TFZ | 24

Background color
Font
Font size
Line height

Holaaa!!!
Maaf aku jarang up ya^^
Seminggu cuman 1kalii:)) xixixi

_____________________

POv Julya;

Gue menatap seorang laki-laki disamping meja gue yang ternyata...

"Lo yang waktu itu kan?"

"Emm sorry, Kak." Koreksi gue dengan canggung

Gue mulai mengingat wajahnya kembali saat kejadian dimana gue sempet nabrak dia dan berakhir dia ngasih tahu keberadaan Januari, karena memang gue lagi nyari Januari saat itu.

Dia mengangguk mengiyakan perkataan gue.

"Oh, boleh banget." gue mempersilahkan dia duduk di kursi depan gue.

Gue melahap nasi goreng dengan canggung. Gue nggak terbiasa makan dilihatin sama laki-laki. Yah, Lo tahu sendiri kecuali Januari.

Mungkin cuman dia yang menempati kata kecuali dalam hidup gue.

Tiba tiba dia mengulurkan tangannya ke arah gue. Sedangkan gue menatap bingung dan menoleh ke arah Alin disebelah gue yang hanya diam menunduk tidak tahu harus berbuat apa.

"Gue Bara."

Gue langsung tersadar dan segera menjabat uluran tangannya.

"Gue Lya." Gue tersenyum singkat

"Yah, gue tahu." Dia tersenyum kecil

Gue jadi gugup sendiri. Dia kan udah tahu nama gue dari waktu pertama kita ketemu. Yang bahkan gua sama sekali nggak kenal dia.

"Dia?" Bara menunjuk Alin disebelah gue

Gue langsung teringat kalau masih ada seseorang di sebelah gue yang belum gue kenalin.

"Oh, dia Alin, temen gue." Alin mendongak tersenyum simpul sebelum lanjut memakan nasi gorengnya.

Bara hanya mengangguk dan kembali menatap ke arah gue.

Gue hampir tersedak makanan di mulut karena gugup tapi Bara segera menyodorkan gelas yang berisi lemon tea ke arah gue dengan cepat.

Gue mengambilnya sambil berterimakasih. Tuh kan, udah gue bilang gue nggak bisa mengkondisikan diri gue sendiri saat ini.

"Kenapa nggak dihabisin?"

"Hah?" Gue tersentak bingung dan arah matanya menunjuk ke piring gue yang masih terisi penuh.

"Oh, gue udah kenyang." Gue beralasan dan menatap Alin yang ternyata sudah menyisahkan sedikit nasi goreng dipiringnya kini ia sedang meminum tehnya.

"Karena gue?"

"NGGAK" gue reflek menyela, setelahnya gue tersenyum kikuk "gue udah kenyang aja, bukan karena apa apa."

Bara mengangguk singkat.

"Boleh minta nomor Lo?" Bara menyodorkan ponselnya ke arah gue.

"Gue?" Gue menunjuk diri sendiri sambil menoleh ke arah Alin yang parahnya dia terlihat seolah-olah tidak ada di sini, tidak peduli sama gue yang lagi butuh pertolongan.

"Iya, nomor Lo."

Gue kembali menatap Bara karena sudah lama membuat dia menunggu.

"Yah boleh"

Gue perlahan mengambil ponselnya tapi kembali ditarik olehnya. Gue mengernyit dahi bingung.

"Gue nggak maksa." Lontarnya

Apakah wajah gue terlalu jelas??

"Nggak kak, beneran boleh. Cuman nomor hp itu hal biasa." Ucap gue meyakinkan

Gue bukannya nggak mau cuman gue masih belum ngerti aja ada apa sebenarnya ini. Pertama dia kenal gue sama Januari dan sekarang dia minta nomor gue. Oh, gue tahu dia pasti temen Januari.

Gue menimbang antara kasih atau nggak.

"Beneran?" Gue tersentak dari lamunan

"Serius kak!" Gue buru buru mengetikan nomor gue diponselnya dan mengembalikannya kembali.

Dia terlihat sedang mengutak-atik ponselnya sebelum kembali menatap gue "Oke" ucapnya

Gue memperhatikan Bara ketika dia bangkit dari kursi "Gue balik ke kelas dulu." Pamitnya yang masih berdiri di hadapan gue.

"Ya," balas gue dengan pelan dia tersenyum sebelum berbalik dan meninggalkan meja gue.

Gue segera berbalik untuk menatap Alin disebelah gue yang ternyata dia udah nggak ada.

Gue menatap sekeliling memacari cari keberadaan Alin. Apa jangan-jangan dia bete karena udah gue diemin dari tadi? Ya ampun, dia udah baik banget sama gue.

Sampai akhirnya gue berjalan menuju tempat pembayaran yang ternyata Alin lagi berdiri di sana.

"Al," panggil gue disebelahnya. Dia menoleh dan menatap gue bingung karena terlihat khawatir.

Huhh, gue menghela nafas lega. Dari raut wajahnya sama sekali nggak ada tanda-tanda lagi marah ataupun mau marah.

"Emm, totalnya berapa?" Tanya gue

"30 ribu"

"Biar gue yang bayar," sela gue cepat

Dia menyodorkan uangnya ke arah gue tapi gue kembali mendorong tangannya.

"Gue traktir." Gue tersenyum lebar ke arahnya.

Alin menatap gue jenuh "nggak" tolaknya

"Gue traktir Lo nggak boleh nolak." Gue dengan cepat memberikan uang gue untuk membayar total.

"Lya, Ly," Alin menahan lengan gue tapi gue berhasil memberikan uang gue dengan cepat.

Gue menoleh ke arah Alin yang kini menatap gue dengan pasrah.

Sepanjang perjalanan kembali ke kelas Alih hanya diam termenung. Gue jadi ngerasa bersalah kali ini.

"Yaudah deh, kapan kapan Lo yang traktir gue. Jangan cemberut lagi dong. Anggap aja lo nggak punya utang sama gue, traktir itu hal biasa." Gue menenangkan dengan mencoba membujuk.

Akhirnya mau nggak mau dia tersenyum ke arah gue.

"Gitu dong," gue menyenggol lengannya. Nggak kencang tapi itu berhasil membuat Alin menabrak seseorang disebelahnya.

Gue membulatkan mata terkejut.

Gue segera menarik Alin "Sorry, Al, Lo nggak kenapa kan?" Tanya gue khawatir

Alin nggak memperhatikan perkataan gue, dia sibuk menatap seseorang yang barusan dia senggol dan gue segera ikut menoleh untuk melihat siapa orang itu. Detik itu juga gue menarik Alin kebelakang gue.

"Lo punya mata nggak?" Sinis Serena tepat di depan gue.

"Dia nggak sengaja, gue yang salah." Balas gue

"Ooh, jadi ini salah Lo. Kenapa? Punya dendam Lo sama gue?" Serena mulai melipat kedua tangannya didepan dada bersama Carla temannya yang terus memperhatikan gue saat ini.

"Dendam?" Gue terkekeh

"Iya, Lo iri sama gue karena Januari lebih milih gue ketimbang Lo. Iya kan?" Ucap Serena dengan percaya diri. Sedangkan Carla tersenyum sinis ke arah gue.

Alin menarik lengan gue dari belakang tapi gue nggak bisa diem gitu aja. Gue melepaskan cekalan tangan Alin.

"Iri sama lo? Buat apa?" Balas gue menantang

Iri? Dia bilang iri. Dia nggak tahu apapun disini. Dia nggak tahu kalau gue yang nyuruh Januari buat jauh-jauh dari gue dan fokus sama dia. Dasar nggak tahu diri!

Serena tertawa bersama temannya. Yah, entah menertawakan gue atau kebodohannya sendiri saat ini.

"Woi, Serena. Nggak usah sok paling bener Lo. Kita semua tahu Lo sama pelacurnya!!" Sorakan para siswa terdengar yang mulai memenuhi koridor

Bukan untuk membela gue tapi hanya mengingatkan gadis itu. Itu juga membuat gue sakit karena dipersamakan dengan Serena. Oh jelas gue bukan pelacur.

"Pelacur huuu!"

"DIEM LO SEMUA!!!" Bentak Serena terlihat mulai emosi

"Siapa disini yang Lo sebut pelacur? Gue?!" Serena menunjuk ke arah dirinya sendiri sebelum jarinya menuju ke arah gue "atau dia?" Gue membulatkan mata terkejut, gue hampir berteriak dengan kencang untuk menentang ucapannya tapi Alin dengan sangat kuat menarik lengan gue kebelakang.

"Denger ya Lo semua, gue adalah kekasih Januari. Jadi gue wajar wajar aja kalau ada apa-apanya sama dia. Sedangkan dia--" Serena menunjuk gue "dia bukan siapa siapa Januari, dia yang lebih pantes disebut pelacur dibanding gue. Lo denger semua, dia cuman perusak hubungan orang!!"

Lengan gue udah melayang hampir bertabrakan sama wajahnya tapi tertahankan "kenapa?" Tanya Serena dengan seringainya

"Mau marah?" Ledeknya

"Bukannya itu pengakuan Lo di depan Januari sama gue. Mau ngelak apa lagi Lo."

Semua orang mulai tampak berbisik-bisik.

Gue diam tak berkata apa apa, gue memang udah mengakui itu. Tapi apa pantes dia mengulang kata-kata gue didepan semua orang dengan cara menjijikkan.

"So, Lo semua yang masih ngira gue sebagai pelacur. Lo salah, gue yang pacarnya Januari disini sedangkan dia bukan siapa siapa Januari!"

"Jadi kalau Lo liat Januari berduaan sama cewek ini, Lo tinggal teriak 'perusak' ke arah dia--"

Plakkk

Tamparan maut gue melayang dengan kencang ke wajahnya hingga Serena menoleh kesamping.

Tapi bukan itu yang membuat gue terkejut melainkan Serena yang terlihat menjatuhkan dirinya ke lantai dengan tangan diwajahnya seperti sangat tersakiti atas tindakan gue.

Gue masih memperhatikan dengan seksama hingga Carla membantu Serena dilantai.

Alin menatap gue dengan terkejut. "Cukup Ly, ayok!" Dia menarik lengan gue untuk pergi tapi gua menahannya. Gue nggak akan pergi sampai gue tahu drama apa yang akan Serena mainkan.

Gue menatap sekeliling ketika bunyi sorakan terdengar kencang. Apa yang mereka soraki dengan bangga itu--

Detik itu juga tiba tiba bahu gue tertarik ke belakang sedikit kencang. Reflek gue hampir terjungkal namun segera ditahan kembali.

"Cukup Ly, Lo nggak bisa lampiasin semua kekesalan Lo sama dia. Lo yang milih jalannya seperti ini jadi terima apapun itu." Januari berkata tepat berdiri dihadapan gue saat ini.

Gue membalas tatapan Januari dengan tajam dan dengan kencang gue melepaskan cekalan tangannya "terima Lo bilang?!" Ucap gue tak menyangka

"Setelah apa yang dia bilang, Gue harus terima?!" Gue menekan

"Apa yang dia bilang?" Tantang Januari

"Ouh jadi Lo nggak tahu?" Gue tersenyum sinis

Entah sejak kapan gue merasa asing berinteraksi dengan Januari mulai saat ini. Ada yang berbeda, yah perbedaan itu sangat kuat mulai detik ini.

Dari cara dia memperlakukan gue hingga cara bicara dia, gue merasa asing.

"Pelacur," Bisik gue sambil tersenyum kecil

Wajah Januari terlihat terkejut

"Itu yang dia bilang." Sambung gue

Kali ini gue menarik lengan Alin dan membawanya menjauh dari kerumunan.

Untuk seperkian detik gue menoleh kebelakang dan melihat Januari yang masih berdiri menatap kepergian gue disana.

*****

Gue menunggu bus yang lewat dihalte dengan pandangan kosong.

Pikiran gue masih mencoba menerka-nerka. Gue kini mengerti kenapa saat foto Januari dengan Serena terpasang di Mading ketika gue datang semuanya membiarkan gue melihat foto itu karena mereka pikir gue memiliki hubungan dengan Januari.

Mereka pikir Januari selingkuh dari gue dengan Serena. Maka dari itu Serena disebut pelacur Januari yang pada dasarnya sebenarnya Serena lah kekasih Januari.

Disinilah seharusnya posisi gue yang dipermasalahkan.

Kenapa pula gue harus marah karena lihat foto-foto itu. Gue nggak ada hubungannya sama sekali, gue cuman kecewa ketika Januari berbohong sama gue pada saat itu.

Dan mengapa setelah kejadian di toilet itu gue melihat sikap Januari berubah. Yah, dia berubah ketika gue melihat dia berdiri dihadapan gue dan melontarkan kata-kata yang bahkan dia belum tahu yang sebenarnya terjadi.

Dia lebih dulu membela Serena ketimbang gue. Sekali lagi Serena sama gue berada diposisi yang berbeda.

"Hei"

Gue tersentak ketika seseorang menyapa. Disana gue melihat Bara mendekat di samping gue.

"Hei," balas gue tersenyum singkat.

"Nunggu apa?"

"Bus,"

"Mau bareng?"

"Nggak usah. Gue lebih suka naik angkutan umum." Yah mulai saat ini lanjut gue dalam hati.

"Maksudnya, ya gue juga naik bus."

Gue mengernyitkan dahi sedikit tak menyangka mendengar pengakuan Bara. Kenapa pula orang se-elite Bara mau menggunakan angkutan umum.

Melihat penampilannya sangat berkelas dari atas hingga bawah.

"No, Gue nggak berpikir kesitu." Gue terkekeh pelan itu pasti cuman becanda.

"Gue serius."

Gue menatap Bara dengan tak menyangka untuk kedua kalinya "really?"

"Yes, of course. Why not?"

Bahkan Januari pun sangat melarang gue untuk menaiki angkutan umum. Yah, mungkin gue nggak harus menyamakan seseorang dengan Januari. Jelas berbeda

Gue menyengir kuda sambil menggeleng pelan. "Sama sekali nggak pernah gue bayangin."

"Jangan pernah melihat seseorang dari penampilan bukan?" Lontar Bara dengan enteng

"Ya," gue tersenyum kikuk

Kita pun akhirnya menaiki bus bersama, Bara duduk tepat disamping gue. Sepanjang perjalanan gue hanya menatap ke luar jendela tak berani mengeluarkan suara.

Hingga saat bus sudah hampir hendak melewati rumah gue, gue menoleh ke arah Bara yang ternyata dia juga lagi menatap gue.

Oke, mungkin tanpa sepengetahuan gue dari tadi Bara memperhatikan gue.

Gue jadi gugup sendiri "mm, gue duluan-- bentar lagi sampai." Bara hanya mengangguk dan gue segera bangkit dari kursi dan berjalan melewatinya. Detik itu pun jari gue dicekal dari samping, gue kembali menatap Bara dengan pandangan bertanya.

"Kabarin gue kalo Lo lagi istirahat."

"Hah??" Apa yang berusan Bara bilang? Gue nggak denger..

"Kabarin gue nanti," ulang Bara dan ternyata gue nggak salah dengar:)

"I--iya kak," Balas gue gugup

Bara tersenyum menatap gue tepat saat itu bus berhenti dan gue buru-buru kabur dari hadapan Bara ke luar bus.

Gue menatap bus yang perlahan kembali melaju dengan pandangan gue yang tetap fokus dimana Bara duduk yang juga sedang melambaikan satu tangannya ke arah gue. Gue reflek ikut melambaikan tangan ke arahnya.

Ya ampun.. ini ada apa? Dan kenapa gue gugup setiap kali Bara nanya hal-hal yang terdengar ditelinga gue seakan-akan itu sebuah perhatian kecil.

Gue tersadar saat bus menghilang dari pandangan. Gue bergidik geli dan baru teringat kalau tangan gue masih melayang. Segera gue menjatuhkannya kembali dan berlarian menuju rumah.

_________________
See you all!!!
Ayok dong semangat-nya^^
Xixixi


You are reading the story above: TeenFic.Net