TFZ | 36

Background color
Font
Font size
Line height

Happy reading!!

.
.

.
.

POV ; Julya

Bunda Jenny: Kenapa ya Ly, Akhir-akhir ini Januari suka keluar malem pulang juga terlambat terus?

Bunda takutnya ada sesuatu yang Januari sembunyiin. Kamu sering liat Januari disekolah kan?

Gue membaca pesan teks dari Jenny yang membicarakan soal Januari. Gue sendiri bingung kenapa Januari berubah seperti ini.

: Itu cuman perasaan bunda aja kali. Bunda ga usah khawatir ya. Luar suka liat Januari disekolah kok kayak biasanya.

Gue sejujurnya hanya berusaha menenangkan rasa kekhawatiran Jenny. Gue pasti akan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya.

Alin menyenggol bahu gue, lalu ia menunjuk seseorang yang sedang berdiri diluar pintu kelas.

Disana Bara berdiri sambil bermain handphone ditangannya.

"Dia pasti nyariin Lo. Sana samperin." Titah Alin dan kembali berkutat dengan buku-bukunya.

Gue beranjak dari kursi untuk menemui Bara.

"Bara?" Panggil gue.

Ia tersenyum melihat kehadiran gue.

"Laper nggak? Ayok ke kantin." Bara mencekal jemari gue.

Gue hanya mengangguk mengikuti. Semenjak kejadian dipameran itu gue rasa hubungan kita semakin dekat. Dia baik dan gue menghargai usahanya.

Saat kita berdua duduk dikantin pandangan gue menemukan Januari yang baru saja memasuki kantin bersama dengan beberapa temannya. Matanya menemukan gue namun segera mengalihkan pandangannya kearah lain. Ia terlihat sangat berbeda.

"Ly?" Bara memanggil gue ia pasti tahu sedari tadi gue memperhatikan Januari.

"Oh, ya??"

"Liatin siapa kok gitu banget?" Tanya Bara sambil menghabiskan esnya.

"Nggak," jawab gue kikuk.

"Oh ya, aku mau tanya." Ucap gue pelan tapi terdengar serius.

"Tanya apa?"

"Kamu duduk sebelahan sama Januari kan dikelas?" Gue memberanikan diri untuk bertanya.

Bara mendongak menatap gue. "Iya tadinya, tapi sekarang dia duduk bareng Serena."

"Ohh, oke." Gue mengangguk mengerti. Sebenarnya ingin bertanya lebih namun sebaiknya gue pendam. Jika gue membicarakan soal Januari Bara terlihat tak senang. Sedikit tersinggung. Gue tahu dia bermusuhan dengan Januari karena Januari yang memulai.

"Kenapa?" Kini Bara balik bertanya dengan Santai.

"Nggak," gue menggelengkan kepala. Tapi Bara terlihat tidak puas dengan jawabannya.

"Bunda Jenny, ibunya cerita sama aku kalau Januari agak beda akhir-akhir ini. Jadi aku penasaran aja."

Bara hanya mengangguk ringan.

"Perubahannya nggak ada sangkut-pautnya sama kamu kan?" Mata Bara seperti menilai sesuatu. Gue dengan cepat menggeleng. Bara hanya mengangkat bahunya seolah-olah mengerti akan sesuatu. Entah apa

"Dia pacaran sama Serena, kamu nggak perlu mikir yang aneh." Gue mencoba mengingatkan

Mendengar perkataan gue barusan Bara berdehem lalu menatap wajah gue dengan seksama. "Itu nggak menjamin orang kayak dia setia sama pasangan." Komentar Bara

Perkataannya hampir menusuk tetapi gue berusaha untuk tetap diam.

"Kamu tau kan dia punya Serena tapi masih nggak rela kalo kamu deket sama yang lain?" Ucap Bara sambil mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.

"Itu karena kita sahabatan dari kecil. Dia punya rasa sayang ke aku sebagai adik-kakak." Perkataan gue berhasil membuat Bara terdiam. Ia menunduk sambil membawa satu lengannya ke bibirnya. Ia tampak memikirkan sesuatu. Namun ia kemudian menatap kearah gue.

"Orang kayak dia nggak akan ngebiarin orang yang dia sayang terluka. Dan kalo itu sampai terjadi, kita nggak akan tahu seberapa hancurnya dia." Ucap Bara penuh arti.

"Bang totalnya berapa?" .

Gue hanya diam mendengar ucapan Bara barusan. Ia berbicara seolah-olah sangat mengenal Januari.

"Malem ini kamu free?" Tanya Bara kemudian menghentikan lamunan gue.

"Yah, Sebenernya banyak tugas." Jawab gue malas sambil membayangkan setumpuk tugas.

"Tugas? Mau aku bantu kerjain?" Tawarnya tanpa banyak berpikir.

Gue mengernyitkan dahi "serius?"

"Becanda."

"Boleh dong." Gue terlihat antusias

"Ayok." Bara beranjak dari kursi

"Sekarang?" Gue tertegun

"Ya, iyalah sekarang." Bara tertawa pelan lalu menarik gue dari kursi.

*****

Gue sudah bersiap hendak mandi namun ponsel gue berdering menarik perhatian gue hingga gue akhirnya memutuskan untuk membuka notifikasinya.

Bara mengirimkan gue pesan. Ia mengatakan malam ini tidak jadi keluar kerena ia memiliki urusan mendadak dengan keluarganya.

Gue menatap ponsel gue dengan perasaan sedih. Gue tadinya sangat bersemangat untuk pergi malam ini dan mengingat siang tadi Bara yang mengerjakan semua tugas gue disekolah. Gue terkejut dia adalah laki-laki yang bisa dibilang sangat pintar. Setahu gue dia juga pandai beberapa bahasa, mengingat saat itu dia pernah mengangkat telpon dengan bahasa Prancis. Membuat gue sangat terpesona oleh sosoknya. Wajahnya juga blesteran.

Selesai mandi, jadi gue mencoba untuk menonton film. Lagipula semua tugas sudah selesai dikerjakan.

"Loh, Lya. Bukannya kamu ijin keluar sama Alin malem ini? Gaun yang kamu minta udah mamah siapin loh." Tanya mamah saat melihat gue yang bersantai disofa hanya mengenakan baju tidur.

"Nggak jadi, mah. Alin tiba-tiba ada urusan mendadak." Alibi gue sambil tersenyum lebar.

"Oh, gitu." Mamah lalu kembali memasuki kamarnya.

Ponsel gue bergetar disamping. Gue meraihnya ternyata itu dari Januari

Gue bingung antara menjawabnya atau membiarkan saja. Gue ingat dengan Bara. Jadi gue memutuskan untuk tetap membiarkan saja. Namun ponsel itu terus berbunyi sampai ketiga kalinya gue rasa ini cukup penting.

Gue diam tak ingin mengatakan apapun tapi--

"Halloo Ly, ini gue Arga."

"Arga? Ada apa?" Gue bertanya bingung

"Gue nemu kontak Lo di handphone nya Januari jadi gue coba hubungin Lo. Maaf kalo gue ganggu Lo, tapi ini Januari ---"

"Haaloo, Ga? Januari kenapa?"

Saat Arga Menyebutkan namanya diakhir kalimat seketika membuat jantung gue berdegup kencang merasa ada yang tidak beres dengan laki-laki itu.

"Januari pingsan, Ly dia----" sambungan terputus begitu saja. Seketika gue merasa panik.

Bagaimana bisa Januari pingsan??

Sialan.

Sekarang gue bingung harus bagaimana. Dimana mereka berada? Gue mencoba menghubungi kembali namun tidak bisa.

Gue segera mengambil sweater yang tergantung dan memakainya. Gue berharap Emma sudah tertidur lelap hingga ia tak tahu gue harus pergi keluar saat ini.

Gue memasuki sebuah taksi begitu saja yang lewat dihadapan gue. Tidak peduli ini taksi pesanan orang lain atau bukan. Karena gue akan memaksa.

Gue yakin mereka pasti ada ditempat itu. Tapi kenapa Januari harus mengunjungi tempat itu lagi setelah sekian lama dia sudah jarang pergi kesana.

Itu adalah tempat terkutuk baginya saat masa-masa terkelamnya dulu.

Beruntungnya gue pernah ketempat ini jadi gue tahu jalannya.

Sesampainya disana gue segera berlari memasuki basecamp gedung putih itu sambil tertatih-tatih.

Disana semua mata tertuju dengan kehadiran gue. Disaat itu pula gue menemukan Arga yang juga sedang menatap gue.

Gue mendekatinya lalu melihat siapa yang sedang terbaring diatas sofa tidak sadar.

Arga dan yang lainnya minggir memberikan ruang untuk gue.

"Januari" gumam gue pelan

Saat gue memegang tangannya itu sangat dingin. Kaku

"Awh." Rintih gue kecil

Gue mantap Arga meminta penjelasan.

Arga menatap semua orang lalu berkata "Lo semua bisa pergi sekarang!" Teriaknya lalu semuanya pun mulai bubar.

"Gue nggak tahu kejadian awalannya, yang gue denger dia sedari sore ngobrol berdua bareng sama Leo sampai mabuk bareng." Jelas Arga dengan terbata-bata. Gue tahu dia menyembunyikan sesuatu.

"Kalo misalkan dia pingsan karena mabuk dia nggak akan seperti ini, Ga." Gue mencoba untuk tidak menahan tangis.

Arga hanya diam membisu.

"Arga, jawab gue yang sebenarnya."

"Dia overdosis." Jawab Arga sambil terus menunduk.

Saat itulah air mata gue jatuh. Tak kuat menahan isak tangis jadi gue menutup mulut gue rapat dengan kedua tangan.

Gue segera berdiri dan memukuli dada Arga.

"KENAPA LO DIEM AJA DISAAT KONDISINYA SEPERTI INI?!" Gue berteriak sambil berlinang air mata.

"DIMANA LEO?! GUE TANYA DIMANA LEO!!"

Gue menendang botol-botol kaca hingga berceceran dan beranjak dari sana menuju semua ruangan disekitar sini.

"Lya!" Teriak Arga yang gue hiraukan.

Gue mulai membuka satu persatu pintu kamar didalam sini. Tidak peduli dengan apa saja yang mungkin bisa gue temukan didalamnya.

Tiba-tiba gue teringat dengan satu ruangan. Yah pintu kamar itu sepertinya adalah tempat Leo berada.

Gue mendobrak pintu dengan keras.

Tepat sekali!

Gue melihat Leo dan beberapa temannya yang sedang melingkarinya. Leo terlihat berantakan, saat matanya bertemu dengan gue dia memasang wajah santainya. Teman-temannya sepertinya sudah melakukan aksi pada wajahnya yang terlihat cukup banyak lebam.

"Apa yang udah Lo lakuin sama dia!" Ucap gue dengan lantang menunjuknya.

Leo hanya memasang muka geli melihat tingkah gue tidak peduli.

Dasar bajingan.

"Jawab atau gue panggil polisi ketempat ini."

Mendengar ucapan gue Leo segera bangkit dari kursinya. Temannya sudah menariknya untuk tetap duduk tenang namun ia menyentaknya. Ia menatap gue dengan tajam tepat dihadapan gue.

"Santai broo. Memangnya Lo siapa seberani itu? Bitch!"

Plak

Dengan berani gue menampar wajahnya.
"Jaga omongan Lo."

Leo tampak menstabilkan tubuhnya lalu ia bertepuk tangan. "Woww woww.." Lalu tangannya tiba-tiba mendorong gue ke dinding dengan cukup keras.

Teman-temannya maju untuk menghentikannya namun Leo mengangkat satu tangannya keatas. Menghentikan

Jemari Leo naik mencengkeram wajah gue lalu berkata dengan suara berat. "Dia seperti itu juga karena Lo!"

Gue dengan kuat menghempaskan lengannya kesamping, melepaskan cengkeramannya dari wajah gue.

"Sekali lagi Lo bujuk dia buat ketempat ini atau Lo ngelakuin hal-hal buruk sama dia. Gue nggak akan segan-segan buat laporin tempat ini ke polisi." Ucap gue penuh ancaman dan berbalik melangkah keluar namun lengan gue dicekal olehnya dari belakang.

"Lo bakalan jadi orang yang akan menyesal seumur hidup Lo." Peringat Leo sebelum gue menyentak lengan gue digenggamannya hingga terlepas.

______________


You are reading the story above: TeenFic.Net