TFZ | 28

Background color
Font
Font size
Line height


๐Ÿฅ€

POv Julya
Akhirnya gue sampai ditempat yang dimaksud oleh Bara dalam pesan teksnya. Gue menatap sekeliling namun tidak ada apapun selain beberapa kursi koyak dan meja lusuh yang ditempatkan dengan acak acakan disini.

Gue terus berjalan sampai diujung pembatas; dari atas sini gue bisa melihat bagaimana halaman sekolah gue yang ramai. Gue jadi teringat saat tadi meninggalkan Alin dalam keadaan marah. walau sebenarnya gue sama sekali nggak bermaksud; namun itu karena gue terlalu terbawa emosi.

Perkataan seseorang berhasil mengagetkan gue dan gue segera berbalik.

"Lo datang"

Gue manatap Bara yang berdiri disana dengan kikuk sambil berusaha tersenyum sedikit.

"Ya, enggak ada salahnya kalau gue nurutin perkataan Lo." Jawab gue

Bara perlahan berjalan mendekat, sedangkan gue terus menatapnya hingga dia berhenti tepat dihadapan gue.

"Bagus" ucapnya pelan dan tersenyum simpul

"Jadi, Lo mau apa?" Tanya gue berusaha terlihat biasa-biasa saja.

Tanpa berkata dia membawa lengan gue hingga kita duduk disebuah kursi dengan dia tepat disebelah gue.

"Gue mau nanya sesuatu sama lo, bisa?"

Gue mengernyitkan dahi bingung dan hanya mengangguk pelan "lo mau nanya apa?"

Untuk sesaat Bara hanya diam tak berkata apapun hingga gue mulai merasa canggung.

"Lo punya hubungan apa sama Januari?" Bara akhirnya membuka suara

Apa pertanyaan ini penting baginya sampai kita berdua harus saling bertemu. Gue bahkan nggak nyangka dia mau nanya hal tentang itu.

"Bu-- buat apa Lo nanya soal itu?" gue tersenyum ringan

Dia menatap gue tiba tiba dengan intens membuat gue seketika gugup; gue segera memalingkan wajah ke samping.

Dia berdehem pelan "gue mau tahu aja." Balasnya dan kembali menatap lurus ke depan

"Ya gitu, seperti apa yang Lo lihat, kita berdua teman dekat."

"Sedekat apa?" Sambungnya dan kembali menatap gue

Gue menoleh dan tertawa kecil, memang sulit untuk bisa percaya kalau diantara gue dan Januari nggak ada hubungan apapun selain sebuah pertemanan.

"Kenapa?" Tanyanya heran melihat sikap gue

"Kita cuman temenan dari kecil aja, nggak lebih dari itu." Jelas gue singkat

Bara menatap gue seolah olah tak percaya namun ia tetap mengangguk.

"Kenapa?"

Kini gue yang bertanya dalam keheningan setelah beberapa detik. Nggak mungkinkan Bara menanyakan hal seperti itu tidak ada maksud yang lain.

"Ternyata ada perempuan yang bisa bikin gue nyaman" komentar Bara dengan pandangan lurus mengabaikan pertanyaan gue tadi.

Gue kembali tertawa "siapa?"

Bara mengangkat bahu acuh dan menatap gue tiba tiba yang membuat gue gugup "padahal gue baru kenal." Gumamnya tepat diwajah gue

Gue segera mengalihkan pandangan dan berdehem pelan.

"Menurut Lo kayak gimana perempuan itu?" Tanya gue seketika berani. Entah mengapa gue merasa itu ada hubungannya dengan gue.

"Cantik" bisik Bara pelan

Gue menoleh dan wajah kita bertemu "seberapa banyak cewek disana yang udah Lo bilang cantik?" Gue tersenyum ringan

"Dua" gumamnya yang masih terus menatap gue

"Salah satunya ada di depan gue." Lanjutnya

Bulu disekitar leher gue seketika berdiri dan aliran darah gue seketika membeku. Apa maksud perkataan Bara barusan?

Nyaman dan cantik dua kata itu ia tunjukkan untuk gue barusan, dan kenapa jantung gue harus berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Entah apa yang membuat gue merasa gugup; gue kembali membuang muka bergerak dengan canggung.

Kini suasana berubah canggung dan Bara kembali duduk ditempatnya karena ia tadi bergerak lebih mendekat ke samping gue.

Bara berdehem "sorry" ucapannya sedikit mengembalikan suasana seperti semula.

"Malam Lo ada acara?" Tambahnya

"Uhh, oh nggak." Gue merutuk dalam hati karena suara gue yang terdengar gugup.

"Lo mau temenin gue makan malam?" Ajak Bara

Makan malam? Itu terdengar menggiurkan ditelinga gue. Entah mengapa gue terlihat bersemangat dan akhirnya gue mengangguk mengiyakan ajakannya.

Gue memang perlu sedikit lebih santai untuk lebih mengenalnya dan makan malam bersamanya sepertinya akan menjadi sebuah solusi.

"Emm, Lo nggak keberatan kalau gue ikut---"

"Kalau gitu gue nggak perlu nawarin Lo." Potongnya dan gue akhirnya tersenyum kecil karena kebodohan gue sendiri.

"Oke."

Entah kenapa gue juga merasa nyaman saat disamping Bara. Dia terlihat santai seolah-olah kita bukanlah dua orang asing. Sikapnya bikin gue terlihat lebih baik dari yang seharusnya berada disekitar seseorang baru.

"Jam tujuh gue jemput Lo." Tawarnya

Gue tertegun "Nggak perlu, Gue bisa naik taksi--"

"Gue yang ngajak. So, kita berangkat bareng."

"Tapi---uh oke." gue tak jadi meneruskan ketika Bara menatap gue dengan satu alis terangkat seolah olah bertanya 'tolakan apa lagi'.

"Kalau gitu gue balik ke kelas dulu." Pamit gue dan bangkit dari kursi.

Namun lengan gue dicekal dari belakang membuat gue kembali berbalik menatap tangan gue yang masih dicekal oleh Bara dan gue beralih menatapnya seolah olah bertanya.

Bara hanya diam seperti menunggu reaksi gue

"Masih ada...?" Tanya gue akhirnya

Mulut Bara terbuka sedikit hendak mengucapkan sesuatu namun kembali tertutup dan ia melepaskan cekalan tangan gue.

"Yah, Ketemu lagi-- malam ini." Ucap Bara terbata bata dengan kikuk sebelum melangkah pergi meninggalkan gue yang tersenyum kecil atas perkataannya.

Saat gue berbalik untuk menyusul ternyata disana Bara juga sedang memperhatikan gue sambil berdiri terlihat menunggu.

Sekali lagi gue menahan nafas dan menghembuskannya pelan agar lebih rileks dan mendekatinya hingga kita berdua jalan bersampingan.
ย ย 

Ketika kami jalan bersama dikoridor sesekali kita berbicara ringan hingga sesuatu mengejutkan gue ketika seseorang menarik lengan Bara begitu kencang.

Gue melihat Januari yang saat ini sedang menarik kencang kerah kaus Bara dan memojokkannya ke dinding.

"Lo jangan main main sama dia" Januari berbicara tepat diwajah Bara sambil terus menekan Bara ke dinding.

Bara hanya diam membiarkan Januari berbuat sesukanya.

Gue segera menarik salah satu lengan Januari "Lepas Jan, Lo nggak bisa seenaknya." Ucap gue sambil berusaha menarik Januari agar menjauh dari Bara namun tangan gue segera ditepis olehnya; gue tersentak kebelakang.

Kini Januari melepaskan Bara dan beralih menatap Gue dengan maniknya yang dingin.

Tanpa berkata apapun ia langsung pergi meninggalkan gue dengan Bara.
ย 
"Jan!" Panggil gue namun percuma karena dia terus berjalan pergi.

"Lo nggak apa apa?"

Ucap Bara dari samping, gue hanya mengangguk "sorry, karena kejadian tadi. Dia--dia emang gitu-- tapi Lo nggak apa-apa kan?" Gue melihat Bara dengan cemas kerah kemejanya sedikit lusuh dan lengan gue terulur untuk merapihkannya.

"Maaf, gue enggak tahu kalau Januari bakalan bertingkah kayak tadi." Ucap gue sambil terus menepuk pelan kerahnya tapi tangan Bara mencekal lengan gue hingga terhenti dan gue menatapnya.

"Gue nggak apa apa." Balas Bara enteng

"Sekali lagi gue minta maaf," ulang gue merasa bersalah

"Berhenti minta maaf" tekan Bara akhinya

"Maaf"

"Um, maaf"

Bara menatap gue lelah

"Maaf" gue menampol mulut gue sendiri untuk terakhir kalinya. Dasar bodoh maki gue dalam hati

Gue tersenyum canggung dalam hati berteriak malu. Akhinya kita berdua kembali melanjutkan perjalanan walaupun suasana berubah agak kaku.
ย 

*****

ย ย 
Saat berjalan masuk ke dalam kelas; gue menemukan Alin yang ternyata masih setia duduk ditempatnya. Saat melihat kehadiran gue dia langsung tersenyum.

"Al, sorry. Tadi gue terlanjur emosi gue, nggak bermaksud--"

"Ly, gue ngerti kok. Kita lupain aja ya soal tadi." Potong Alin

Gue tersenyum, Alin memang orang yang gampang memaafkan.

"Thanks,"

Alin mengangguk dan kita berdua tersenyum hangat.

"Masih mau-kan jadi temen gue?"

"Ya mau lah." Kita berdua tertawa bersama hingga seisi kelas menatap kami bingung, menurut mereka kita berdua adalah sepasang teman aneh karena gue sempet denger sendiri ucapan mereka.

Yang satu cupu dan yang satu lagi barbar menurut mereka. Bukankah itu aneh? Entahlah

Kelas pun dibubarkan dan akhirnya gue bersama Alin menunggu angkut yang lewat. Mulai sekarang gue lebih suka naik angkutan umum dari pada taksi. Dan gue juga udah mulai mengetahui perbedaan antara naik taksi dan angkutan umum.

Walaupun gue sebenernya nggak disarankan sama Mamah untuk naik angkutan umum. Apa lagi Januari yang langsung marah saat tahu gue naik angkot waktu itu.

Tiba tiba mobil berwarna merah berhenti tepat di depan gue yang lagi nunggu dihalte bareng Alin. Gue menoleh ke arah Alin yang sama bingungnya dengan gue saat ini.

Gue memperhatikan ketika kaca mobil diturunkan ke bawah dan seketika gue terkejut saat mendapati Bara disana yang tersenyum ke arah gue.

Gue sekilas membalas senyumannya dengan canggung "hei" sapa gue gugup

Bara terlihat membuka pintu sebelum keluar dan berjalan mendekat membuat gue sangat gugup disamping Alin hingga saat ini Bara berada dihadapan gue.

"Mau ikut pulang bareng gue?" Tawar Bara

Gue menatap Alin dan menggeleng pelan "gue udah sama Alin. Maaf, tapi gue nggak bisa." Tolak gue halus

"Lo bareng juga sama kita." Saran Bara terhadap Alin, namun ia hanya tersenyum kecil sambil menggeleng pelan.

"Lo berdua aja, gue bisa naik Taksi." Jelas Alin menolak tawaran Bara.

"Al, gue nggak mau ninggalin Lo." Sergah gue

Mana mungkin gue biarin Alin sendirian, secara dia itu lagi menetap dirumah gue. Gue nggak bisa ninggalin dia gitu aja. Sejujurnya gue nggak enak hati nolak ajakannya Bara, secara dia udah baik banget nawarin gue tumpangan.

"Gue serius, Lo berdua bisa naik mobil gue."

"Bar, nggak----"

"Dia pulang bareng gue" potong seseorang dan gue melihat Januari yang turun dari motornya berjalan ke arah gue.

Gue terkejut dan segera membuka pintu mobil Bara dengan tergesa-gesa dan menarik lengan Alin agar masuk terlebih dahulu dengan tampang terkejutnya Alin hanya pasrah. Saat gue hendak naik disebelahnya namun lengan gue segera di tarik dengan kuat dari belakang hingga gue hampir terjungkal namun segera ditahan kembali.

Lengan gue dicekal dari belakang dan gue berusaha meronta untuk dilepas. "Lo, pulang sama gue." Ucap Januari penuh penegasan dibalik telinga gue.

Gue berbalik cepat ketika terlepas dari cekalan tangannya "Lo nggak bisa maksa gue," tolak gue dan meninggalkan wajah Januari untuk menatap Bara yang masih memperhatikan interaksi kami saat ini.

Gue kembali menarik pintu mobil menghiraukannya namun Januari segera menendang pintu itu hingga kembali tertutup. Bara hampir saja ingin bergerak mendekat namun kembali diam ditempatnya.

"Lo apa-apaan sih?!" Gue mulai tersulut merasa tak enak hati dengan Bara atas perlakuan Januari.

"Lo yang apa apaan!" Bentak Januari tepat diwajah gue dan saat itulah Bara menarik bahu Januari dari belakang.

"Santai. Lo nggak perlu marah-marah." Ucap Bara tenang namun Januari segera menepis kencang lengannya dari bahunya.

"Lo nggak usah main-main sama dia." Entah itu sebuah peringatan untuk kedua kalinya atau apa yang gue tahu Januari lagi kesal. Dan gue nggak lagi berpihak sama dia setalah apa yang udah dia perbuat siang tadi ke Bara dikoridor.

"Main-main?" Bara terkekeh kecil seolah-oleh perkataan Januari sebuah candaan.

"Cukup." Potong gue cepat sebelum Januari kembali membuka mulut dan kembali berkata-kata.

"Gue pulang sama Bara karena gue juga pulang sama Alin. Kalau gue pulang sama Lo, gue nggak bisa ninggalin dia gitu aja." Gue beralasan dan memang seperti itu kenyataannya.

"Gue nggak butuh alasan ataupun penolakan" sinis Januari dengan kening berkerut dan alis hampir menyatu; matanya menatap gue tajam seolah-olah habis sudah kesabarannya.

Saat itulah lengan gue ditarik paksa olehnya dan dia menyeret gue ke motornya. Ia memasangkan helm secara paksa ke kepala gue tak menghiraukan penolakan gue apapun.

"Nggak perlu kasar sama perempuan." Bara berusaha menarik gue yang sedang dipasangkan helm oleh Januari.

Januari tak mengindahkan perkataan Bara dan terus mencoba mempertahankan gue saat ini. Ketika Bara menarik gue dari belakang saat itulah Januari menarik lengan gue sangat kencang hingga gue bertabrakan langsung dengan dadanya, gue reflek memeluknya erat dan mendongak untuk melihat wajahnya yang merah padam dengan matanya yang menghunus tajam menatap gue; amarahnya siap meledak kapanpun.

Gue terdiam dan menunduk. Gue tahu ekspresi inilah yang dikeluarkan oleh Januari ketika sudah mencapai batas kekesalannya. Dia bisa saja membanting siapapun saat ini juga jika gue membiarkannya terus meledak.

Januari mulai memakai helmnya ketika merasa gue mulai mengerti dan menaiki motornya sebelum menyalakan mesin.

Gue perlahan berbalik untuk menatap Bara yang mencoba membawa gue, namun gue mengulurkan tangan untuk menghentikannya. Bara terkejut namun ia segera menarik kembali lengannya dan tersenyum memaklumi. Gue saat ini tak berani menatap wajahnya.

"Oke" gumam Bara pelan "Lo nggak usah khawatir, biar Alin gue yang antar." Lanjut Bara sekali lagi

Gue mengangguk tersenyum kecil "maaf" lontar gue dengan penuh rasa bersalah.

Bara menggeleng "Nggak perlu." Balasnya membuat gue semakin merasa bersalah.

"Tolong bilang sama Alin gue minta maaf, dan gue mohon antar Alin ke rumah gue." Pinta gue sangat

Bara hanya mengangguk mengiyakan sebelum berjalan kembali ke mobilnya. Didalam sana gue melihat Alin yang juga sedang menatap gue dengan tersenyum memaklumi gue pun membalas senyumannya.

__________________
See u


You are reading the story above: TeenFic.Net