ucapnya singkat memutus harapan jake
Jake menelan ludah. "Apa maksudmu?"
Sunghoon tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dalam diam, seolah sedang memutuskan sesuatu.
Kemudian, tanpa peringatan, ia mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Jake membuat pria kecil itu menegang.
"Apa dia menyentuhmu?" bisiknya.
Jake menelan ludah.
Kenapa rasanya.. berbeda?
Sunghoon bukan pertama kali menyentuhnya, tapi kali ini... ada sesuatu yang lain.
Seketika dadanya berdebar.
A-Apa maksudnya?
Mengapa dia bersikap seperti... ini?..
gumam Jake pelan dalam hati.
Sunghoon menatapnya begitu dalam, membuat Jake gugup seketika.
Mereka saling menatap dalam diam, sampai akhirnya seseorang memanggil Jake dari kejauhan, membuatnya berbalik.
Sunghoon tetap memperhatikannya, tetapi kali ini, ada sesuatu dalam tatapannya yang lebih lembut dari sebelumnya.
Kenapa Aku.. seperti ini? Sunghoon bertanya dengan frustasi dalam hati.
Namun, seperti biasa, Ia menepis pikirannya sendiri.
Sementara itu, Jake juga berpikir hal yang sama.
Namun, tidak ada di antara mereka yang cukup berani untuk mengakui apa yang sebenarnya mereka rasakan.
Dan mungkin, butuh waktu yang sangat lama sampai mereka bisa berhenti menyangkal.
--ยฃ--
---
Namun sayangnya karena author tidak sabar jadi author akan membuat mereka segera berlayar hihi lihat sajaa~~
Kalau suka Jangan lupa untuk vote n comment biar author saltingg, upss! Ketahuan hehee๐
Dan lagi lagi Noted yaa! Feel free untuk berbagi kesan dan pesan book sungjake author sejauh ini, author harap kalian mau berbagi kritik,saran dan request dengan author
Hope u enjoy and like it!๐
You are reading the story above: TeenFic.Net