TFZ | 37

Background color
Font
Font size
Line height

"Udah dong ly, jangan sedih terus. Gue kan jadi ikut sedih." Ucap Alin sambil terus mengelus-elus punggung Gue.

"Kenapa semua yang terjadi itu seolah-olah kerena gue? Gue nggak ngerti" Mata gue berkaca-kaca.

"Kita berdua tahu Leo itu jahat. Lo nggak usah pikirin perkataannya." Ucap Alin

Gue tetap menaruh kepala gue di atas meja dengan mata yang berkaca-kaca. Gue merasa kursi Alin bergerak mau tidak mau gue mendongak. Ternyata Bara sudah duduk disamping gue menggantikan Alin. Gue menoleh menatap Alin yang kini berdiri disamping gue.

"Lo mau cerita sama gue?" Tawar Bara mengelus rambut gue pelan.

Gue tak berani menatap Bara dengan mata memerah jadi gue hanya diam menunduk.

"Ly," panggil Bara pelan

Gue mendongak menatapnya yang juga sedang menatap gue. Menunggu..

"Bar, Januari..." Gue hampir terisak kembali

Bara segera mengeratkan rangkulannya dibahu gue.

"Januari dia dirawat dirumah sakit, dia masih belum sadar dari semalam." Gue mulai bercerita dan perlahan air mata gue jatuh. Gue segera mengelapnya. Lalu memberanikan mendongak.

"Nanti pulang sekolah gue mau jenguk dia." Gue menatap Bara "Lo mau ikut?"

Bara hanya mengangguk disamping gue.

*****

Gue bersama Bara sudah sampai diparkiran rumah sakit setelah turun dari mobilnya.

Bara berjalan dibelakang gue mengikuti sampai akhirnya gue membuka salah satu pintu kamar rumah sakit.

Hal pertama yang gue lihat Januari masih tetap sama diposisinya seperti dari awal gue melihatnya. Ia belum juga sadar. Gue menoleh kebelakang menatap Bara yang juga sedang memperhatikan Januari yang terbaring diatas ranjang.

"Gue nggak tau sampai kapan dia akan terus seperti ini." Gumam gue lalu menyentuh jemari Januari dan menggenggamnya. Bara tetap memperhatikan Gue ditempatnya.

"Dia memang orang yang udah bikin gue jatuh cinta untuk pertama kali." Gue menatap Bara yang juga sedang menatap gue. Ekspresinya tidak terbaca. Gue melanjutkan "tapi dia juga yang udah mematahkan perasaan itu. Dia baik sama gue selama ini karena dia menganggap gue sebagai sahabatnya."

"Jahatnya gue, merasa pengen lebih dari sekedar seorang sahabatnya. Sampai persahabatan gue sama dia jadi hancur. Itu karena perasaan." Gue tersenyum miris.

Nafas Bara bisa dipastikan menjadi tenang kembali setelah mendengar penjelasan gue.

"Lo masih cinta---" gue dengan cepat menggeleng mendengar perkataan Bara.

"Itu semua udah berlalu. Gue rasa, cinta gue berpindah sama orang lain." Gue menatap Bara

Kini ia berjalan mendekati gue lalu membawa gue kedalam pelukannya.

"Lo mau tau siapa orangnya, Bar?" Gue berkata didalam dekapannya. Mata gue terus menatap kearah Januari yang sedang terbaring disana. Dekapan Bara semakin mengerat.

"Itu Lo, Bara." Ucap gue akhirnya

Tangan Bara menyentuh wajah gue membuat gue menatapnya. "Lo cinta sama gue?" Tanyanya

Gue hanya mengangguk yakin dengan mata yang berkaca-kaca.

Bara tersenyum penuh arti. Lalu ia kembali memeluk gue erat.

Dert dert

Ponsel Bara bergetar disakunya. Ia pun meminta ijin untuk pergi keluar sebentar.

Gue disini sendirian menatap Januari lalu gue teringat akan seseorang.

Serena

Apakah gadis itu mengetahui kondisi Januari saat ini?

Gue membuka handphone lalu mencari kontak Serena dan gue menghubunginya. Ia juga pantas mengetahui kondisi Januari saat ini.

"Halo ser?"

"Ini gue Lya, Lo bisa temuin Januari dirumah sakit?"

Sambungan sudah terputus. Jadi gue tinggal menunggu kedatangan gadis itu saja.

Sudah sekitar lima belas menit Bara tidak juga kembali. Gue pun berniat menyusul keluar ruangan. Saat tangan gue memegang kenop pintu, gue mendengar suara keributan tepat diluar.

Dengan cepat gue membuka pintunya lalu melihat Bara dengan seorang perempuan mereka sedang berdebat sesuatu.

Tatapan Bara menemukan gue dia pun segera menyusul kearah gue. Perempuan itu berbalik lalu mata gue membulat saat mengetahui siapa itu.

"Serena?" Ucap gue dengan mata memicing heran.

Serena tampak mengusap air mata di pipinya dengan cepat dan mencoba bersikap seperti biasa saja.

"Lya, gimana kabar Januari?" Dia bertanya dengan cepat

"Lo bisa liat sendiri didalam."

Serena langsung menerobos masuk kedalam. Gue menatap Bara "Lo akrab sama dia?" Tanya gue

Bara hanya mengangguk tak ingin mengatakan lebih.

"Sejak kapan?" Gue masih terus mencoba mencari tahu.

Bara menatap gue dengan lembut. Ia kemudian mengambil kedua tangan gue untuk digenggamnya.

"Kita masuk ke mobil dulu yuk, pulang. Nanti aku ceritain." Mau tak mau gue hanya mengikutinya berjalan.

Saat di mobil kita berdua sama-sama terdiam. Bara tak juga menyalakan mesin mobil dan tak juga mengatakan apapun.

"Bar---"

"Ly--" Bara menyela

"Gue sama Serena akrab karena kita temen satu kelas. Lo pasti tau kan?" Bara menjelaskan

Gue tetap diam. Itu memang benar, wajar dia dekat dengan Serena karena mereka teman satu kelas. Mengapa pula gue manjadi curiga seperti ini.

"Aku mau pulang. Mau istirahat." Gue mengalihkan topik pembicaraan. Hari mulai gelap.

"Oke." Bara mengangguk lalu mulai menjalankan mobilnya.

Sampai dirumah gue terbaring diatas kasur dengan letih. Gue hanya tidak ingin melakukan apapun. Baju seragam gue masih gue kenakan tidak berniat mencopotnya sampai akhirnya gue merasakan kantuk.

Namun suara Leo kembali menghantui gue.

"Lo akan menjadi orang yang paling menyesal seumur hidup Lo."

Perkataan itu begitu menusuk. Apa maksudnya?

Leo dasar sialan. Dia adalah orang yang telah memberikan Januari jarum suntik obat itu. Dan lebih sialanya dia adalah kakak dari Alin.

Notifikasi pesan masuk gue membukanya.

Mamah Em:
Lya, gimana kabar Januari sekarang? Kamu udah jenguk dia?

Mamah kembali ada bisnis diluar kota jadi dia enggak bisa melihat kondisi Januari secara langsung.

Gue pun membalas pesannya. Lalu kembali meletakkan ponsel.

Gue teringat degan bunda Jenny. Saat mengetahui kondisi anaknya pertama kali saat gue bawa bersama Arga kerumah sakit. Dia hampir pingsan. Gue tak kuat melihat betapa hancur hatinya saat melihat anaknya kembali seperti dulu lagi.

Terjerumus pada hal-hal negatif.

Gue tahu Jenny masih belum menghubungi suaminya. Jefri

Gue tahu apa yang ada dipikirannya. Jefri pasti akan marah besar pada Januari hingga tak segan melakukan apapun jika mengetahui kondisi Januari seperti apa saat ini. Bisa saja saat Januari bangun dia langsung mencekiknya. Karena Jefri adalah orang yang keras dalam mendidik anak satu-satunya.

Gue pun akan sama halnya dengan Jenny tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis.

Kenapa Januari harus kembali berubah?

Tidak sadar air mata gue kembali mengalir.

Gue masih ingat bagaimana dulu ketika gue berumur 15 tahun saat itu masih smp dan Januari berumur 17,  dia sudah memasuki sekolah SMA.

Gue sibuk dengan pelajaran untuk kelulusan dan Januari saat itu hampir tidak memiliki waktu bersama gue setelah ia masuk ke jenjang SMA. Dia sibuk bermain bersama teman-temannya, yang gue tahu.

Dan itu merupakan hari-hari terburuk yang pernah gue tahu dari Januari. Jenny sering bercerita ketika gue mampir ke tempatnya namun selalu tidak ada Januari.

Jenny mengatakan kalau Januari sudah menjadi anak yang nakal sekarang. Jenny masih memakluminya saat itu, wajar bagaimana anak remaja yang sudah hampir dewasa seperti apa pergaulannya. Walau begitu ia masih sering memarahi Januari saat pulang larut malam.

Tapi semakin hari Januari mulai tidak terkendali.

Gue ingat kejadian ketika itu pulang sekolah gue melihat kerumunan anak SMA. Dan disana gue melihat Januari bersama teman-temannya. Gue dari kejauhan memanggil namanya berteriak. Hingga ia yang sedang tertawa bersama teman-temannya mengalihkan perhatian kearah gue.

Januari menatap gue dari kejauhan tapi salah satu temannya menyenggol bahunya dan berbisik sesuatu ketelinganya.

Gue hanya diam menunggu Januari dengan seragam SMP gue. Sampai akhirnya ia berjalan mendekati gue. Gue tersenyum melihatnya ia sudah tumbuh lebih cepat daripada gue.

Januari memeluk gue lalu ia bertanya "Berapa umur Lo, Ly?"

Gue mengernyitkan dahi bingung. Kenapa Januari tiba-tiba bertanya soal umur.

"Masa Lo nggak tahu umur gue berapa." Gue balas bertanya kesal

Januari tampak berfikir lalu ia kemudian seperti teringat sesuatu. Ia mengangguk mengerti

"Gue berharap Lo cepet besar, Ly."  Ia kemudian mengelus puncak kepala gue pelan sambil tersenyum penuh arti.

"Lo balik sendirian?" Gue mengangguk "mau gue anter?"  Januari menawarkan jadi gue hanya mengangguk mengiyakan.

Ia kemudian menggandeng tangan gue disebelahnya lalu membawa gue kesemua teman-temannya.

"Kunci motor gue," Januari meminta kepada salah satu temannya.

"Wih siapa tuh, Jan?" Tanya seorang temannya jail

"Dia adek gue." Balas Januari singkat lalu mengambil kunci motornya cepat.

Gue duduk dibelakang jok motor Januari sambil terus memikirkan ucapan Januari tadi.

Tidak ada salahnya kan dia menganggap gue sebagai adik? Apa yang salah dengan itu. Pikir gue

"Ly, udah sampe." Gue tersadar dari lamunan.

"Makasih, Jan." Ucap gue saat turun dari motornya.

Januari hanya tersenyum melihat gue "gue titip salam sama Tante Em." Setelah mengatakan itu ia kembali menjalankan motornya.


_______________


You are reading the story above: TeenFic.Net