52. Arcade

Background color
Font
Font size
Line height


Play: My Everything - Ariana Grande




*

Ia pikir mungkin ini rasanya ...

"Draco?!"

Caroline terkesiap di teras rumahnya sendiri. Laki-laki yang ia teriakkan namanya baru saja datang dari kepulan asap. Dia memakai jas hitam, melawan kulit pucatnya.

Pegangan kencang Ted terlepas, ia ingin menghampirinya sekarang juga. Caroline mengabaikan rintik-rintik hujan.

Ia memukul bahu Draco penuh kesal.

"Kenapa kau berada disini, hah?" kata Caroline jengah.

Ia tidak mengerti perasaan apa yang harus ia pikirkan jika tentang laki-laki ini. Dia pucat. Hampir mendekati mayat.

Sudut mulut Draco bergerak sekilas, nampak ingin bicara, tapi ia tidak memberi jeda.

"Kemana kau pergi?" gerutunya.

Aku bahkan tidak tahu apa lukamu sudah sembuh atau belum.

"Senang bertemu denganmu lagi?" kata Draco.

Ted tiba-tiba berada di tengah-tengah mereka dan menyembunyikan Caroline. Ujung tongkat sihir berwarna coklat terang menempel diatas kerah kemeja Draco.

"Halo, Nak." gumam Ted. Tangannya yang kosong memegang tangan Caroline. "Masuk ke mobil." perintahnya tanpa menolehkan sedikitpun kepalanya.

Gawat. Mantra bisa meluncur kapanpun.

"Turunkan tongkat anda, Mister Tonks. Jangan apa-apakan dia--"

"Tergantung."

"Please, bicarakan ini baik-baik, kan, bisa. Atau aku saja yang bicara--"

"Aku tidak melepaskan pandanganku darinya, Caroline. Bagaimana bisa?" cibir Ted Tonks. Suaranya pelan tetapi menusuk.

Draco sedikit mengangkat alis mendengarnya, pertama kali menunjukkan ekspresi lebih daripada datar. Caroline tersedak kenyataan bahwa laki-laki itu memang berada disini. Wilayah muggle. Topeng perak di genggamannya, yang sedikit terlihat karena Ted menghalangi mereka.

"Oke, fine. Aku tetap melihat kalian dari dalam mobil." bentaknya.

Caroline dengan enggan menarik dirinya ke mobil. Pintunya bahkan tidak ia tutup sempurna dan satu kakinya keluar menapak. Jika menuruti Ted yang kokoh dengan pendirian, mereka bertiga bisa berdiri disini selamanya.

Draco menjawab Ted, bibirnya bergerak sedikit tampak tidak serius, ia mengira laki-laki itu malas bertemu dengan pamannya--meskipun pertama kali.

Rintik hujan mengaburkan pandangan dari kaca. Mereka berdua menjadi bayang-bayang. Tapi setidaknya, belum ada seruan mengancam selain hujan yang bertambah deras. Sepatu sekolahnya yang telah ia cuci di rumah Andromeda menjadi basah. Mereka pikir apa yang mereka bicarakan.

"Kita pergi dari sini. Tutup pintu." kata Ted buru-buru, langsung memasang sabuk pengaman, menyalakan mesin, saat kaki Caroline masuk dan sebelum ia mengelak pintu otomatis dikuncinya.

"What?!"

"Tidak ada waktu."

Matanya berkedip cepat, tidak percaya apa yang Ted lakukan sekarang. "Bagaimana dengan Draco?"

"Dia pergi."

Ia tetap mencoba membuka pintu meski bingung apa yang nanti akan dibicarakannya.
"Aku harus bicara sesuatu padanya, kupikir--"

"Tidak, Caroline. Sudah cukup."

Mobil mulai berjalan melewati gerbang besi dua pintu, tapi Caroline tidak melihat jas Draco di tempatnya semula. Dia benar-benar pergi.

"Aku minta maaf, Mister Tonks. Tapi aku berada dirumahku, jadi anda tidak berhak mengatur keputusanku."

Ted jika dilihat dari kaca kemudi, mengerutkan kening. Matanya bertemu mata Caroline yang dibelakangnya. "Ini bukan masalah hak memerintah, Caroline. Kau cukup tidak ingat bahwa dia membunuh Kepala Sekolah?"

"Koran mengatakan Snape!" seru Caroline. "Dan aku tahu itu."

"Ada kekeliruan saat itu terjadi. Mereka berdua di pihak yang sama. Draco pasti mendapat tugas dari Tuannya untuk membunuh Dumbledore, sebagai--percobaan kesetiaan."

"Betapa optimisnya itu." cibirnya. Dadanya naik turun karena ia kira kekurangan oksigen di dalam mobil ini. Tapi sebenarnya karena oklumensinya tidak terpasang, telah terlupakan olehnya sejak bertemu Andromeda. "Snape bahkan orang kepercayaan Dumbledore selama ini. Aku tahu kita tidak bisa percaya lagi padanya, tapi aku ingin bicara semenit dengan Draco!"

"Aku sangat minta maaf." pria itu benar-benar mengucapkan keputusannya.

Ted berbeda dengan Leo ayahnya. Ia jarang mendapat perlakuan menentang atas apa yang diperbuat. Sekarang Ted baru mengenalnya dan berani mengambil keputusan atas dirinya.

Ia menghela nafas kasar. Misi Draco--seperti disebutkan Nott, Orde menduga adalah membunuh Dumbledore. Tapi laki-laki itu gagal, 'kan? Apa yang akan Voldemort lakukan padanya? Pada Draco?

Ia pikir, mungkin ini rasanya rindu.

Air mata lolos di sudut mata Caroline. Dihapusnya cepat-cepat sebelum ia menyadari ia menangis. Lagipula tidak ada kalimat yang bisa diucapkan jika bertemu dengan Draco lagi. Caroline hanya kehilangan emosinya karena bertemu laki-laki itu, yang terakhir kali telah disayat seluruh tubuh karena Harry. Satu alasan lain ia menangis karena tidak menemukan kedua orangtua mugglenya, Leo dan Reina di rumah Lysander.

Ted mencari mereka setiap sudut.

Ia berpikir keras saat mobil berhenti mengikuti lampu lalu lintas yang merah. Mereka di jalan raya, ia tersentak kedepan.

"Mr. Tonks. Astaga aku baru ingat. Toko ayahku, ayahku punya toko Cokelat."

Lampu berubah hijau, dan mobil kembali jalan. Ted bertanya, "Well, dimana itu?"

"Belok kiri sekarang." arah Caroline, ia mengingat-ingat patokan bangku pinggir jalan berwarna perak, seharusnya tidak jauh lagi. "Berhenti, berhenti--"

Di sebelah kirinya, toko itu tersiram air hujan yang sebelumnya pasti kaca itu berdebu. Ia keluar dari mobil dan bingung.

Pintu hitam dan kedua kaca mengapitnya. Tapi kaca itu polos, stiker dengan nama Lysander's Choco telah hilang. Di dalam kaca, setumpuk kardus-kardus menutupi. Ia langsung masuk dan menimbulkan suara bel diatas kepalanya.

"Oh, hai?" wanita tua menyapa. Dia sedang mengeluarkan barang-barang didalam kardus. Kerutan di wajahnya bertambah saat melihat Caroline yang basah kuyup. "I'm sorry, tapi toko ini belum buka."

"Excuse me?" kata Caroline bingung. "Apa anda bekerja disini?"

"Dear, ini milikku sekarang." kata wanita tua itu dengan sopan.

"Apa ayahku menjual tokonya?" tanya Caroline, matanya liar melihat ornamen khas toko ayahnya telah hilang. Polos, siap untuk diperbarui.

Wanita itu agak melunak saat tahu itu, dia tiba-tiba senang dengan ucapannya. "Ya, ya, tentu saja padaku. Aku sudah lama ingin membuka bisnis karangan bunga. Baru mendapat tempat ini beberapa minggu lalu."

"Oh ... begitu," gumamnya.

Terdengar bel lagi.

"Apa? Apa yang terjadi?" tanya Ted memiringkan kepala agar melihatnya.

Ia mengusap wajahnya, melirik Ted sekilas. "Ayah menjual tokonya. Kurasa, kita harus kembali ke mobil."

"Jadi," Ted membuka percakapan setelah berkendara hampir setengah jam. "Ayahmu pebisnis. Apa ada pekerjaan lainnya?"

"Pengacara."

"Well, tidak ingin pergi ke kantornya? Atau ke tempat apapun yang mungkin orangtuamu datangi?"

"Aku--aku tidak tahu dimana."

Caroline hanya pulang ke rumah untuk berlibur. Sebelum memulai lagi tahun ajaran. Yang ia tahu, ayah sering berganti-ganti perusahaan. Ibunya, Reina, dia sebagian besar waktunya berada di rumah atau mengurus toko Coklat ayah dengan satu staff, Stefanie. Caroline tidak bisa bertemu dengan Stefanie lagi, dia pasti mencari pekerjaan baru.

"Sebelum kita ke Prancis, Caroline, aku butuh kesetujuanmu." kata Ted. Dia mengatakannya setelah membuang nafas, seakan mengatur perkataan yang akan dia ucapkan pada anaknya.

Kenapa Draco pergi begitu saja dan tidak mengejar mereka? Atau mencegat? Dan muncul tiba-tiba di depan mobil Ted?

"Bagaimana dengan orangtuaku? Dan Draco?" tanyanya pelan.

Mereka mengecek rumah sebelumnya dan menemukan seluruh barang-barang rapi pada tempatnya. Ada keganjalan; mobil hilang, bersama senjata-senjata Leo, burung hantu penyihir mati di halaman belakang, mereka menduga sedang mengantar surat ke kamar Caroline, tapi surat itu hanya ada amplopnya saja.

Leo dan Reina tidak sekedar pergi sebentar atau jalan-jalan.

Ted berdeham, dia menyarankan sesuatu yang tidak membahas keponakannya. "Aku tidak punya informan disini untuk menelisir lokasi orangtuamu. Tapi, jika kau punya saudara, aku akan mengantarkanmu."

"Mereka bukan keluargaku. Aku tidak ingin membuat bahaya keluarga muggle yang tidak tahu apa-apa." yang ia maksudkan adalah keluarga Reina dan Leo, terkadang datang ke rumah Lysander begitupun sebaliknya. Ia tahu dimana rumah-rumah mereka.

Hujan mereda. Mobil terparkir di pelabuhan Portsmouth, tetapi mereka masih berbicara di dalam.

"Bagaimana ke rumah teman-temanmu? Teman penyihir?"

Ah, Hermione, Ron, Harry. Mereka semua tetap berada dibelakang kepalanya sampai sekarang. Kylie? Rumahnya di Irlandia.

"Aku tidak tahu mereka mau menerima kehadiranku." Caroline mengaku, ia ikut berdeham. "Harry, Hermione, dan Ron."

"Jadi?" Ted masih meminta keputusannya.

Banyak pilihan yang sama-sama sulit. Caroline ingin sekali berdiam diri di rumah Lysander. Apakah ia akan melanjutkan sekolah? Ia takut Hogwarts diawasi Pelahap Maut tiap bangunannya. Mungkin The Burrow? Ah, tidak, tidak. Caroline pengkhianat, untuk apa ia datang kesana meminta pertolongan mereka.

"Aku akan tinggal di rumah ayahku. Sendiri juga tidak apa-apa. Aku akan memasang wards." kata Caroline, pada akhirnya.

"Dari apa yang kudengar, Caroline, kau adalah buronan Pelahap Maut. Pikirkan baik-baik. Rumah Tonks lebih aman daripada yang kau bayangkan."

"Baik, aku akan tinggal di rumah anda, Mister. Tapi kalau boleh--"

"Tentu saja boleh!" seru pria itu. Suaranya lebih jelas setelah mendengar Caroline adalah teman Harry Potter, tapi lebih banyak bersimpati pada si anak remaja ini. "Kita berangkat sekarang."

Ia bergerak tidak nyaman di kursinya. Seperempat hari lagi untuk sampai ke Le Havre. Mulutnya ingin mengatakan ia harus mencari keberadaan Manor Wuningwell. Mereka masih di Inggris, dan mungkin kesempatan ini lebih sulit jika manor itu dicari di lain hari.
.

*

Caroline dan Ted duduk berbincang dikelilingi muffliato. Dimanapun itu mereka harus berjaga-jaga jika Pelahap Maut mengintai sampai dunia muggle. Meski kemungkinannya kecil, Pelahap Maut kebanyakan berpikir dalam tetapi patuh, sulit membayangkan mereka akan duduk diam di kapal muggle tanpa maksud apapun. Begitu kata Ted sebelum merapal mantra diam-diam.

Well, kabar baiknya ia bisa merasakan kehadiran penyihir jika itu terjadi.

"Andromeda berkata kau anak teman lamanya. Jadi, maksudku memperbolehkan kau tinggal karena Andromeda, dia -- tampaknya rindu dengan seorang anak." kata Ted.

Caroline mengalami Déjà vu dengan sikap Ted. Informatif dan berterus terang. Mungkin saja Ted adalah ayah Nymphadora? Nama keluarga yang sama. Ditambah perempuan Auror itu pernah mengaku Draco adalah sepupunya.

Draco adalah keponakan Andromeda, 'kan ...

"Apa anda punya anak? Aku berteman dengan nama Tonks--"

"Nymphadora? Ya, anak kami." Pria itu mengiyakan. Kepalanya menoleh kearah jendela kapal, dia hilang dalam pikirannya menatap laut. Lalu berkata lagi, "Kau anggota Orde. Kau kenal 'Dora."

Ia mengiyakan lewat kedipan mata. Raut wajah Ted mengatakan dia sedang mengatur ulang pikirannya tentang Caroline. Pasti ada pertimbangan mengapa dia harus percaya padanya lagi. Dia tahu Caroline seorang Flamel, kekasih Draco si Pelahap Maut, sekaligus anggota Orde of Phoenix. Sayangnya Caroline tidak merasa Ted sedang berhati-hati dengannya, dia melanjutkan percakapan.

"Jika kau bilang lebih dulu, aku akan mengantarmu pada Orde."

"Kupikir mereka tidak akan menerimaku lagi." katanya dengan yakin. Perasaan kecewa menguap lagi. Ia pengkhianat, 'kan.

Nyatanya dia menyadari dari matanya, Caroline bukanlah penyihir Eropa yang asing. "Aku bisa mengontak 'Dora, kalau kau ingin--" saran pria itu, dia menyeruput kopinya dengan tenang.

"Jangan, tolong jangan, Sir." seru Caroline. Ia dengan gugup ikut meraih gelas kopi lalu menyeruputnya. Lidahnya pahit dan panas. "Aku takut anakmu juga marah padaku."

"Be honest, Caroline. Apa yang kau lakukan di--Hogwarts, sekolahmu? ... sampai kau menganggap dirimu sendiri musuh dari Orde?"

"Aku, um, cerita yang panjang sebenarnya." kata Caroline menghindari dirinya untuk bercerita dan mengingat-ngingat kelakuan naifnya enam bulan terakhir. Ia mulai benci berpikir bahwa Snape benar.

Ia naif, bersama Draco.

Ted pasti tahu mengapa dia dikejar Pelahap Maut hingga sampai ke rumahnya. Melalui istrinya. Baru mengetahui fakta ia adalah teman dari anggota Orde. Tapi Ted belum tahu tentang pecahnya komunikasi dengan Harry dan yang lain? Sudahkah Miss Andromeda menyebutkan Draco Malfoy penyebabnya?

Ugh, Caroline ingin menjambak rambutnya sendiri. Sejak kapan ia suka merunut pemikiran oranglain di kepalanya dan menjabarkan perasaan mereka dari raut wajah.

"Draco sering disalahpahami. Aku bilang begitu pada Harry." kata Caroline singkat.

Perempuan itu setengah menangkap topik lainnya, sementara Ted perlahan-lahan membahas tentang Mensa.

"'Dromeda menyimpan botol memori itu dengan baik. Aku masih heran mengapa sangat kebetulan sekali kau adalah anak Mensa. Andromeda tak perlu lagi mencari-cari."

Ia mengangguk samar.

"Aku hanya, um, kau tahu. Mengingatkanmu sebelum sampai ke Le Havre. Tolong jangan memaksanya bercerita tentang keluargamu,"

"Aku tidak akan." sanggah Caroline cepat-cepat.

"Bagus, kalau begitu." kata Ted.

Sesudah itu hening lagi bagi keduanya. Mesin kapal memenuhi pendengaran dan orang-orang lalu lalang disebelah kiri mereka mencari tempat duduk.

Di kantung kemejanya tersimpan botol yang mereka bicarakan.
"Mr. Tonks, apakah kau kenal seseorang yang punya Pensieve?" tanyanya.

"Untuk memori, apa aku benar?" Ted kembali bertanya. Jari telunjuknya diketuk dua kali di meja plastik kusam, menahan beban tangan mereka, gelas kopi dan roti. "Pensieve benda yang langka. Tapi aku pernah mendengarnya beberapa kali. Akan aku usahakan,"

"Thank you."

Ia tersenyum kecil padanya. Ayah Nymphadora baru saja menolongnya dalam kekacauan tiga hari terakhir.

*






(A/N)

: Update lama karena masih nentuin ending.

Sad/happy?



1500+ kata.

@Altheraceo
[27 Januari 2023]


You are reading the story above: TeenFic.Net