TFZ | 34

Background color
Font
Font size
Line height

Sudah seminggu sejak dimana Januari mencium gue di lorong sekolah membuat gue menghindari semuanya. Gue pergi sekolah hanya dua hari dalam seminggu ini dan beralasan sakit demi mendapatkan ketenangan. Beruntung semuanya dibantu oleh Alin.

Dan hari ini tepat hari Minggu Jenny meminta gue mendatangi rumahnya ia bilang ada sesuatu. Gue pun hanya menuruti, mau bagiamana pun gue juga merindukannya.

Setelah siap gue pun berjalan menuju rumah Januari. Berharap dia tidak ada di rumah hari ini karena ia sedang menghindarinya namun demi Jenny ia harus mendatangi rumahnya.

"Hii, Bunda!!" Gue berteriak kecil ketika pintu pertama kali dibuka dan berhamburan ke pelukan Jenny dengan erat. Sedangkan Jenny mulai mengelus puncak kepala gue.

"Kangen Bunda..." ucap gue dipelukan Jenny

"Bunda juga kangen Lya," Jenny membawa gue yang masih berada dipelukannya masuk ke dalam.

"Gimana kabar Mamah Em?"

"Baik, katanya besok bunda suruh main ke rumah. Soalnya besok jadwalnya mamah free."

"Bunda mau-kan?" Bujuk gue

Jenny menatap gue geli "Mamah kamu tambah sibuk ya akhir akhir ini, kayaknya mau saingan nih sibuknya sama bunda." Gue tertawa menanggapinya

"Jadi gimana kabar bunda sendiri?"

"Baik, ada kamu bunda semangat tau."

"Ah bunda, bisa aja." Gue tersenyum lebar mendengarnya.

Gue melepaskan pelukan saat mencium aroma yang menggugah selera "Lya, kangen masakan bunda" gue menyengir kuda ke arah Jenny yang membuatnya mendengus ke arah gue.

"Kalo gitu ayok makan, kebetulan bunda habis masak tadi. Kita makan bareng."

Gue mengikuti Jenny ke arah dapur.

Pandangan gue menyapu atas meja yang sudah terisi penuh oleh berbagai macam hidangan. Menurut gue ini berlebihan dan seperti ada yang aneh.

"Bunda masak sebanyak ini memang bakalan ada tamu yang datang?" Gue mulai menarik salah satu kursi untuk duduk.

"Oh, bunda lupa kasih tah kamu. Hari ini Om Jefri bakalan pulang."

Gue terkejut sekaligus senang mendengarnya.

"Serius Bun?" Gue menatap genit ke arah Jenny membuat Jenny salting sendiri saat membereskan meja pantri.

"Apaan sih, kamu."

"Ciee bunda.." gue menaik turunkan alis ke arah Jenny nakal.

Wajah Jenny sekarang berubah merah dan itu membuat wanita itu bertambah sangat cantik. Lagi pula Jenny masih sangat muda untuk ukuran seorang ibu, dia pun baru memiliki anak satu. Siapa lagi kalau bukan Januari.

Ngomong ngomong teringat Januari, gue sedari tadi belum melihat batang hidung cowok itu. Meski gue masih berusaha menjaga jarak darinya tetap saja ada rasa ingin tahu selama seminggu ini.

Januari adalah orang yang selalu berada di dekat gue dari kecil. Kehadirannya selalu berada disekitar gue dan kali ini berbeda tidak sama seperti dulu.

Hendak bertanya namun segera gue urungkan. Seharusnya bagus tidak ada dia saat ini.

"Bunda hari ini harus tampil perfect dong.." Lya terus menggoda Jenny

"Nggak perlu, gini aja bunda udah cantik." Jenny tersenyum bangga ke arah Lya balas menggoda anak itu.

"Ahh bunda, kalo ngomong suka bener." Keduanya tertawa bersama hingga suara bel berbunyi menghentikannya.

"Bun" Lya meledek Jenny dengan tersenyum jahil.

Jenny sekarang terlihat sedikit gugup.

"Udah, kamu diem." Peringat Jenny setelah merapihkan pakaiannya sebentar dan berjalan untuk membukakan pintu.

Gue menatap kepergian Jenny dengan tersenyum senang. Betapa bahagianya Jenny ketika akan kembali menemui suaminya, berbeda dengan ibunya yang hanya bisa menatap ayahnya dalam sebuah bingkai foto.

Ini pasti momen yang sangat ditunggu tunggu oleh Bunda Jenny ketika suaminya pulang setelah berbulan bulan bahkan sampai bertahun tahun berada diluar negeri sibuk dengan urusan pekerjaannya.

Setiap bulan Jefri selalu mengirimkan uang membuat keluarga ini sangat berkecukupan. Walaupun begitu Jenny terkadang memilih ikut berkerja diluar kota itu pun masih dibawah pengawasan perusahaan Jefri yang berpusat diluar negeri.

Bagi Jenny ia tidak ingin hanya diam dirumah menerima uang demi uang. Kadang Jenny juga menyusul suaminya keluar negeri untuk beberapa bulan ketika Jefri belum bisa pulang melebihi batas waktunya. Jenny adalah wanita yang setia.

"Hei, Julya apa kabar?" Gue berbalik dan menatap seorang pria yang tinggi bersetelan jas dengan dasi disana. Ia terlihat sangat kokoh berdiri dengan Jenny disebelahnya yang menyeret sebuah koper.

"Hai om, baik. Gimana kabar om? Lama nggak ketemu." Gue menatap Jefri dengan memuja sebagai sosok ayah.

Jefri segera merentangkan kedua tangannya ke arah gue membuat gue tersenyum haru dan berhamburan kepelukannya.

Jenny dari samping tersenyum menatap kami.

"Kangen om udah lama..." Gue merasa sangat nyaman ketika kembali mendapatkan pelukan seorang ayah. Sudah sekian lama akhirnya ia kembali merasakannya.

"Iya, kamu juga makin besar. Gimana kabar Mamah Em?" Tanya Jefri

"Mamah baik,"

Suara seseorang menuruni tangga membuat pelukan kita terlepas dan senyum Jefri mengembang sempurna dan gue pun berbalik disana Januari sedang menuju kemari.

"Anak papah sudah sangat besar," Jefri menatap anaknya bangga, lantas keduanya berpelukan dengan erat gue pun menyingkir dan Jenny menarik gue kesampingnya.

"Gimana kabarmu dan Bunda selama papah tinggal gimana?" Tanya Jefri setelah pelukan keduanya lepas.

"Baik, papah tanya sendiri sama bunda." Januari tersenyum geli pada Jenny.

Jefri hanya tersenyum melihat tingkah anaknya ia kemudian menatap Jenny dan kemudian merangkul bahu istrinya, Jenny pun membalas tersenyum.

"Ehm" dehem gue berbarengan dengan Januari membuat kedua pasangan itu tertawa hingga seluruh ruangan di isi dengan tawa bahagia begitu pula dengan Januari.

Begitu dekat dengan keluarga ini membuat gue sangat beruntung bisa merasakan kebersamaan keluarga kembali. Mereka berdua sangat mengerti posisinya disini.

Gue menoleh ke arah Januari yang sedang tertawa bahagia.

Sejenak gue melupakan masalah gue dengannya.

  

 
*****

Acara makan di mulai; gue duduk bersampingan disebelah Januari seolah-olah kami tidak pernah memiliki masalah sedikit pun. Memang bukan waktunya untuk bersikap kekanak-kanakan di moment seperti ini.

"Lya, setelah lulus kamu mau lanjut kuliah?" Lontar Jefri dari sebrang sana

Gue mendongak tampaknya semuanya ingin mendengar jawaban gue. "Em.. mungkin aku bakalan langsung kuliah atau ambil break untuk sementara waktu. Maunya si aku nggak langsung kuliah, aku mau istirahat setahun aja si om." Jawab gue sambil tersenyum dan melirik Januari sebentar ia terlihat mendengarkan.

"Loh kenapa?" Tanya Jefri sedikit terkejut

"Yah nggak apa-apa kan, Pah. Toh itu kemauannya Lya sendiri. Lagian pasti capek, dia itu perempuan ya wajar tapi kalau laki-laki harus kuliah." Jenny melirik anaknya disamping gue namun Januari tampak tak peduli.

"Iya, mungkin Lya mau mempersiapkan dulu."

Jenny mengancungkan jempolnya tanda setuju. "Bagus."

Jefri hanya mengangguk menuruti dan pandangannya kini beralih ke anak laki-lakinya.

"Jan, kamu kuliah mau ambil jurusan apa?"

"Belum Januari pikirin lagi, Pah." Ucap Januari dan kembali melahap makanannya.

"Pikirin mateng-mateng masa depan-mu, sebentar lagi kamu lulus." Nasihat Jefri

Januari hanya mengangguk dan menyelesaikan makanannya lalu ia bangkit dari kursi dan berlalu sambil membawa piring di tangannya ke wastafel dan berjalan menaiki tangga ke atas kamarnya.

Januari sedikit pendiam kali ini.

"Setahu om kamu satu SMA sama Januari?" Tanya Jefri

Gue mengangguk

"Gimana anak itu selama di sekolah?" Jefri bertanya

"Dia punya cewek." Lontar Jenny disampingnya

Gue terkejut mendengarnya, bagaimana Jenny bisa mengetahui soal hubungan Januari dengan...

Jefri tampak menyipitkan matanya dan pandangannya tiba-tiba tertuju kearah gue. Tampak aneh maksud dari tatapannya itu. Gue hanya diam sambil mengambil air di gelas dan menegaknya pelan seolah-olah tidak tahu apapun.

Namun kini Jefri hanya mengangguk dan menatap Jenny di sampingnya "Siapa? Bunda kenal?"

"Serena teman sekelasnya. Kamu kenal kan Lya?"

Gue hampir terbatuk atas perkataan Jenny "oh, ya Lya tau sedikit." Gue tampak gugup

"Nggak usah urusi masalah percintaan Januari, pah. Dia udah besar mungkin dia bakalan berubah." Ucap Jenny meyakinkan berusaha memperbaiki nama Januari.

"Dia masih ganti-ganti pasangan?" Lontar Jefri seketika ia menegakkan tubuhnya dan menyatukan tangannya di atas meja. Jenny terdiam ditempatnya dan memalingkan wajahnya.

Seketika meja makan yang tadi tampak santai menjadi tegang. Haruskah gue bangkit dan pergi? Namun ujung kaki gue berasa berat untuk digerakkan.

Jefri adalah Ayah yang tegas mengajari anaknya sedari Januari kecil. Waktu ketika Januari duduk di bangku SMP dua ia berkelahi dengan anak lelaki lain. Ia tahu, karena ia di tempat kejadian yang memang satu sekolah.

Karena sulit memisahkan keduanya hingga akhirnya Jefri sendiri yang datang untuk memisahkan keduanya atas laporan guru. Di sana Jefri datang membelah kerumunan lalu menarik Januari dengan penuh ketegasan menyingkirkannya.

Kemudian ia sendiri yang mengantarkan anaknya ke ruang BK dan menyuruh guru untuk menghukum anaknya sendiri sesuai dengan apa yang diperbuatnya.

Ia ingat ketika itu Januari berakhir di jemur dibawah terik matahari yang menyengat di siang bolong. Ia sendiri masih sedikit kesal mengingat itu hanya Januari yang dihukum sementara anak laki-laki yang berkelahi dengan Januari terbaring di UKS karena memang ia mendapatkan beberapa luka.

Ketika itu, ia sendiri yang dipilih oleh Jefri untuk memperhatikan Januari dari kejauhan agar tidak kemana-mana selagi dalam masa hukumannya.

Ia berdiri di bawah pohon sementara Januari terus hormat di depan tiang bendera dengan panas yang menyengat. Karena ia tak tega, dengan memberanikan diri Lya membawakan sebotol air hendak menuju Januari namun langkahnya terhentikan saat itu juga ketika ada seorang perempuan lebih dulu memberikan air kepadanya.

Apalah ia hanya seorang junior saat itu tidak berani kepada kedua senior itu. Namun yang pasti ia menangkap Januari berbalik menatap ke arahnya sebentar lalu mengambil botol yang disodorkan ke arahnya.

Karena pada saat itu ia masih terlalu dini, ia merasa kesal dan pergi dari tempat kejadian begitu saja.

Kembali ke masa kini dengan memberanikan Kya bangkit dari kursi.

"Maaf, Lya permisi ke---"

"Lya, kamu tetap duduk." Perintah itu membuat nyalinya menciut seketika.

"Pah" protes Jenny

"Duduk." Jefri tersenyum kecil menatap gue namun dari nada bicaranya begitu tegas. Gue pun mau tidak mau tetap duduk ditempat

Jenny hanya bisa pasrah ditempatnya dan tersenyum kearah gue untuk menenangkan.

"Lya, om mau tanya sesuatu sama kamu."

Gue hanya mengangguk singkat dan Jefri melanjutkan "Januari pernah melibatkan kamu dalam pergaulannya?"

Gue terdiam membeku bagaimana mungkin gue menjawab ini. Pergaulannya, perkumpulan teman-temannya dimana laki-laki dan perempuan menjadi satu dan alkohol. Lalu ia sempat pergi ketempat itu bersama Januari waktu itu. Itu memang momen menyeramkan baginya.

Tapi ucapan Januari bahwa ia ingin berubah ia teringat hal itu.

"Jujur aja, Ly," tenang Jenny

"Nggak, Lya sama sekali gatau soal itu." Gue berbohong

"Januari pernah macam-macam sama kamu?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja membuat gua sangat terkejut begitu juga dengan Jenny disampingnya.

"Papah!" Sentak Jenny

"Diem, Bun."

Gue menggelengkan kepala. Jangan sampai mereka tahu apa yang telah Januari perbuat kepadanya. Soal Januari menciumnya. Tidak boleh

Jenny pasti akan kecewa mendengar hal itu.

Dan mengapa Jefri melontarkan pertanyaan seperti itu?

Jefri menatap gue tak yakin "Jujur, Ly."

"Cukup!"

Ucapan itu terlontar berhasil membuat gue terkejut ketika melihat Januari di anak tangga bawah yang jaraknya sekitar dua meter dari meja makan menatap ke arah sini dengan tatapan dingin.

Saat pandangan bertemu dengan mata gue untuk beberapa saat kita bersitatap sebelum gue memilih memalingkan wajah.

"Lya sama Januari itu sahabat dari kecil. Kita nggak seperti apa yang papah pikirin." Lanjutnya dan berjalan mendekat.

"Januari---" Jefri hendak berbicara

"Januari sayang sama Lya..." Tatapan Januari mengarah ke arahnya namun Lya enggan berkutik.

"Tapi sebagai adik-kakak." Sambungnya.

Akhirnya ia bisa bernafas lega mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Januari sendiri. Ia pikir Januari akan mengatakan hal yang macam-macam.

Untuk saat ini ia berimakasih pada Januari.

Ia pun memberanikan diri untuk menatap Januari dengan perasaan lega. Januari yang mengetahui hal itu segera melanjutkan,

"Lagian Januari udah punya pacar, Bunda juga tau." Lanjutnya dan berjalan keluar melewati pintu.

Walaupun ada rasa yang tak bisa di jelaskan saat Januari berkata seperti tadi. Setidaknya itu adalah pembuktian sehingga Jefri tidak bertanya-tanya lebih.

"Emm kalau gitu, Lya pamit pulang bunda-Om. Makasih sebelumnya."

"Ahh sayang..., Cepet banget nggak mau main dulu?" Jenny merentangkan kedua tangannya gue pun berjalan ke arahnya dan berpelukan.

"Maaf bunda." Ucap gue

Gue pun memeluk Jefri sebentar dan berbalik namun Jefri menahan lengan gue sehingga gue kembali berbalik.

"Kamu satu-satunya pilihan om."

Kata-katanya berhasil membuat jantung gue berdesir hangat. Tak tahu harus menjawab apa gue pun hanya tersenyum sekali lagi sebelum berjalan keluar.

Ternyata Januari sudah menunggu di dalam mobil, gue pun segera masuk ke dalam.

Saat gue menatap ke rumah untuk sekali lagi ternyata disana Jenny dan Jefri sedang memperhatikan kita berdua. Mobil pun dijalankan lalu keluar dari parkiran menuju jalanan.

"Gue nggak liat Lo beberapa hari ini disekolah." Januari bertanya memulai pembicaraan.

"Gue nggak enak badan kamarin-kemarin." Alasan gue

Januari tersenyum kecil "Lo jahui gue."

Gue hanya diam enggan mengelak, toh dia sudah menyadarinya untuk apa lagi.

Melihat gue hanya terdiam membuat Januari kembali tersenyum miring merasa benar feelingnya selama ini mungkin.

Harus dengan cara apa lagi supaya Januari berhenti menggangunya. Berhenti mempermainkannya, disaat ia bahkan mengenalkan Serena pada Jenny. Yang berarti Januari mulai serius pada hubungannya dengan gadis itu.

Demi bisa menghindari Januari gue harus melakukan segala cara. Saat itu juga gue teringat pesan Bara kemarin malam. Minggu sore ini ia mengajaknya bertemu ditaman, namun ia masih juga belum memberikan jawaban.

Gue segera membuka ponsel dan membalas pesan dari Bara.

Gue tunggu Lo ditaman sekarang juga.

Satu menit setelah pesan terkirim saat itu juga pesan terbaca oleh Bara.

Oke, gue otw.

Gue bernafas lega dan tanpa sadar menyenderkan kepala gue ke kursi jok dengan tenang namun sedikit was-was membuat Januari sedikit teralihkan namun tidak mengatakan apa-apa.

"Antar gue ke taman dekat sekolah."

Januari tampak bingung atas perkataan gue yang tiba-tiba namun ia tetap melanjutkan perjalanannya.

******


You are reading the story above: TeenFic.Net