TFZ | 25

Background color
Font
Font size
Line height

Happy Reading!

Dentingan di ponsel terdengar ketika Julya baru saja memasuki kamarnya. Ia segera mengecek ponsel dan kakinya mencoba untuk menutup pintu dengan mendorongnya.

Saat membuka ponselnya ia mengerutkan kening karena satu pesan yang ia dapat dari nomor tidak dikenal. Ia pun segera membukanya.

-Lagi apa? Udah istirahat?

Lya segera mengetahui nama si pengirim detik itu juga. Ia mulai mengetik sesuatu untuk membalas pesan tersebut.

Ini baru mau,

-Oh, yaudah istirahat dulu sana.

Lya mulai menaiki kasurnya dan tersenyum kecil saat membaca balasan yang terkirim. Ia pun kembali membalasnya

Oke,

Lya pun menyempatkan untuk menyimpan nomor tersebut dikontaknya. Dan setelahnya ia kembali mendapatkan pesan

Bara

-Mau gue temenin?

Lya tertawa kecil melihat isi pesan itu. Aneh pikirnya.

Ga usah.

Bara

-Loh, kenapa?

Lya kembali mengetikan pesan, rasanya ia sedikit tertarik dengan percakapan kecil ini.

Soalnya mau mandi dulu:)

-Oh,

Hanya itu balasannya namun detik berikutnya satu pesan kembali muncul

Bara

-Siapa tahu mau ditemenin juga:)

Serius ini Bara? Batin Julya tak menyangka, ternyata Bara tipe orang yang suka menggombal lewat pesan.

Haha... Lucu kak:))

-Ga juga,
-Kamu yang lucu.

Tiba tiba tangannya tidak bisa digerakkan. Lya bingung harus membalas apa, jari-jarinya mengetik sesuatu untuk membalas namun kembali dihapus terus menerus hingga ia mati kata saat itu juga dan memilih segera keluar dari chatan tersebut.

Kenapa Bara bisa begitu manis lewat sebuah pesan?

Belum pernah ia bertukar pesan dengan laki laki yang bisa membuatnya gugup seperti ini. Bahkan sedari dulu ia dan Januari pun kalau berchatan pasti selalu berakhir dengan ribut dan harus ia yang mengalah atau Januari.

Jika sama sekali tidak ada yang mau mengalah maka perdebatan pun akan terus berlanjut.

Itulah kita. Sama sama keras kepala.

Tiba tiba Lya teringat kembali akan perasaannya terhadap Januari yang sudah mulai muncul. Namun sekali lagi ia akan mencoba untuk menghapus rasa itu sebelum terlambat.

Sepertinya Bara dapat membuatnya melupakan Januari dan masalahnya.

Tapi bagaimana pun ini baru pertemuan yang kedua kalinya dengan Bara. Ia belum terlalu mengenal Bara. Tapi mungkin ia akan mencoba membiarkan Bara untuk mendekatinya.

Karena ia tahu Bara sedang mencoba mendekatinya saat ini. Mungkin ia akan membiarkannya untuk itu.

"Julya?,"

Lamunannya buyar kala pintu kamarnya terbuka menampilkan Emma yang masuk berjalan mendekatinya.

"Eh, Mamah. Kenapa?"

Emma duduk di kasur disebelah anaknya.

"Mamah hari ini ada shift malam, akhir akhir ini memang mamah bakalan jadwalnya padat banget. Kamu hati hati yah dirumah, jangan keluar malam malam, awas loh Lya," peringat Emma dan kembali melanjutkan

"Kalau kamu lagi sendirian dirumah itu harus tutup pintu rapat-rapat sama jendela juga dikunci semuanya. Kalau ada sesuatu yang nggak bisa kamu lakuin sendiri kamu minta bantuan sama Januari kan?" Tanya Emma memastikan

Lya mendengus "iya mamah ku sayang, aku ini udah gede udah bisa jaga diri sendiri. Mamah tenang aja. Dan... Aku nggak butuh siapa pun, aku bisa jaga diri. Kalau pun harus banget minta tolong aku bakalan minta tolong tetangga sebelah. Kalau ada yang deket ngapain harus yang jauh." Lya membalas enteng

Sebenarnya ia berkata itu hanya demi menghindari Januari saja.

"Lya, kamu tau kan tetangga sebelah itu nggak sedekat yang kamu kira. Hubungan kita aja nggak terlalu dekat, hanya sebatas sapa aja kalau lewat depan rumahnya. Itu pun jarang" Emma tak setuju dengan perkataan anaknya barusan.

Rumahnya bukan seperti di sebuah desa yang rumahnya saling berjejer dengan saling berseberangan atau pun berhadap-hadapan.

Adapun rumah di sebelah sana yang jarakanya sekitar 10 meter lebih. Rumahnya ini memiliki halaman yang luas dan bahkan jarang sekali di kompleks perumahannya ini terdapat rumah yang saling berdekatan dengan yang satu ke yang lainnya.

Emma sangat tak setuju dengan pemikiran anaknya. Kecuali ada sesuatu yang mendadak. Ia hanya tak ingin merepotkan orang lain. Ia hanya mengijinkan jika itu Januari yang membantu anaknya karena mereka mengenal dengan baik.

"Mah, rumah Januari sama rumah kita itu jauh dari pada rumah sebelah loh. Bayangin aja kalau misalnya rumah ini terjadi sesuatu aku harus teriak ke rumah Januari gitu. Ya udah pasti lah aku bakalan teriak ke tetangga---"

"Lya, itu juga mamah tahu. Maksud mamah itu kalau kamu mau minta tolong hal-hal yang biasanya kayak kamu butuh sesuatu atau misalnya ada sesuatu dirumah yang rusak, ya kamu minta tolong sama Januari."

"Mamah..., Udah deh. Lagi pula aku nggak butuh apapun sampai mamah selesai kerja dan mungkin aku bisa sendiri beresin hal hal kecil kayak gitu. Oke"

"Lya, kamu nggak bisa gitu."

"Mah, kenapa mamah sekarang sangat sibuk kerja. Hampir setiap saat mamah cuman kerja dan kerja. Mamah nggak capek? Mamah terus cari cari uang kesana kemari padahal uang kita itu udah lebih dari cukup. Kita ada tabungan, simpanan, bahkan kita nggak akan kehabisan uang kalaupun mamah nggak kerja begitu keras..." Lya menatap ekspresi ibunya yang hanya menatapnya dalam diam tak mampu membalas perkataannya

"Karena aku tahu ayah punya jaminan dari perusahaannya kan? Setiap bulan mereka transfer uang ke rekening kita kan, Mah?" Lya melanjutkan dengan pelan

Ia tahu itu. Ayah-nya masih diberi upah walau jasanya sudah tidak lagi ada diperusahaan.

Saat menyebut kata Ayah ekspresi Emma langsung berubah datar dan ia memalingkan wajahnya dengan menunduk.

"Mah....?" Lya berkata pelan namun Emma tak bergeming dan itu membuatnya menjadi sangat bersalah sudah berkata seperti itu.

"Maaf Lya-- Lya, nggak bermaksud bicara seperti itu sama mamah. Lya tadi cuman---" perkataannya terpotong oleh suara Emma

"Iya, memang--- kita nggak akan kekurangan kalau pun mamah harus berhenti kerja. Tapi mamah nggak bisa---" Emma menggelengkan kepalanya menatap anaknya.

Seketika rasa bersalah menyelimuti dirinya yang sudah berkata sangat jauh kali ini.

"Karena mamah akhir akhir ini selalu teringat Ayah kamu, Lya. Mamah nggak bisa ngelupain dia... Maka dari itu mamah memilih menyibukkan diri mamah dengan bekerja, supaya mamah nggak terus menerus kepikiran dia. Mamah sayang kamu Lya...." Mata Emma berkaca-kaca

Pemandangan ini membuat hati Lya teriris. Ia pun segera mendekap Emma dalam pelukannya yang erat. Begitu sebaliknya

"Maafin Lya.."

Ia tak tahu jika itulah alasan ibunya yang berkerja selama ini dengan sangat tekun seolah olah sangat kesulitan dalam pendapatan yang padahal ia merasa hidup ini sudah cukup karena uang. Yang ia butuhkan tinggal masa masa indah bersama keluarga. Namun takdir berkata lain dengan mengambil salah satu pelindung hidupnya disaat ia baru menginjak usia lima tahun kala itu.

Ayah..

Kata itu... ia rindu mengucapkannya untuk seorang laki laki dewasa.

Emma mengecup puncak kepala anaknya.

"Maafin mamah karena jarang menghabiskan waktu buat kamu. Mamah terlalu sibuk, maaf Lya. Mamah sayang kamu...."

Lya menggeleng dipelukan Emma "enggak, Lya yang salah, maafin Lya. Lya nggak tahu itu alasan mamah selama ini. Yang aku lihat mamah kuat tapi aku salah selama ini... Kita sama sama nggak akan bisa lupain ayah. Aku rindu ayah...."

Emma semakin mengeratkan pelukan pada anaknya.

"Mamah juga,"



****

Alin
-Lya, aku butuh bantuan kamu sekarang, aku nggak tahu harus minta bantuan siapa lagi selain kamu.
-aku serlok alamatnya, aku mohon cepet.

Lya mengerutkan keningnya ketika membaca pesan dari Alin. Rambutnya masih tergulung dengan handuk namun segera ia tarik acak-acakan.

Bagaimana tidak? Pesan dari Alin membuatnya sangat khawatir dan bingung saat ini.

Pesan gadis itu pasti menyangkut hal serius karena Alin yang ia kenal tidak biasa mengirimkannya pesan seperti ini sebelumnya. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi.

Tanpa menyisir lagi ia buru buru mengambil tas kecil diatas nakas dan sedikit menyempatkan diri untuk membenarkan rambut sedikit setelahnya ia langsung keluar dari kamar.

Disana Emma memandang Lya dengan bingung ketika ia berjalan tergesa-gesa ke hadapannya yang sedang duduk disofa dengan setumpuk berkas dipangkuannya.

Setelah insiden di kamar tadi membuat Emma sedikit lebih terbuka dengan perasaannya terhadap Lya. Dan itu membuat keduanya makin tahu perasaan satu sama lain.

"Lya, kamu kenapa buru-buru gitu, kelihatan khawatir, kenapa?"

Lya mengambil satu lengannya dan menatapnya "mah, aku ijin keluar malam ini mau ketemu sama temen."

"Tapi kok kamu kelihatan khawatir gitu, ada apa?"

"Jangan macam-macam Lya.." peringat
Emma mulai berasumsi ada sesuatu yang terjadi.

"Mamah tenang aja, aku cuman ada perlu sedikit dan aku janji aku akan jaga diri baik-baik. Mamah nggak perlu khawatir gitu." Lya memberikan senyum meyakinkan untuk-nya.

Emma terlihat ragu namun sedikit lega setelah mendengar perkataannya "oke, tapi janji kamu nggak akan kenapa-kenapa diluar sana dan kamu harus pulang tepat waktu. Jangan kira mamah gada dirumah kamu bisa bebas." Peringat Emma sekali lagi

"Iya, mah. Aku janji," Lya memberikan kecupan ditangan Emma

"Mamah, berangkat kerja jam berapa?" Tanya Lya sekali lagi untuk memastikan

"Nanti jam tujuh lewat, kamu hati-hati ya."

Lya menatap jam yang menunjukkan pukul tujuh kurang dan mengangguk. Ia pun segera keluar rumah dan menyetop taksi yang sudah ia pesan tadi.


You are reading the story above: TeenFic.Net